Sejarah Baru Industri Penerbangan Indonesia
Sertifikat Tipe atau TC untuk pesawat N-219 menurut rencana diserahkan pada Senin (28/12/2020). Momen ini menandai tahap baru industri penerbangan Indonesia karena produk anak bangsa tersebut bisa diproduksi massal.
N-219 jadi pesawat terbang buatan Indonesia pertama yang menyelesaikan proses sertifikasi oleh otoritas penerbangan dalam negeri. Meski kalah canggih dari N-250, pesawat ini diklaim sesuai kebutuhan dan kondisi Indonesia.
Proses uji pesawat N-219 hampir rampung. Sertifikat Tipe (type certificate/TC) pesawat yang dirancang untuk menghubungkan wilayah terpencil di Indonesia itu rencananya akan diserahkan Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKUPPU) Kementerian Perhubungan, Senin (28/12/2020). Dengan TC itu, N-219 bisa diproduksi massal.
Inilah sejarah baru industri penerbangan Indonesia. Untuk pertama kalinya, pesawat yang dirancang dan dibuat murni oleh insinyur Indonesia akan tuntas menjalani sertifikasi. Untuk pertama kalinya pula, lembaga otoritas penerbangan Indonesia mengeluarkan TC bagi pesawat yang murni dibuat oleh putra-putri Indonesia.
”Ini adalah capaian besar bagi bangsa Indonesia,” kata tenaga ahli Pengembangan Pesawat Terbang PT Dirgantara Indonesia (DI) yang juga Direktur Teknologi PT DI 2007-2017, Andi Alisjahbana, Minggu (27/12/2020).
Baca juga: N-219 Nurtanio Kian Dekat Jadi ”Jembatan Udara” Nusantara
N-219 memang bukan pesawat pertama buatan Indonesia. Hasil kerja insinyur di PT DI, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), dan sejumlah lembaga itu memang kalah canggih dibandingkan pesawat N-250. Namun, pesawat yang sempat mengguncang industri penerbangan dunia itu tak mempu menyelesaikan sertifikasi akibat krisis ekonomi 1998.
DKUPPU Kemenhub juga bukan pertama kalinya menyertifikasi dan mengeluarkan TC pesawat. Ada CN-235, NC-212, hingga sejumlah helikopter buatan PT DI yang pernah disertifikasi. Namun, sertifikasi semua pesawat itu dilakukan bersama antara otoritas penerbangan Indonesia dan Spanyol.
Dengan adanya TC, berarti pesawat sudah sesuai dengan desain dan aman diterbangkan.
”Dengan adanya TC, berarti pesawat sudah sesuai dengan desain dan aman diterbangkan,” kata Muzaffar Ismail yang di masa awal proses sertifikasi N-219 menjabat sebagai Direktur DKUPPU seperti dikutip dalam buku
N-219 Behind The Scene, Merajut Kembali Kemampuan Membangun Pesawat terbitan Pusat Teknologi Penerbangan, Lapan, 2020.
Meski disertifikasi di dalam negeri, DKUPPU adalah organisasi profesional yang kompeten dengan reputasi yang diakui dunia. DKUPPU diaudit lembaga internasional seperti Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) yang berada di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa ataupun Badan Penerbangan Federal (Federal Aviation Administration/FAA) Amerika Serikat dan sejumlah lembaga negara lain.
”Saat DKUPPU mengeluarkan atau memvalidasi TC, dia sejatinya mewakili komunitas penerbangan internasional,” kata Kepala Pusat Teknologi Penerbangan Lapan Gunawan Setyo Prabowo. Karena itu, TC yang dikeluarkan DKUPPU tidak perlu diragukan karena mengandung aspek hukum, bisnis, dan kepercayaaan dunia internasional di dalamnya.
Proses panjang
Ide N-219 mulai digagas saat PT DI masih bernama PT Industri Pesawat Terbang Nusantara pada awal 2000-an kala PT DI harus menjalani restrukturisasi dan pengurangan karyawan besar-besaran. Sempat terkatung-katung akibat ketiadaan dana riset, perancangan dan pembuatan N-219 hidup lagi saat pemerintah menggelontorkan Rp 500 miliar melalui Lapan pada 2014-2015.
”Jika pesawat N-250 dibuat dengan orientasi teknologi, maka N-219 dirancang berorientasi pasar,” kata Andi.
Pesawat dengan kapasitas 17-19 penumpang ini dinilai bisa jadi solusi atas persoalan konektivitas di Indonesia, khususnya di daerah terpencil dan pulau kecil, membuka isolasi wilayah hingga menggerakkan ekonomi. Selain untuk angkutan penumpang dan barang, pesawat juga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan militer atau evakuasi medik dan bencana.
Baca juga: Tingkatkan Konektivitas, Pemerintah Aceh Pesan Pesawat N-219
Untuk tujuan itu, pesawat dirancang bisa lepas landas dan mendarat di landas pacu yang panjang kurangnya dari 600 meter atau landasan tanah yang hanya diratakan dengan cangkul. Pesawat juga didesain mampu menerbangi daerah ekstrem, seperti pegunungan dengan ketinggian lebih dari 6.000 kaki (lebih 1.800 meter) dengan cuaca yang mudah berubah.
