Memusnahkan Limbah Covid-19 dengan Insinerator Skala Kecil
Limbah infeksius Covid-19 perlu ditangani seawal mungkin agar tak menjadi sumber penularan. Insinerator skala kecil ditawarkan peneliti LIPI untuk memusnahkan limbah-limbah medis tersebut.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Sebelum terjadi pandemi Covid-19, pengelolaan limbah medis di Indonesia masih menemui permasalahan karena terbatasnya fasilitas pengolahan. Kondisi ini semakin memburuk seiring wabah Covid-19 dengan jumlah pasien yang terus meningkat. Untuk mengatasi lonjakan limbah infeksius tersebut, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengembangkan mesin pembakaran sampah atau insinerator skala kecil untuk pabrik dan perkantoran.
Permasalahan penanganan limbah medis ini karena kapasitas pengelolaan limbah medis di fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) masih rendah. Selain itu, jumlah pengolah limbah medis yang masuk kategori bahan berbahaya dan beracun (B3) masih minim dan tidak merata di semua daerah, mayoritas berada di Jawa.
Hingga 2018, hanya tersedia enam pengolah limbah medis berizin di Indonesia dengan kapasitas produksi 120,48 ton per hari. Padahal, menurut estimasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hingga 2018 timbulan limbah medis mencapai 300-340 ton per hari.
Untuk mengatasinya, sampai akhir 2019 KLHK menggenjot penerbitan izin pengolahan limbah medis. Jumlah pengolah limbah medis pun bertambah menjadi 12 perusahaan dan kapasitas pengolahan meningkat jadi 301,7 ton per hari. Namun, jumlah itu masih belum bisa memenuhi estimasi timbulan limbah medis yang dapat mencapai 340 ton per hari (Kompas, 11/1/2020).
Profil Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2017 tentang pengelolaan limbah medis di Asia Tenggara mencatat, timbunan limbah medis di Indonesia mencapai 0,68 kilogram per pasien per hari.
Selama pandemi, timbulan limbah medis mengalami peningkatan. Informasi dari 536 fasyankes yang mengirimkan data limbah Covid-19 ke Kementerian Kesehatan, rata-rata timbunan limbah Covid-19 sebesar 1,7 kilogram per pasien per hari.
Belum lagi limbah medis Covid-19 berupa masker, tisu, dan alat pelindung diri kerap dibuang bersamaan dengan jenis sampah rumah tangga. Dengan kondisi ini, peneliti Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Arifin Nur, beserta tim menginisiasi pengembangan mesin penghancur limbah medis atau insinerator sampah infeksius Covid-19 skala kecil untuk pabrik dan perkantoran. Pengembangan ini pun karena pengalihan anggaran riset tematik ke riset terkait Covid-19.
”Banyak penelitian ke arah penanganan virusnya, sedangkan penelitian terkait pasca-perawatannya itu tidak ada,” ujarnya, Sabtu (12/12/2020).
Arifin menjelaskan, insinerator ini berdiameter luar 60 sentimeter, tinggi 2,14 meter, dan kapasitas pembakaran 100 liter serta rata-rata pembakaran 70 liter per jam.
”Penggunaannya sama dengan insinerator lainnya. Kami buat semudah mungkin agar operatornya tidak sulit dilatih,” ucapnya.
Untuk penggunaan bahan bakar cukup menggunakan elpiji berbagai ukuran tabung yang tersedia di pasaran. Ini berbeda dengan insinerator pada umumnya yang menggunakan solar. Penggunaan gas dinilai lebih bersih dan cepat.
”Dengan menggunakan elpiji lebih mudah mencapai suhu optimal, tetapi kekurangannya itu lebih boros,” tuturnya.
Menurut Arifin, pembakaran dalam insinerator tergantung dari temperatur kerja setiap mesin. Insinerator yang dikembangkannya bertemperatur 300-900 derajat celsius karena mengoptimalkan penggunaan sensor dalam mesin. Ini membuat insinerator dapat memusnahkan semua jenis limbah medis.
Meski pembuatan insinerator ini ditujukan bagi penanganan limbah Covid-19 di pabrik dan perkantoran, rumah sakit kecil dan puskesmas juga dapat menggunakannya. Pada dasarnya, insinerator ini juga dapat digunakan untuk memusnahkan jenis limbah kimia, sitotoksis, anatomi, dan patologis.
Namun, Arifin tak menyarankannya. Alasannya, petugas dan mesin pemusnah limbah medis tersebut harus bersertifikasi.
”Untuk limbah anatomi mungkin harus tetap ditangani oleh perusahaan pengolah limbah medis yang sudah tersertifikasi,” katanya.
Pengembangan
Insinerator sampah infeksius Covid-19 skala kecil dari LIPI ini masih dalam tahap pengembangan dan belum sampai diuji coba. Menurut Arifin, uji coba belum dapat dilakukan karena masih ada sedikit masalah penempatan pada sistem kontrolnya.
”Kami sedang pesan pemantiknya dan akhir bulan akan diuji coba lagi,” ujarnya.
Dalam diskusi daring, Kamis (10/12/2020), Kepala Seksi Pengamanan Limbah Direktorat Kesehatan Lingkungan Kemenkes Lora Agustina mengakui, pengelolaan limbah medis di Indonesia sampai saat ini belum tertangani dengan baik. Pada masa pandemi, jumlah limbah medis semakin bertambah sehingga terjadi kesenjangan antara jumlah timbunan limbah dan kapasitas atau kemampuan untuk mengolah.
Ia menegaskan, pengelolaan limbah medis, khususnya Covid-19, harus memenuhi prinsip pencegahan dan prinsip kedekatan. Prinsip pencegahan untuk menjaga kesehatan dan keselamatan. Sedangkan prinsip kedekatan harus mempertimbangkan jarak antara penghasil dan pengolah limbah untuk meminimalkan risiko saat pengangkutan.