Mengapa Desember Jadi Bulan Ke-12 dalam Kalender Masehi?
Penggunaan kalender Masehi, walaupun nama beberapa bulannya tidak sesuai urutannya telah membentuk keteraturan hidup manusia.
Bulan Desember tahun 2020 sudah tiba di ujung akhir. Dalam hitungan hari, tahun baru 1 Januari 2021 akan dirayakan. Meski kata Desember berasal dari bahasa Latin decem yang artinya sepuluh, tetapi Desember menjadi bulan ke-12 dalam kalender Masehi. Lantas, mengapa urutan Desember mundur dua bulan dari arti kata sebenarnya?
Ketidaksambungan antara arti nama bulan dan urutan angkanya dalam kalender Masehi tidak hanya terjadi pada Desember, tetapi juga pada lima bulan sebelumnya.
September berasal dari kata septem yang dalam bahasa Latin berarti tujuh, sedangkan Oktober dan November memiliki nama asal octo dan novem yang masing-masing bermakna delapan dan sembilan. Nyatanya, September, Oktober dan November secara berurutan merupakan bulan ke-9, ke-10, dan ke-11 dalam penanggalan Masehi.
Baca juga: Ekuinoks September Tiba, Hari Tanpa Bayangan Kembali Terjadi
Tak hanya itu, mundur dua bulan itu juga terjadi pada bulan Juli dan Agutus. Nama asli bulan Juli adalah Quintilis yang artinya kelima, sedangkan Agustus berasal dari nama Sextilis yang artinya keenam. Namun, Juli dan Agustus masing-masing justru jadi bulan ke-7 dan ke-8 dalam kalender Masehi.
Mundurnya enam nama bulan dalam kalender Masehi, dari Juli sampai Desember, seperti dikutip dari Live Science, 11 November 2020, tidak bisa dilepaskan dari struktur kalender yang digunakan bangsa Romawi hampir tiga milenium lalu. Ya, kalender Masehi yang digunakan di seluruh dunia saat ini merupakan invensi bangsa Romawi.
Kalender Romawi kuno itu setidaknya sudah ada pada saat kota Roma didirikan oleh Romulus pada 753 sebelum Masehi (SM). Ketika itu, satu tahun dalam kalender Romawi terdiri atas 304 hari yang terbagi dalam 10 bulan dengan Maret sebagai bulan pertamanya dan Desember bulan terakhir. Saat itu, belum ada bulan Januari dan Februari.
Penanggalan ini digunakan petani sebagai pedoman bercocok tanam. Pada awal Maret, mereka akan membersihkan lahan, memangkas pepohonan, dan menabur benih gandum hingga datangnya musim semi yang ditandai dengan panjang waktu siang dan malam yang sama.
Baca juga: Kalendar Islam dan Kalendar Jawa, Produk Budaya yang Kian Terpinggirkan
Jeda antara Desember dan Maret sekitar 60 hari tidak diperhitungkan dalam kalender. Masa itu adalah puncak musim dingin di belahan Bumi utara. Karena ini adalah kalender pertanian, selama musim dingin tidak ada aktivitas pertanian yang berlangsung sehingga tidak ada keperluan untuk menandai waktunya.
”Setelah jeda musim dingin, awal tahun akan dimulai di bulan Martius atau bulan Maret saat ini,” kata ahli fisika di Politeknik Universitas Turin, Italia, Amelia Carolina Sparavigna. Dengan demikian, Desember masih menjadi bulan ke-10.
Namun, raja Roma yang kedua, pengganti Romulus, yaitu Numa Pompilius, pada tahun 713 SM mereformasi sistem kalender 10 bulan yang ada. Perbaikan itu dilakukan karena sistem penanggalan itu nyatanya tidak hanya diperlukan untuk keperluan pertanian, tetapi juga kepentingan sipil lain.
Reformasi itu di antaranya dilakukan dengan membagi sekitar 60 hari di puncak musim dingin dalam dua bulan dan menamainya sebagai Ianuarius dan Februarius yang kemudian dikenal sebagai Januari dan Februari. Kedua bulan tambahan ini ditempatkan pada akhir tahun hingga posisi urutan bulan masih tetap sama, belum mengalami kemunduran, dan tahun baru tetap pada 1 Maret.
Meski demikian, panjang satu tahun kalender 12 bulan ini adalah 355 hari. Akibatnya, awal tahun baru pada bulan Maret sering jatuh tidak pada musim yang tepat. Karena itu, dikenalkan konsep bulan kabisat yang disebut Intercalaris. Dikutip di Live Science, 16 Mei 2014, Intercalaris memiliki panjang 27 hari dan digunakan tiap dua tahun sekali.
Saat bulan kabisat digunakan, panjang bulan Februari yang semula 28 hari menjadi 23 hari atau 24 hari saja. Akibatnya, jumlah hari selama empat tahun kalender secara berurutan adalah 355 hari, 377 hari, 355 hari dan 378 hari. Dengan demikian panjang rata-rata satu tahun menjadi 366,25 hari.
Namun, belakangan, penggunaan Intercalaris yang dilakukan oleh Pontifices, pimpinan keagamaan tertinggi yang juga memegang kekuasaan politik, lebih banyak dimanfaatkan untuk kepentingan politik guna memperpanjang atau memperpendek masa jabatan seseorang. Kepentingan untuk menyelaraskan kalender dengan musim pun jadi terbaikan.
