Mutasi Baru SARS-CoV-2 dan Konsekuensinya
Mutasi baru SARS-CoV-2, virus korona pemicu Covid-19, diketahui bisa lebih menular. Namun, belum ada bukti varian baru ini memicu keparahan dan melemahkan kemanjuran vaksin, walaupun kemungkinannya tetap ada.
Mutasi baru SARS-CoV-2, virus korona pemicu Covid-19 diketahui bisa lebih menular. Namun, belum ada bukti varian baru ini memicu keparahan dan melemahkan kemanjuran vaksin, walaupun kemungkinannya tetap ada.
Pada 19 Desember 2020, setelah pengumuman bahwa varian virus baru tersebut yang dijuluki B.1.1.7, tiba-tiba mengakumulasi 17 mutasi dan cepat menyebar di Inggris,
Berdasarkan model matematika, penghitungan konsorsium Covid-19 Genomics UK menunjukkan bahwa B.1.1.7 bisa 70 persen lebih dapat ditularkan daripada versi awal SARS-CoV-2 yang ditemukan di Wuhan, China. Analisis lebih lanjut, varian ini telah ada sejak awal September.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengumumkan penguncian atau karantina wilayah yang lebih ketat di negaranya. Banyak negara Eropa juga melarang perjalanan dari Inggris.
Mutan baru dari Inggris ini menjadi pelajaran penting bahwa kita juga tidak bisa sepenuhnya tergantung pada vaksin.
Kekhawatiran juga merebak di banyak negara lain dengan berencana menutup pintu kedatangan dari Inggris. Total ada 50 negara yang menutup penerbangan. Namun, larangan terbang dari Inggris itu agaknya sudah terlambat untuk menghentikan penyebaran varian ini ke banyak negara.
Spanyol, Belanda, Perancis, Denmark, Eslandia, Belgia, dan Italia telah melaporkan penyebaran B.1.1.7 atau disebut sebagai VOC 202012/01 di negara mereka. Varian baru ini juga dilaporkan telah ditemukan di negara tetangga, Australia dan Singapura.
Baca juga: Mutasi Terbaru SARS-CoV-2 Picu Kekhawatiran
Mengantisipasi mutasi baru ini ini, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di Istana Negara Jakarta, Senin (28/12/2020), menyatakan akan menutup sementara kedatangan warga negara asing sejak tanggal 1 Januari hingga 14 Januari 2021.
Masalahnya, apakah varian baru ini di Indonesia belum ada?
Peneliti genomik molekuler dari Aligning Bioinformatics dan anggota konsorsium Covid-19 Genomics UK, Riza Arief Putranto, mengatakan, tidak akan terkejut jika mutasi baru ini sebenarnya sudah masuk Indonesia. Alasannya, mutasi virus ini sudah terjadi sejak September dan sangat mungkin juga sudah masuk ke Indonesia. Namun, kemungkinan belum dideteksi karena keterbatasan surveilans genom atau secara molekuler.
”Saya tidak terkejut jika varian baru ini sudah masuk karena ada beberapa laporan kasus pasien meninggal dengan gejala Covid-19, tetapi tes dengan PCR selama lima kali selalu negatif. Akhirnya dimakamkan dengan protokol Covid-19,” katanya.
Mutasi baru ini memang bisa memicu terjadinya analisis PCR salah membaca. ”Mutasi baru ini ada di 14 lokasi dan 7 di antaranya di spike (protein paku). Deletion (penghilangan) 60-70 dari satu mutasi ini ada pada daerah yang dideteksi PCR dengan primer S. Ini virusnya tidak dikenali primer atau kita sebut S-gene target failure (SGTF),” ujarnya.
Wakil Kepala Lembaga Biologi Eijkman David Handojo Muljono mengatakan, penemuan varian virus baru ini sangat dipengaruhi kemampuan molekuler surveilans. Negara-negara lain bisa dengan cepat menemukan mutasi baru karena surveilans yang baik.
Surveilans molekuler bisa dilakukan dengan menganalisis perubahan genom virus secara terus-menerus lalu membandingkan dengan filogenetik di tiap segmennya untuk mengetahui pergeserannya. ”Ini yang belum dilakukan di Indonesia karena kita masih fokus pada diagnosis dan pemeriksaan spesimen,” kata David.
