Perhutanan Sosial Akan Kembali Ditingkatkan Tahun Depan
Akses kelola masyarakat pada hutan akan terus ditingkatkan pada 2021. Ini diharapkan bisa menjawab ketimpangan pengelolaan kawasan hutan dan meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitar hutan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perhutanan sosial menjadi program andalan yang akan terus digarap dan diperkuat pemerintah pada tahun 2021. Ini diharapkan bisa menjawab ketimpangan pengelolaan kawasan hutan sekaligus meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitar hutan.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyampaikan hal itu dalam acara refleksi akhir tahun bertajuk ”SOIFO 2020, HINTS LHK dan SEEK 2021” di Jakarta, Rabu (30/12/2020). Acara tersebut juga dihadiri jajaran pejabat tinggi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dalam acara itu, KLHK juga meluncurkan buku The State of Indonesia’s Forest (SOIFO) 2020. Buku tersebut merefleksikan proses partisipatif dalam mencapai konsensus berbagai pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan hutan Indonesia dan menunjukkan konsistensi tindakan korektif yang bisa menjadi referensi internasional.
Siti menyampaikan, sepanjang 2020, KLHK telah melaksanakan sejumlah langkah korektif yang makin berpihak kepada masyarakat. Hal itu ditunjukkan dari meningkatnya proporsi luas kawasan hutan yang dikelola dan dimanfaatkan masyarakat.
Pada 2015, pengelolaan masyarakat mencapai 4,14 persen dan meningkat jadi 18,4 persen pada 2020. Harapannya, pada 2024 menjadi 30,4 persen.
”Saya berharap 2021 akan mulai maraton dan bekerja secara simultan. Perhutanan sosial menjadi implementasi kebijakan yang berpihak pada rakyat dan bantuan ekonomi produktif terus dilakukan untuk mendorong produksi hasil hutan bukan kayu,” katanya.
Siti menegaskan, pemantapan perhutanan sosial sebagai basis pembangunan ekonomi rakyat harus menjadi fokus sektor pada 2021. Sejumlah kegiatan yang dilakukan adalah terkait akses lahan, kesempatan usaha, dan fasilitasi yang terintegrasi.
Selain perhutanan sosial, KLHK akan fokus untuk memulihan lingkungan secara sistematis dan masif, meluas, dan melembaga seperti gambut serta mangrove. Kolaborasi antarlembaga juga akan diperkuat seiring dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
”Rehabilitasi hutan dilakukan secara besar-besaran, ekspansif, substansial, dengan muatan kerja rehabilitasi berupa pembibitan, penanaman, pemeliharaan, serta perlindungan lingkungan. Kemudian juga penyederhanaan bagian elemen masyarakat untuk berusaha menjadi produktif melalui pengawasan dan law enforcement dengan tujuan lingkungan hidup yang sustainable,” ujarnya.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK Bambang Supriyanto mengemukakan, sepanjang 2020 dalam kondisi pandemi dilakukan kegiatan bersifat adaptif, inovatif, dan kolaboratif agar implementasi perhutanan sosial tetap dapat dijalankan dengan mengikuti protokol Covid-19.
Beberapa inovasi itu meliputi, antara lain, meningkatkan kapasitas pendamping dan petani melalui e-learning atau pembelajaran secara daring melibatkan 3.019 orang.
”Cara, inovasi, dan kebijakan baru ditransformasikan untuk tidak hanya mendukung distribusi akses, tetapi juga melalui pendampingan akses untuk menyejahterakan masyarakat,” tutur Bambang.
Hingga 28 Desember 2020, realisasi perhutanan sosial mencapai 4,417 juta hektar dan diterbitkan 6.798 surat keputusan izin atau hak. Dalam konteks pendampingan, saat ini 7.513 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) telah dibentuk. Dari jumlah KUPS itu, komoditas terbanyak adalah agroforestri (28,8 persen), buah-buahan (12,9 persen), wisata alam (10,5 persen), kayu-kayuan (9,3 persen), kopi (7,3 persen), dan tanaman pangan (6,8 persen).
”Ke depan, Presiden juga memberikan arahan untuk membuat benchmarking (pembanding) bahwa area perhutanan sosial dengan pendekatan area pembangunan bisa memberikan kontribusi signifikan. Ada empat area yang dikembangkan, yaitu Lumajang, Belitung, Pulang Pisau, dan Humbang Hasundutan,” ucapnya.