Sebagai pemegang masa depan bumi, generasi muda terus menyuarakan isu lingkungan dan perubahan iklim. Selain bersuara, mereka juga bergerak dengan cara masing-masing untuk membuat lingkungan lebih baik.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Generasi muda saat ini telah banyak melakukan aksi nyata dan gerakan ramah lingkungan untuk menanggulangi perubahan iklim. Agar upaya yang dilakukan berdampak lebih luas bagi masyarakat, mereka terus melakukan edukasi dan penyebaran informasi tentang permasalahan lingkungan dan cara pengelolaannya.
Hal tersebut mengemuka dalam puncak acara Indonesia Youth Climate Summit 2020” secara daring, Senin (7/12/2020). Acara tersebut menghadirkan sejumlah generasi muda yang telah melakukan aksi nyata dan gerakan dalam mengubah perilaku masyarakat luas menjadi lebih ramah lingkungan untuk menurunkan emisi dan mengatasi perubahan iklim.
Salah satu gerakan tersebut dilakukan oleh Seangle Indonesia yang diinisiasi oleh pemuda-pemuda asal Sulawesi. Gerakan yang terbentuk pada kegiatan Indonesia Youth Marine Debris Summit pada 2017 ini memiliki dua program pendidikan, yakni sea school selama enam bulan di suatu sekolah dan upcycling yang merupakan kegiatan membuat kerajinan dari sampah.
”Program ini telah selesai kami laksanakan tahun 2018 dan pada 2021 kami berencana menjalankan program ini di tiga sekolah di Kelurahan Lolu Utara, Kota Palu. Hasil pengamatan kami dari program sebelumnya, kami menemukan bahwa hanya sedikit anak-anak yang paham masalah lingkungan, itu pun sebatas sampah penyebab banjir,” ujar Presiden Seangle Indonesia Abizar Ghiffary.
Minimnya pemahaman anak-anak terhadap masalah lingkungan ini menjadi salah satu dorongan Seangle untuk membuat kurikulum pembelajaran untuk mengatasi permasalahan sampah. Hal ini bertujuan agar anak-anak dapat mengolah sampahnya sendiri melalui kerja sama dan bantuan dari guru-guru.
Program lainnya dari Seangle adalah Rumah Pendidikan Sampah (Rupiah). Dalam program ini, anak-anak diminta membawa sampah yang mereka konsumsi bersama keluarga untuk ditukarkan dengan pendidikan yang terstruktur dan dengan kurikulum. Mereka kemudian diberi edukasi seperti kesenian atau pendidikan lainnya yang sesuai dengan aktivitas sehari-hari masyarakat.
”Dengan cara ini, kami lebih tahu bagaimana mereka bisa mengurangi volume sampah dari rumahnya. Setelah kami berikan mereka pendidikan terkait sampah dari program Rupiah tersebut, kami ingin melihat seberapa berdampaknya program ini kepada mereka. Saat ini Seangle telah mengelola sampah di Kota Palu sebanyak 620 kilogram untuk dijadikan kerajinan,” tuturnya.
Guna memberikan dampak yang lebih besar kepada masyarakat, kata Abizar, Seangle Indonesia akan membuat satu buku panduan berupa kurikulum lingkungan yang bisa diajarkan di daerah lain. Dalam buku panduan juga akan dijelaskan setiap alur program Seangle sehingga generasi muda di daerah lainnya bisa mengikuti atau mengimplementasikan program tersebut.
”Dari hasil penelitian kami di Kelurahan Lolu Utara nantinya dapat dijadikan proyek percontohan dan diterapkan di berbagai kota di Indonesia. Salah satunya sea school dan Rupiah sudah diterapkan di Kota Semarang dan Kota Pontianak,” katanya.
Upaya edukasi lingkungan juga dilakukan Bulan Ghaisan, salah satu siswa kelas IX Sekolah Nasional Satu (Nassa School). Sebagai generasi muda yang memahami pentingnya isu lingkungan, ia dan teman-teman sekolahnya melakukan kampanye beli, bijak, dan berani dengan cara memanfaatkan kembali bubble wrap sebagai pembungkus hingga mengurangi pembelian produk makanan jadi.
Agar kampanye ini semakin berdampak luas, ia juga sering membagikan kegiatan ramah lingkungannya di media sosial. ”Saat jualan saya juga sering menulis di catatan bahwa bungkus ini masih bisa dipakai lagi dan jangan sampai dibuang. Semoga orang-orang bisa mengikuti apa yang saya lakukan dan bisa berguna untuk generasi selanjutnya,” ucapnya.
Lingkup global
Kepala Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Justianto mengatakan, dalam lingkup global, pemuda yang fokus terhadap isu perubahan iklim juga telah menyuarakan aspirasinya dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim atau UNFCCC COP 25 di Madrid, Spanyol, pada 2019.
Dalam agenda tahunan tersebut, tiga generasi muda Indonesia, yakni Laetania Belai Djandam, Adinda Saraswati, dan Ramadhan Subakti, menjadi panelis pada diskusi di Paviliun Indonesia. Mereka menyampaikan bahwa hal kecil yang bisa dilakukan untuk menanggulangi perubahan iklim, yaitu mengubah perilaku agar generasi muda lebih peduli terhadap lingkungan dan menjadi kawan bumi.
”Generasi muda saat ini memiliki kreativitas dan ide-ide yang tidak terpikirkan generasi sebelumnya. Ide dan kreativitas baru inilah yang harus terus didorong dan disuarakan. Pada generasi muda ini kita bisa menemukan inspirasi dan keberanian untuk melakukan perubahan,” ungkapnya.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman menambahkan, dipilihnya pemuda menjadi aktor utama menjadi langkah efektif untuk menyebarkan informasi terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Penyebaran informasi ini sangat dibutuhkan agar isu perubahan iklim dan lingkungan dapat menjadi perhatian penting untuk lintas generasi.
Ia berharap, melalui acara Youth Climate Summit 2020, berbagai informasi, kebijakan, dan program aksi dapat diaplikasikan sebagai solusi bisnis kreatif untuk pembangunan berkelanjutan. Seluruh informasi tersebut juga diharapkan dapat diketahui masyarakat luas sebagai media pembelajaran sehingga terbangun kerja sama sosial lingkungan dan iklim.