Namun, menurut Riza, kita sudah sangat terlambat jika hendak melakukan surveilans genom. ”Sebaiknya sekarang gunakan gen S dalam diagnostif PCR berbarengan dengan gen Orf dan N. Jika ditemukan kasus S-, Orf + dan N+, baru sequencing genomnya dan bisa dianalisis, apakah itu mutasi baru B.1.1.7 atau tidak,” katanya.
Mengkhawatirkan
Baik David maupun Riza setuju, virus korona sebenarnya terus bermutasi, termasuk juga pada protein spike. Bahkan, sejauh ini sudah terjadi 4.000 mutasi di protein spike.
Mutasi protein paku lainnya, termasuk D614G yang telah banyak ditemukan di Indonesia, memungkinkan virus bereplikasi lebih baik di saluran pernapasan daripada di saluran bawah. Pengaturan ini memungkinkan virus lebih mudah menyebar melalui bersin dan batuk, walaupun apakah lebih menular pada manusia atau menimbulkan gejala lebih serius? Itu masih menjadi tanda tanya.
Baca juga: UGM Temukan Mutasi Virus Korona yang Lebih Menular
Namun, mutasi baru B.1.1.7 ini sangat berbeda karena terjadi penghapusan ganda di protein spike, yaitu bagian cangkang virus korona ini, yang memungkinkannya lebih mudah mengikat reseptor pada permukaan sel dan menginfeksi sel.
Secara teoretis, selain memengaruhi kelincahan virusnya dalam menginfeksi manusia, hal ini juga bisa memicu terjadinya reinfeksi. ”Teorinya demikian, walaupun uji in vitro belum dilakukan,” kata Riza.
Beberapa ilmuwan di Inggris juga menyebutkan, mutasi baru ini kemungkinan bisa meningkatkan penularan pada anak-anak. Biasanya, anak-anak lebih kecil kemungkinannya daripada remaja atau orang dewasa untuk terinfeksi atau menularkan virus. Akan tetapi, varian baru ini mungkin membuat anak-anak sama rentannya dengan orang dewasa, menurut Wendy Barclay, penasihat Pemerintah Inggris dan ahli virologi di Imperial College London, seperti ditulis New York Time.
Untuk memastikan bahwa varian tersebut benar-benar lebih menular, para peneliti sekarang menjalankan eksperimen laboratorium, mengamati dari dekat cara varian ini menginfeksi sel. Sejauh ini juga masih dikaji, apakah hal ini juga bisa menimbulkan keparahan.
Baca juga: Mutasi Virus Tak Selalu Lebih Berbahaya
Selain itu, yang juga menjadi perhatian utama adalah apakah varian baru ini akan memengaruhi vaksin Covid-19 yang ada dan pengembangan baru?
Belajar dari berbagai mutasi virus lain, mutasi terakumulasi dalam protein paku dapat berarti bahwa vaksin, setelah jangka waktu yang lama, menjadi kurang efektif. Masalah itu akan memaksa pengembang vaksin untuk menyesuaikan produk mereka guna memastikan mereka dapat menargetkan versi baru virus.
”Banyak orang berpikir SARS-CoV-2 ini akan menjadi seperti flu, dengan vaksin yang harus diperbarui setiap tahun,” kata Scott Weaver, ahli imunologi dari University of Texas Medical Branch (UTMB), seperti ditulis Scientificamerican.
Muncul kekhawatiran, mutasi pada virus bukanlah alasan bagi orang untuk melewatkan vaksin Covid-19 yang saat ini sudah tersedia dan terbukti memiliki efikasi di atas 90 persen. ”Vaksin tetap akan berguna,” kata Weaver.
Namun, mutan baru dari Inggris ini menjadi pelajaran penting bahwa kita juga tidak bisa sepenuhnya bergantung pada vaksin. Perlu tindakan kesehatan publik seperti menjaga jarak fisik dan mengenakan masker yang terbukti memperlambat penyebaran.
Seperti diketahui, virus RNA, secara acak akan terus bermutasi. Semakin tinggi kasus penularan di masyarakat, peluang terjadinya mutasi juga sangat tinggi. Maka, selain menutup penerbangan dari luar negeri, langkah yang harusnya juga dilakukan Pemerintah Indonesia saat ini adalah menekan mobilitas penduduk di dalam negeri agar kurva penularan melandai.
Ada atau tidaknya mutasi baru dan varian-varian lainnya, jumlah kasus di Indonesia sudah sangat tinggi dan risiko kematian juga terus meningkat. Apalagi, saat ini rumah sakit di Indonesia telah kewalahan menampung lonjakan pasien Covid-19.