Limbah Masker dan Alat Pelindung Diri Cemari Teluk Jakarta
Hasil penelitian P2O LIPI menunjukkan bobot sampah yang ditemukan di Teluk Jakarta selama pandemi Covid-19 berkurang. Namun, kelimpahannya justru bertambah. Di situ juga terdapat limbah medis, seperti hazmat dan masker.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 telah menurunkan berat sampah yang dibuang ke sungai dan mencemari Teluk Jakarta, tetapi kelimpahannya justru bertambah. Komposisi sampah juga berubah dengan banyaknya sampah plastik bekas alat pelindung diri dari Covid-19, mulai dari masker medis, sarung tangan, hingga pakaian pelindung yang mencemari muara sungai di Teluk Jakarta.
Hasil kajian terbaru para peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), IPB University, dan Universitas Terbuka tentang perubahan komposisi sampah yang dibuang ke sungai di Jakarta ini dipublikasikan di jurnal Chemosphere dan bisa diakses daring pada 18 Desember 2020. Studi ini didasarkan data sampah yang dipantau di muara Sungai Cilincing dan Marunda di sekitar Teluk Jakarta pada Maret dan April 2020, yaitu saat diberlakukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar di rumah.
Dalam kajian ditemukan peningkatan kelimpahan sampah di sungai dan penurunan bobot sampah dibandingkan dengan data dasar tahun 2016. Ini menunjukkan pergeseran komposisi sampah sungai ke arah sampah yang lebih ringan, terutama plastik.
Disebutkan, kelimpahan pelepasan sampah harian meningkat sebesar 5 persen di kedua lokasi yang diamati di muara sungai di Teluk Jakarta, dari 9.312 item pada Maret 2016 menjadi 9.768 item pada Maret 2020 dan dari 9.696 item pada April 2016 menjadi 10.176 item per April 2020. Di kedua lokasi tersebut, sampah harian terlepas menurut beratnya turun 23 persen pada Maret dari 2,30 ton menjadi 1,78 ton setiap hari, dan sebesar 28 persen pada April dari 2,19 ton menjadi 1,58 ton setiap hari.
Peningkatan kelimpahan sampah terutama diamati di Marunda. Kelimpahan pelepasan sampah harian meningkat 2 persen pada Maret dan 4 persen pada April di Cilincing, dan sebesar 9 persen pada Maret dan 6 persen pada April di Marunda. Sementara bobot sampah harian turun 9 persen pada Maret dan 21 persen pada April di Cilincing, dan 32 persen pada Maret serta 34 persen pada April di Marunda.
”Perubahan ini kemungkinan karena masyarakat beralih ke belanja daring dan kemungkinan plastik yang dibuang langsung ke TPA (tempat pembuangan akhir), karena asumsinya mereka lebih banyak di rumah. Namun, sampah ini akhirnya masuk ke sungai juga,” kata peneliti P2O LIPI Reza Cordova, Selasa (22/12/2020).
Reza menyebutkan, plastik menyumbang 43-47 persen berdasarkan kelimpahan atau 50-62 persen berat dari sampah sungai yang dikumpulkan pada Maret−April 2020 di Teluk Jakarta. Puing kayu dan kertas paling melimpah kedua (16-19 persen).
Dari segi bobot juga terjadi peningkatan limbah kaca di Cilincing yang menyumbang 9-12 persen sampah sungai selama periode studi. Termasuk kategori plastik, styrofoam dominan di Cilincing yaitu 8-15 persen berdasarkan kelimpahan, sedangkan tali dan alat pancing 22-34 persen menurut berat di Marunda.
Dominasi sampah plastik ini, menurut Reza, sebenarnya telah menyusun peraturan untuk mengurangi sampah plastik, tetapi implementasi dan penegakannya menghadapi kendala. Misalnya, Jakarta telah melarang kantong plastik sekali pakai sejak Juli 2020. Meski banyak supermarket dan jaringan restoran telah mematuhinya, penggunaan kantong plastik masih lazim dilakukan oleh usaha kecil.
”Sampah plastik akhirnya bocor ke sungai karena TPA rata-rata ada di pinggir sungai dan biasanya berupa timbunan terbuka,” katanya.
Sampah pandemi
Kajian Reza dan tim juga menunjukkan banyaknya sampah alat pelindung diri (APD) yang tidak ditemukan sebelum pandemi. ”APD, yang tidak ada sebelum pandemi, mewakili 16 persen dari sampah sungai yang dikumpulkan atau 780 item, meliputi 696 item setiap hari pada Maret dan 864 item setiap hari pada April 2020,” ujarnya.
Selain itu, limbah medis yang ditemukan di saluran sungai juga menjadi lebih beragam selama pandemi, dan menambah jenis limbah medis yang ditemukan sebelumnya, seperti perban medis dan kontrasepsi. Pada Maret-April 2020, tim peneliti menemukan tujuh jenis limbah medis lainnya, yaitu beragam jenis masker, termasuk masker bedah dan N95, sarung tangan medis, hazmat, pelindung wajah, dan jas hujan sebagai pengganti hazmat.
Data menunjukkan, masker mewakili 9,83 persen dari total puing atau 492 item setiap hari. Selama periode pemantauan terjadi peningkatan kelimpahan sampah masker di dua muara sungai dari 432 item per hari pada Maret menjadi 552 item per hari pada April 2020.
Kajian terpisah oleh Samuel Asumadu Sarkodie dari Nord University Business School, Norwegia, dan tim yang dipublikasikan di jurnal Environment, Development and Sustainability pada Agustus 2020 juga menemukan, jumlah sampah dari produk sekali pakai, termasuk plastik, telah meningkat di sejumlah negara selama pandemi.
Sementara itu, kajian dari Sarawut Sangkham dari University of Phayao, Thailand, di jurnal Case Studies in Chemical and Environmental Engineering edisi September 2020 mengestimasi, jumlah masker yang digunakan di 49 negara Asia hingga 31 Juli 2020 mencapai 2.228.170.832 buah. Negara yang paling banyak menggunakan masker sehari-hari adalah China (989.103.299 buah), diikuti India, Indonesia, Bangladesh, Jepang, Pakistan, Iran, Filipina, dan Vietnam dengan masing-masing 381.179.657 buah, 159.214.791 buah, 99.155.739 buah, 92.758.754 buah, 61.762.860 buah, 50.648.022 buah, 48.967.769 buah, dan 46.288.632 buah.
Besarnya volume sampah medis selama pandemi, termasuk di antaranya masker, membuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan agar semua negara mengelolanya dengan baik. Buku pedoman WHO tentang pengelolaan limbah medis, edisi ke-2, memberikan panduan komprehensif tentang metode yang aman, efisien, dan berkelanjutan untuk menangani dan membuang limbah medis baik dalam situasi normal maupun darurat.