Kisah ”Dunia Anna” dalam Bingkai Realitas
Generasi muda bergerak menyuarakan perubahan iklim yang memengaruhi masa depannya. Dengan caranya, peran mereka mewarnai aksi-aksi nyata mengatasi perubahan iklim.
Dalam mimpinya, Anna bertemu dengan cicitnya, Nova, yang hidup pada tahun 2082. Pertemuan tersebut tidak membuat sang cicit senang. Sebaliknya, Nova marah kepada Anna dan generasinya karena telah merusak bumi. Nova menuntut generasi Anna agar tidak menebang pohon atau merusak lingkungan sehingga hewan-hewan bebas dari kepunahan dan bumi kembali menjadi indah.
Kemarahan Nova kepada generasi Anna yang hidup pada 2000-an awal terjadi karena maraknya penebangan pohon dan kerusakan lingkungan yang tak terkendali saat itu. Seluruh minyak bumi dan kekayaan alam lainnya juga dieksploitasi dengan dalih pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan.
Setengah abad lebih berselang, bumi tempat tinggal generasi Nova sudah tidak seindah dulu. Semua es di Kutub Utara dan Kutub Selatan mencair karena pemanasan global. Bahkan, spesies hewan, seperti monyet berambut kapas, iguana, rusa kutub, beruang kutub, jerapah, dan hewan-hewan karnivora lainnya, juga telah punah karena ekosistem mereka rusak.
Baca juga: Generasi Muda Aktif Lakukan Edukasi Lingkungan
Mimpi yang sangat terlihat nyata itu akhirnya menyadarkan Anna bahwa kerusakan lingkungan yang dilakukan generasinya akan berdampak pada anak cucunya pada 10-100 tahun mendatang. Berkat arahan dari psikiaternya, Anna yang baru berusia 16 tahun dan kekasihnya bertekad untuk membentuk sebuah organisasi lingkungan hidup untuk menyelamatkan bumi dan mencegah kerusakan semakin parah.
Semua kisah Anna tersebut mungkin hanya sebuah fiksi dalam novel Dunia Anna karya penulis Norwegia yang terkenal akan novel filsafatnya, Joestin Gaarder. Novel tersebut terbit pada 2013 atau dua tahun sebelum ditetapkannya Kesepakatan Paris 2015 yang merupakan sebuah perjanjian negara-negara di dunia untuk mengurangi emisi dan menanggulangi perubahan iklim.
Keresahan Gaarder hingga menuangkan isu pemanasan global, kerusakan lingkungan, dan perubahan iklim dalam novelnya cukup beralasan. Sebab, perubahan iklim telah menjadi isu lintas negara dan generasi. Cuaca, iklim, hingga lingkungan yang telah banyak mengalami kerusakan saat ini merupakan warisan generasi terdahulu yang mengabaikan aspek keberlanjutan dalam menjalankan pembangunan.
Generasi saat ini juga berpotensi mewarisi bumi yang tidak sehat untuk generasi mendatang bila perubahan tidak dilakukan. Gambaran bumi yang sudah tidak seindah dulu lagi dalam kisah fiksi Dunia Anna bukan tidak mungkin akan menjadi kenyataan.
Baca juga: Dianggap Lebih Parah dari Covid-19, Anak Muda Khawatirkan Dampak Krisis Iklim
Namun, perjuangan Anna dalam menjaga Bumi tidak hanya ada di dunia fiksi, tetapi juga di kehidupan nyata. Saat ini, sudah banyak generasi muda yang kian menyuarakan isu lingkungan di tingkat global dan lokal. Aktivis lingkungan asal Swedia, Greta Thunberg (17), menjadi anak muda yang paling banyak mendapat sorotan publik karena perjuangannya menuntut para politisi dunia melakukan lebih banyak hal untuk lingkungan.
Selain Greta, pemuda Indonesia juga berperan dalam forum perubahan iklim di tingkat global. Mereka turut menyuarakan aspirasinya dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim atau UNFCCC COP-25 di Madrid, Spanyol, pada 2019.
Dalam agenda tahunan tersebut, tiga generasi muda Indonesia, yakni Laetania Belai Djandam (19), Adinda Saraswati (18), dan Ramadhan Subakti (23), menjadi panelis pada diskusi bertema ”Engaging Women and Youth Community in Climate Change Actions” di Paviliun Indonesia. Mereka menyampaikan bahwa hal kecil yang bisa dilakukan untuk menanggulangi perubahan iklim adalah mengubah perilaku agar generasi muda lebih peduli terhadap lingkungan dan menjadi kawan bumi.
Edukasi masyarakat
Upaya generasi muda di tingkat lokal sama masifnya dengan mereka yang berjuang menyuarakan aspirasi di forum internasional. Agar upaya yang dilakukan berdampak lebih luas bagi masyarakat, generasi muda Indonesia terus melakukan edukasi dan penyebaran informasi tentang permasalahan lingkungan dan cara pengelolaannya.
Edukasi dan penyebaran informasi ini salah satunya dilakukan melalui serangkaian acara Indonesia Youth Climate Summit 2020 pada Agustus hingga awal Desember lalu yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Para pemuda dari sejumlah daerah dan latar belakang yang fokus terhadap isu lingkungan turut berpartisipasi dalam acara tersebut.