Bergeser
Masyarakat Romawi sejatinya dikenal sebagai bangsa yang terorganisasi dengan baik. Lantas mengapa mereka menempatkan Januari dan Februari yang semula ada di akhir tahun menjadi di awal penanggalan? Mengapa mereka mengabaikan fakta bahwa dengan menempatkan Januari dan Februari di awal tahun membuat sejumlah bulan lainnya menjadi tidak masuk akal lagi?
Persoalan politik diduga berada di balik kenyataan itu. Kala itu, banyak penguasa Romawi berlomba mengganti nama-nama bulan dalam kalender untuk menunjukkan asal usul atau menghormati leluhurnya.
Persoalan politik diduga berada di balik kenyataan itu. Kala itu, banyak penguasa Romawi berlomba mengganti nama-nama bulan dalam kalender untuk menunjukkan asal usul atau menghormati leluhurnya.
Kaisar Caligula pernah mencoba mengubah nama September menjadi Germanicus untuk menghormati ayahnya. Sementara Kaisar Domitian ingin mengubah Oktober menjadi Domitianus. Namun, perubahan-perubahan itu kurang bisa diterima masyarakat Romawi. ”Perubahan nama bulan itu sepertinya berlangsung dalam waktu singkat,” tambah Sparavigna.
Keengganan masyarakat Romawi untuk berubah itu dinilai masuk akal karena mengubah sesuatu yang sudah berlangsung atau digunakan di masyarakat tentu tidaklah mudah. Kerumitan beradaptasi dengan istilah baru itu pula yang diperkirakan mendasari otoritas Romawi kala itu tidak mengubah nama 10 bulan yang ada saat mereka meletakkan Januari dan Februari pada awal tahun.
Kerumitan itu pula yang diperkirakan membuat masyarakat Amerika Serikat saat ini masih menggunakan sistem imperial untuk mengukur sesuatu, bukan sistem metrik atau satuan internasional seperti yang digunakan hampir seluruh negara. Dampaknya, masyarakat AS hingga kini masih memakai kaki (ft) untuk panjang dan pound (lb) untuk massa, daripada menggunakan meter (m) untuk panjang dan kilogram (kg) untuk massa.
Namun, tidak semua ahli sepakat bahwa ketidakteraturan urutan nama bulan dalam kalender Masehi saat ini hanya gara-gara kesulitan masyarakat pada masa lalu beradaptasi. Bagaimana mungkin otoritas pada masa itu membiarkan kesalahan dalam penempatan urutan nama-nama bulan itu terjadi? Bukankah kesalahan itu justru bisa menimbulkan kebingungan dalam masyarakat?
”Saya pikir aneh membuat kalender dengan menambahkan nama dua bulan baru dan meletakannya di bagian awal tahun hingga membuat urutan bulan yang lain menjadi tidak sesuai dengan namanya. Anehnya lagi, tidak ada orang yang memedulikannya,” kata Peter Heslin, profesor di Departemen Sejarah Klasik dan Kuno, Universitas Durham, Inggris.
Heslin berpendapat, proses birokrasi di sejumlah lembaga Kekaisaran Romawi sudah dimulai sejak bulan Januari, meski awal tahun barunya tetap berlangsung pada Maret. Peristiwa itu, lama-kelamaan menjadikan Januari sebagai awal tahun.
Kultur birokrasi ini sampai kini masih ditemukan di sejumlah negara dengan tahun anggarannya tidak dimulai pada Januari. Di Indonesia pun, tahun anggaran sebelum tahun 2000 adalah antara 1 April-31 Maret, tetapi kini diubah menjadi 1 Januari-31 Desember.
Keyakinan itu, salah satunya berasal dari dugaan bawah salah satu konsul Romawi (salah satu kepala hakim yang dipilih setiap tahun untuk bersama-sama mengatur negara) pada tahun 153 SM telah memulai tahun birokratis mereka pada 1 Januari. Bahkan, sumber lain menyebut, penggunaan Januari sebagai awal tahun sipil sudah berlangsung sejak tahun 450 SM meski untuk kepentingan religius tetap menjadikan Maret sebagai patokannya.
Akibatnya, meski masyarakat umum mengawali tahun pada Maret, tetapi tahun politik dan birokrasinya dimulai pada Januari. Dengan demikian, secara perlahan masyarakat umum akhirnya ikut dan menganggap awal tahun adalah Januari, bukan lagi Maret.
Meski dugaan ini sangat spekulatif, karena perubahan itu berlangsung sangat lambat membuat tidak banyak orang mencermatinya. Beberapa abad kemudian, pemikir Romawi baru berusaha merasionalisasikan apa yang sebenarnya terjadi hingga urutan bulan dalam kalender mereka tidak seusai dengan namanya.
Walau demikian hingga kini, apa alasan pasti yang membuat Desember menjadi bulan ke-12 bukan bulan ke-10 sesuai namanya tetap belum ada penjelasan pasti. Semua tetap menjadi misteri. Namun, penggunaan kalender Masehi ini walaupun nama beberapa bulannya tidak sesuai urutannya telah membentuk keteraturan hidup manusia.