Pandemi Tak Hentikan Kekerasan terhadap Pembela Lingkungan
Elsam mencatat pandemi Covid-19 tak menghentikan praktik buruk kekerasan terhadap aktivis dan masyarakat yang memperjuangkan lingkungannya. Keterbatasan akses di masyarakat justru seakan memasifkan tindakan tersebut.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan dan ancaman terhadap pembela hak asasi manusia atau HAM di sektor lingkungan masih terus terjadi selama pandemi. Pemerintah didorong untuk kembali menguatkan komitmen perlindungan HAM ini mulai dari menerbitkan aturan untuk melindungi pembela HAM hingga mengevaluasi institusi keamanan dan penegak hukum.
Hal tersebut terangkum dalam laporan situasi pembela HAM atas lingkungan periode Mei-Agustus 2020 yang disusun Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). Laporan tersebut diluncurkan dalam diskusi secara daring, Selasa (22/12/2020).
Peneliti Elsam, Azka Fahriza, menyampaikan, selama kurun tersebut, Elsam mencatat terdapat 28 peristiwa dan 32 tindakan berupa kekerasan serta ancaman terhadap pembela HAM lingkungan. Pada Mei, kekerasan tercatat sebanyak 9 peristiwa, Juni 5 peristiwa, Juli 5 peristiwa, dan Agustus 9 peristiwa. Kekerasan terbanyak berada di Jawa Barat sejumlah 4 kasus.
Sementara pelaku kekerasan tersebut tercatat 27 kasus dilakukan aktor negara dan 19 kasus aktor non-negara. Tindakan pelanggaran yang dilakukan di antaranya penangkapan, intimidasi, serangan fisik, perampasan tanah, perusakan, penahanan, dan pembunuhan.
”Secara umum, di sepanjang catur wulan kedua 2020 terjadi peningkatan kerentanan pembela HAM lingkungan dibandingkan catur wulan sebelumnya. Peningkatan ini bisa dilihat dari peristiwa sebelumnya, yakni 22 kasus menjadi 28 kasus. Jumlah tindakan juga sebelumnya 29 tindakan menjadi 32 tindakan,” ujarnya.
Selain itu, komposisi korban individu juga mengalami perluasan dari segi identitas atau latar belakang. Dalam catur wulan kedua 2020 tersebut, kalangan yang mengalami kekerasan di antaranya mahasiswa, nelayan, aktivis, dan jurnalis.
Azka menilai, ke depan, ancaman kekerasan terhadap pembela HAM juga masih akan terus terjadi seiring dengan pengesahan sejumlah aturan kontroversial yang bepotensi mengeksploitasi sumber daya alam. Aturan itu di antaranya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Berkaca dari hasil laporan tersebut dan kondisi saat ini, Azka mendorong agar Presiden Joko Widodo kembali menguatkan komitmen terkait penegakan HAM di Indonesia. Salah satu komitmen yang dapat dilakukan adalah menginstruksikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menerbitkan peraturan guna melindungi pembela HAM lingkungan atau anti-SLAPP (strategic lawsuit against public participation).
Pasal 66 UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berbunyi, ”Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”. Hingga kini, tidak ada aturan pelaksanaan dari pasal ini.
Dasar aturan lain tertuang dalam Pasal 58 Ayat (2) UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Perlindungan hukum itu didapat saat proses penyelidikan, penyidikan, dan persidangan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli.
Para perempuan Kendeng dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) melakukan aksi di lokasi penambangan batu kapur, di Desa Baleadi, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Selasa (21/4/2020). Di Hari Kartini, sekaligus menjelang Hari Bumi, mereka ingin mengingatkan rusaknya lingkungan jika Pegunungan Kendeng terus ditambang. Selain itu, Presiden juga didorong untuk memerintahkan institusi keamanan dan penegak hukum agar mengevaluasi seluruh pendekatan keamanan militeristik yang masih ditemukan dalam kasus penyerangan terhadap pembela HAM lingkungan. Sementara bagi masyarakat sipil, mereka juga perlu melakukan evaluasi, terutama dalam konteks kerja pendampingan hukum dan kebijakan.
Strategi komprehensif
Komisioner Komnas HAM, Hairansyah, menyatakan, laporan dari Elsam menunjukkan bahwa ancaman kekerasan yang dialami kelompok rentan masih tinggi. Bahkan, kondisi pandemi yang menutup sejumlah akses publik kian dimanfaatkan para pihak untuk menekan para pembela HAM di sektor lingkungan.
Meski demikian, Hairansyah memandang bahwa proses penyelesaian hukum dipandang akan sulit dan menguras tenaga karena banyaknya kasus kekerasan yang menimpa pembela HAM lingkungan yang terjadi selama ini. Karena itu, perlu strategi terbaik yang lebih komprehensif untuk menekan terjadinya kasus kekerasan ini, salah satunya dapat melalui penerbitan aturan anti-SLAPP.
”Tetapi, sekali lagi, ini tidak mudah karena situasi dan kondisi politik yang tidak kondusif untuk mendorong aturan ini. Jadi, mau tidak mau, yang harus dilakukan saat ini adalah membangun sistem komunikasi antara Komnas HAM, kelompok masyarakat sipil, dan pengadu atau kelompok rentan,” katanya.
Serangan terhadap pembela HAM sektor lingkungan selama pandemi tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain. Business and Human Rights Resources Centre (BHRRC) mencatat, 286 kasus serangan terhadap pembela HAM di dunia terdokumentasi selama Maret-September 2020. Angka ini menunjukkan bahwa satu pembela HAM di serang setiap hari selama pandemi Covid-19.
Manajer Region Asia BHRRC Betty Yolanda mengatakan, masih maraknya serangan ini membuat BHRRC melakukan sejumlah program inisiatif bisnis untuk melndungi pembela HAM. Program ini bertujuan mengeksplorasi peran bisnis dalam membantu melindungi kebebasan sipil dan pembela HAM serta memungkinkan adanya diskusi ataupun pembelajaran bersama.
”Rekomendasi yang kami berikan tidak hanya ditujukan bagi pemerintah, tetapi juga pelaku bisnis. Bagi pebisnis, investor, dan institusi keuangan secara terbuka mengakui bahwa pembela HAM adalah mitra penting dalam mengidentifikasi risiko dan permasalahan dalam kegiatan perusahaan dan menghindari campur tangan dalam kerja-kerja mereka yang sah,” tuturnya.