Pemanfaatan teknologi biorefeneri bisa dioptimalkan untuk meningkatkan nilai sumber daya hayati, seperti untuk produk energi, pangan, dan kosmetik.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Teknologi biorefeneri dapat digunakan untuk meningkatkan nilai ekonomi biomassa menjadi sumber energi dan produk-produk bernilai tambah lainnya. Melalui biorefeneri dengan memanfaatkan potensi sumber daya hayati yang ada di Indonesia, sejumlah produk ramah lingkungan dapat dihasilkan, mulai dari bioenergi hingga produk pangan.
Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Puspita Lisdiyanti menyampaikan, biorefeneri menjadi salah satu teknologi yang telah banyak dikembangkan di dunia, termasuk Indonesia. Biorefeneri adalah teknologi mengonversi bahan-bahan terbarukan atau biomassa menjadi produk turunan lainnya dengan efek yang minimal atau tanpa efek sama sekali terhadap kelestarian lingkungan.
”Teknologi biorefeneri sering untuk meningkatkan pemanfaatan sumber biomassa karbohidrat selulosa yang melimpah dari industri perkebunan, pertanian, dan kehutanan serta pemanfaatan koleksi mikroba lokal. Sumber genetik ini menjadi kunci penting dalam teknologi biorefeneri,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Biorefineri di Indonesia: Status Saat Ini dan Prospek Masa Depan”, Kamis (10/12/2020).
Puspita mengatakan, tersedianya sumber biomassa dan mikroba yang tidak terbatas di Indonesia ini ke depan dapat menghasilkan produk-produk yang bernilai tambah. Saat ini LIPI dan perguruan tinggi lainnya juga terus mengembangkan teknologi biorefeneri.
Koordinator Pusat Unggulan Iptek (PUI) Biorefenery LIPI Ahmad Thontowi mengatakan, LIPI telah menginisiasi riset pemanfaatan biomassa untuk berbagai macam produk. Dengan memanfaatkan potensi sumber daya hayati yang ada di Indonesia, LIPI melakukan eksplorasi untuk pengembangan mikroba sebagai penghasil enzim, fermentasi, aplikasi pangan, hingga bioenergi.
”Indonesia sebagai negara agraris dengan geografi yang begitu luas tentu punya potensi biomassa yang melimpah. Tentu memang ada beberapa tantangan ke depan, seperti bagaimana ketersediaannya dan teknologi untuk mengonversi. Setelah menjadi produk perlu juga standardisasi,” tuturnya.
Salah satu perguruan tinggi yang telah mengembangkan teknologi biorefeneri berbasis mikroalga atau ganggang mikro adalah Pusat Studi Energi, Universitas Gadjah Mada. Sejumlah produk yang telah dihasilkan melalui pengembangan ini di antaranya biofuel, biofarmasetika, biomaterial, kosmetik, makanan, dan nutrisi untuk kesehatan.
Mikroalga
Center of Excellence (CoE) untuk Biorefineri Mikroalga, Pusat Studi Energi, Universitas Gadjah Mada, Arief Budiman mengemukakan, penelitian biorefeneri mikroalga di UGM telah dilakukan sejak 10 tahun lalu. Selama itu pula peneliti telah melakukan pengolahan atau kultivasi melalui isolasi strain di sejumlah titik di Pantai Selatan Yogyakarta, yakni Glagah-Trisik, Parangtritis-Depok, Krakal-Sundak, dan Wediombo-Siung.
Menurut Arief, selama ini mikroalga lebih banyak dikembangkan untuk produk energi. Akan tetapi, mikroalga juga dapat dikembangkan di bidang biofarmasetika. Penelitian dari UGM terhadap tiga jenis mikroalga, yakni Spirulina platensis, Scenedesmus obliquus, dan Chlorella phyronoidosa, memiliki kadar vitamin A dan C yang cukup tinggi.
”Jenis mikroalga yang lain juga ada yang mengandung antioksidan dan bisa juga dipakai untuk antivirus HIV, antiinflamasi, serta stimulasi imun. Jadi ini tergantung dari jenis mikroalganya,” katanya.
Standardisasi produk
Kepala Pusat Riset dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Standardisasi Nasional (BSN) Yopi mengatakan, standardisasi dan penilaian kesesuaian sangat penting dalam mendukung pengembangan inovasi teknologi biorefeneri di Indonesia. Sebab, tanpa standardisasi, produk penelitian akan sulit bersaing di pasaran. Standardisasi juga akan membantu dalam hilirisasi dan komersialisasi hasil riset.
Menurut Yopi, riset biorefeneri di Indonesia masih tergolong baru dan belum memiliki standar yang ditetapkan. Oleh karena itu, BSN perlu mengikuti atau terlibat di setiap proses riset yang dilakukan peneliti dari awal agar nantinya Indonesia tidak tertinggal dalam proses standardisasi produk untuk komersialisasi.
”Untuk pengembangan industrial enzim dan protein expression systems, kami dari BSN perlu terlibat dari proses awal. Ini karena pengembangan mikroba berbasis rekayasa genetika itu harus mengecek mulai dari laboratorium yang digunakan sampai proses reference materials yang akan digunakan dan lainnya,” tambahnya.