Pasar pesawat jenis ini di Indonesia masih sangat besar. Indonesia setidaknya memiliki 170 rute penerbangan perintis di 21 provinsi. Kebutuhan pesawat kecil untuk menerbangi rute tersebut mencapai 50-90 pesawat hingga 20 tahun ke depan. Selama ini, jalur itu umumnya dilayani pesawat DHC-6 Twin Otter yang umurnya rata-rata sudah lebih dari 20 tahun.
Meski ditargetkan mampu menggantikan pasar DHC-6, pesawat N-219 didesain memiliki sejumlah kelebihan dibandingkan rivalnya itu. N-219 memiliki daya angkut lebih besar, kabin lebih lebar dan tinggi, dan tenaga yang lebih besar. Pesawat juga punya koefsien gaya angkat maksimum sayap utama lebih besar hingga tetap stabil saat terbang di antara gunung-gunung dengan kecepatan rendah.
Sementara itu, untuk mengatasi keterbatasan anggaran, N-219 dibangun menggunakan komponen yang ada dan mudah didapat di pasaran. Penggunaan komponen yang disesuaikan (customized) pun dihilangkan hingga pembuatan pesawat jadi lebih cepat dan murah. Tak hanya itu, penggunaan komponen lokal pun diutamakan.
”Tingkat kandungan dalam negeri N-219 saat ini mencapai 44 persen,” kata Gunawan. Jumlah itu banyak disumbang dari proses desain dan tenaga kerja. Peluang untuk meningkatkan kandungan lokal N-219 masih besar, khususnya dari perlengkapan interior pesawat.
Banyak industri tanah air sebenarnya mampu membuat sejumlah perlengkapan interior N-219, mulai dari kursi, karpet, lampu-lampu kecil, hingga langit-langit kabin. Namun, mereka terkendala sertifikasi karena semua yang ada di pesawat bisa memengaruhi kinerja pesawat dan keselamatan terbang.
Saat ini, Lapan sedang membangun laboratorium yang bisa digunakan untuk menguji tingkat getaran, mudah tidaknya material yang digunakan terbakar, hingga potensi berkembangnya jamur. Jika perlengkapan interior N-219 itu bisa dipenuhi industri lokal, kandungan lokal N-219 bisa mencapai 55-60 persen.
Pemasaran dan pengembangan
Dengan diperolehnya TC untuk N-219, produksi pesawat ini sudah bisa dilakukan mulai tahun depan. Untuk tahap awal, kata Andi, PT DI menargetkan mampu membuat enam pesawat N-219 setiap tahunnya. Selanjutnya, kapasitas produksi akan terus ditingkatkan hingga mencapai titik optimumnya.
Sejak awal pesawat ini dikenalkan, beberapa pemerintah daerah, seperti Aceh, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, dan Papua, sudah menyatakan minatnya untuk membeli. Sejumlah negara Asia Tenggara dan Afrika pun tertarik memilikinya hingga berpeluang meningkatkan ekspor Indonesia.
Produksi N-219 juga dipastikan akan menyerap tenaga kerja, menggerakkan dan mengembangkan industri lokal komponen pesawat yang sudah ada, serta menjaga keberlangungan penguasaan teknologi pembuatan pesawat di Indonesia. N-219 bisa jadi media untuk meneruskan pengetahuan dan kemampuan membuat pesawat dari insinyur senior PT DI kepada insinyur muda.
”Alat pendidikan terbaik dalam pengembangan industri penerbangan bukanlah sekolah, melainkan dengan memberikan kesempatan kepada insinyur muda untuk berpengalaman,” kata Andi.
Selain produksi, bagian pemasaran dan layanan konsumen punya andil yang tak kalah penting. Meski proses ini bukan hal baru bagi PT DI, kini mereka mengemban amanat mengenalkan dan memasarkan produk teknologi yang sepenuhnya dibuat dan disertifikasi oleh Indonesia. Karena itu, kesuksesan menjual N-219 ke negara lain akan turut meningkatkan wibawa bangsa.
Sementara itu, Gunawan mengatakan, tugas Lapan sebagai lembaga penelitian dan pengembangan yang turut merancang N-219 akan selesai saat TC diberikan ke N-219. Namun, tugas baru sudah menanti, yaitu mengembangkan N-219 versi Amfibi atau N-219A, varian pesawat N-219 yang bisa lepas landas dan mendarat di perairan.
N-219A bisa digunakan untuk mendukung konektivitas pulau-pulau kecil yang tidak mungkin dibangun bandara serta untuk mendorong industri pariwisata yang gencar dikembangkan pemerintah. N-219A bisa dijadikan sarana angkut wisatawan menuju resor di pulau-pulau tujuan secara lebih cepat dan tanpa terlalu bergantung pada kondisi ombak laut.
Meski sudah berhasil membuat N-219, Indonesia belum punya pengamalan membuat pesawat amfibi. Pengembangan pesawat tipe ini tidaklah sesederhana seperti yang dibayangkan. Pemasangan pelampung (floating skid) pengganti roda pesawat merupakan aspek teknis kunci karena bagian itulah yang pertama kali bersentuhan dengan air saat mendarat ataupun lepas landas.
Pengembangan N-219A pada gilirannya akan menjaga keberbelanjutan inovasi dirgantara di Indonesia. Upaya ini juga akan membuat terus tumbuh dan berkembangnya ekosistem industri dirgantara. Jika proses itu bisa dijaga dan bisa ditiru sektor lain, maka cita-cita menjadikan inovasi sebagai penghela pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan sepertinya bakal terwujud.
Baca juga: Pesawat N-219 Amfibi Dikembangkan