Edukasi dan penyebaran informasi dilakukan oleh Seangle Indonesia yang diinisiasi oleh pemuda-pemuda asal Sulawesi. Gerakan yang terbentuk pada kegiatan Indonesia Youth Marine Debris Summit pada 2017 lalu ini memiliki dua program pendidikan yakni seaschool selama enam bulan di suatu sekolah dan upcycling yang merupakan kegiatan membuat kerajinan dari sampah.
Program ini telah selesai dijalanakan tahun 2018 dan pada 2021 akan kembali dijalankan di tiga sekolah di Kelurahan Lolu Utara, Kota Palu, Sulawesi Tengah. ”Hasil pengamatan kami dari program sebelumnya, kami menemukan bahwa hanya sedikit anak-anak yang paham masalah lingkungan. Itu pun sebatas sampah penyebab banjir,” ujar Presiden Seangle Indonesia Abizar Ghiffary.
Minimnya pemahaman anak-anak terhadap masalah lingkungan ini menjadi salah satu dorongan Seangle untuk membuat kurikulum pembelajaran untuk mengatasi permasalahan sampah. Hal ini bertujuan agar anak-anak dapat mengolah sampahnya sendiri melalui kerjasama dan bantuan dari guru-guru.
Baca juga: Anak Muda Peduli Sampah Laut di Pantai Manado
Program lainnya dari Seangle yaitu melakukan Rumah Pendidikan Sampah (Rupiah). Dalam program ini, anak-anak diminta untuk membawa sampah yang mereka konsumsi bersama keluarga untuk ditukarkan dengan pendidikan yang terstruktur dan terkurikulum. Mereka kemudian diberi edukasi seperti kesenian atau pendidikan lainnya yang sesuai dengan aktivitas sehari-hari masyarakat.
Guna memberikan dampak yang lebih besar kepada masyarakat, Seangle Indonesia akan membuat satu buku panduan berupa kurikulum lingkungan yang bisa diajarkan di daerah lain. Dalam buku panduan juga akan dijelaskan setiap alur program Seangle sehingga generasi muda di daerah lainnya bisa mengikuti atau mengimplementasikan program tersebut.
Upaya edukasi lingkungan juga dilakukan Bulan Ghaisan, salah satu siswa kelas IX Sekolah Nasional Satu (Nassa School). Sebagai generasi muda yang memahami pentingnya isu lingkungan, ia dan teman-teman sekolahnya melakukan kampanye beli, bijak, dan berani dengan cara memanfaatkan kembali bubble wrap sebagai pembungkus hingga mengurangi pembelian produk makanan jadi.
Agar kampanye ini semakin berdampak luas, ia juga sering membagikan kegiatan ramah lingkungannya di media sosial. ”Saat jualan saya juga sering menulis di catatan bahwa bungkus ini masih bisa dipakai lagi dan jangan sampai dibuang. Semoga orang-orang bisa mengikuti apa yang saya lakukan dan bisa berguna untuk generasi selanjutnya,” ucapnya.
Kreativitas dan inovasi
Upaya menjaga lingkungan dari generasi muda tidak hanya dilakukan melalui gerakan atau kegiatan mainstream. Mereka juga kerap menyalurkan kreativitas dan inovasi sehingga ada kebaruan dalam menanggulangi perubahan iklim. Inovasi yang dicanangkan bahkan tidak hanya dapat mengatasi masalah lingkungan, tetapi juga ekonomi dan sosial.
Muthia Amandha, mahasiswi asal Kalimantan, turut menjaga lingkungan dengan cara menginisiasi alat hiro the waste cooker. Alat pemasak sampah organik dan anorganik ini bertujuan untuk mereduksi sampah hingga ke tahap zero waste dengan memberikan keluaran berupa karbon aktif dan beberapa potensi energi terbarukan lainnya.
”Hiro the waste cooker ini menggunakan proses gasifikasi. Kami mengeluarkan gas dari sampah dan dapat diolah menjadi energi terbarukan lainnya. Jadi tidak hanya briket, tetapi juga alat ini bisa menjadi sebuah pembangkit listrik tenaga uap,” tutur Muthia.
Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK Agus Justianto mengakui bahwa generasi muda saat ini memiliki kreativitas, inovasi, dan ide-ide yang tidak terpikirkan generasi sebelumnya. Kreativitas baru inilah yang harus terus didorong dan disuarakan. ”Pada generasi muda ini kita bisa menemukan inspirasi dan keberanian untuk melakukan perubahan,” ungkapnya.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman menambahkan, dipilihnya pemuda menjadi aktor utama menjadi langkah efektif untuk menyebarkan informasi terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Penyebaran informasi ini sangat dibutuhkan agar isu perubahan iklim dan lingkungan dapat menjadi perhatian penting untuk lintas generasi.
Ia berharap, melalui acara Youth Climate Summit 2020, berbagai informasi, kebijakan, dan program aksi dapat diaplikasikan sebagai solusi bisnis kreatif untuk pembangunan berkelanjutan. Informasi tersebut juga diharapkan dapat diketahui masyarakat luas sebagai media pembelajaran sehingga terbangun kerja sama sosial lingkungan dan iklim.
Seluruh upaya menanggulangi perubahan iklim dan kerusakan lingkungan dari hal-hal kecil yang dilakukan generasi muda saat ini menjadi fondasi dalam membangun kesadaran bagi generasi selanjutnya. Tanggung jawab ini sudah sepatutnya diemban setiap generasi.
Sebab, seperti yang Anna bilang dalam Dunia Anna bahwa manusiaadalah generasi pertama yang memengaruhi iklim bumi, dan pada saat bersamaan, generasi terakhir jangan sampai yang membayar harganya.