Pencapaian Target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Butuh Terobosan
Tantangan untuk mencapai target-target dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan makin besar akibat krisis kesehatan, ekonomi, dan sosial yang ditimbulkan pandemi Covid-19. Namun, target tak boleh diturunkan.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 berdampak besar pada kerja keras berbagai pihak dan capaian target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 selama lima tahun terakhir. Meski tantangan yang dihadapi makin besar akibat krisis kesehatan dan ekonomi yang ditimbulkan pandemi, target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tidak boleh diturunkan.
”Kita harus mencari cara-cara baru, terobosan baru, agar bisa melakukan lompatan dalam mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs),” kata Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Tahunan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang diselenggarakan secara virtual dari Jakarta, Kamis (17/12/2020).
Pandemi memuat capaian SDGs mundur. Padahal, pencapaian target SDGs telah jadi prioritas pemerintah agar pembangunan yang dilakukan inklusif dan berkelanjutan. Karena itu, harus ada inovasi agar target SDGs bisa dicapai dalam 10 tahun waktu tersisa melalui cara-cara yang lebih efektif dan efisien.
Kita harus mencari cara-cara baru, terobosan baru, agar bisa melakukan lompatan dalam mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Inovasi itu bisa dibangun melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai peneliti, perekayasa, dan institusi pendidikan ataupun kekayaan pengalaman para praktisi yang tersebar di berbagai lembaga. Kemampuan tersebut perlu disinergikan melalui agenda, target, dan koordinasi yang jelas sehingga bisa menghasilkan rekomendasi konkret.
”Inovasi adalah kunci untuk bertransformasi dan alat untuk memenangi persaingan global,” ujar Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa. Inovasi ada dalam tujuan ke-9 SDGs untuk membangun infrastruktur tangguh, industri yang inklusif dan berkelanjutan, serta mendorong inovasi.
Sementara itu, Koordinator Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Indonesia Valerie Julliand mengatakan, pendemi Covid-19 yang memicu sejumlah krisis membuat upaya mencapai target-target SDGs makin penting dilakukan. Ilmu pengetahuan dan inovasi bisa untuk mempercepat capaian target SDGs.
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo S Brodjonegoro mengatakan, kehidupan saat ini tidak bisa dilepaskan dari ilmu pengetahuan. Sains jadi kunci setiap bangsa agar mampu berkompetisi secara global. Karena itu, sudah sewajarnya jika Indonesia perlu menegaskan kembali peran ilmu pengetahuan dalam pembangunan.
”Indonesia membutuhkan ilmu pengetahuan tidak hanya dalam kerangka kebijakan, tetapi juga cara berpikir masyarakat, baik untuk masa lalu, masa kini, maupun masa depan,” katanya.
Meski inovasi berperan penting dalam menggerakkan ekonomi dan ujungnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mencapai target SDGs, nyatanya tingkat inovasi Indonesia sangat rendah.
Indeks Inovasi Global (GII) 2020 menempatkan Indonesia pada sepertiga ranking terbawah atau peringkat ke-85 dari 131 negara. Di ASEAN saja, posisi Indonesia jauh tertinggal dari Singapura di peringkat ke-8, Malaysia (33), Vietnam (42), Thailand (44), Filipina (50), dan Brunei Darussalam (71).
”Insting atau naluri berinovasi dari individu-individu bangsa Indonesia secara umum sangat rendah,” kata anggota Komisi Ilmu Rekayasa AIPI, Tatang Hernas Soerawidjaja.
Untuk membangkitkan daya inovasi agar bisa bersaing, naluri inovasi itu harus dibangun secara sistematik, mulai dari pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi serta diadakannya berbagai pelatihan. Selain itu, kemampuan siswa Indonesia dalam bidang sains, teknologi, rekayasa, dan matematika (STEM) perlu didongkrak karena kemampuan STEM siswa sekolah menengah pertama Indonesia selama 15 tahun terakhir ada di posisi 12 persen terbawah.
Bioekonomi
Indonesia, lanjut Tatang, sebenarnya memiliki potensi bioekonomi atau ekonomi berbasis nabati yang melimpah. Sebagai negara kepulauan terbesar di wilayah tropika, Indonesia memiliki 1.500 jenis alga, 80.000 jenis tumbuhan berspora, 30.000-40.000 tumbuhan berbiji, 800 spesies tumbuhan pangan, dan sekitar 1.000 spesies tumbuhan medisinal.
Namun, keanekaragaman hayati yang memiliki nilai ekonomi tinggi untuk pangan, pakan, kesehatan, manufaktur, dan bioenergi itu belum dimanfaatkan optimal. Indonesia belum punya strategi dan program untuk memanfaatkan kekayaan nabatinya dan masih terlena dengan sumber daya fosil walau impor energi fosil sangat membebani keuangan negara.
”Indonesia seharusnya bisa menjadi pemimpin transformasi bioekonomi global,” katanya. Namun, kuatnya institusi politik dan ekonomi ekstraktif serta rendahnya kemampuan inovasi bangsa membuat upaya meningkatkan kesejahteraan bangsa menjadi lambat berkembang.
Pengembangan bioekonomi juga berkaitan dengan 11 tujuan dari 17 tujuan SDGs. Selain ramah lingkungan, bioekonomi dianggap mampu menciptakan proses industrialisasi yang lebih inklusif dan berkelanjutan serta lebih mampu menjangkau kelompok masyarakat yang selama ini terpinggirkan dari pembangunan, yaitu warga perdesaan, perempuan, rakyat miskin, dan pemuda.