Peran DRN Diambil Alih BRIN, Koordinasi Riset Diperkuat
Pembubaran Dewan Riset Nasional secara otomatis mengalihkan peran dan fungsi lembaga itu ke Badan Riset dan Inovasi Nasional. Hal ini dinilai bisa memperbaiki iklim dan koordinasi riset di Indonesia.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI/DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) akan semakin berperan dalam pengembangan riset di Indonesia, terutama setelah Dewan Riset Nasional (DRN) dibubarkan. Pasalnya, sebagian besar peran dan fungsi dari DRN akan dialihkan ke badan riset yang baru dibentuk pada 2019 itu.
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BRIN Bambang PS Brodjonegoro saat dihubungi, Rabu (2/12/2020), menegaskan, peran yang selama ini menjadi tanggung jawab DRN akan dilanjutkan oleh BRIN. Ini termasuk fungsi koordinasi dengan unit penelitian dan pengembangan di daerah.
Ini dapat diartikan Dewan Riset Daerah (DRD) pun akan dibubarkan dan fungsi koordinasi yang selama ini berjalan akan dialihkan langsung ke BRIN. Selain itu, fungsi pembuatan kebijakan yang sebelumnya menjadi tanggung jawab DRN juga akan dilanjutkan oleh BRIN.
Pembubaran DRN ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2020 yang diundangkan pada 26 November 2020. Tugas dan fungsi DRN akan dilaksanakan kementerian yang mengurusi iptek atau lembaga pemerintah non-kementerian yang mengelola riset dan inovasi.
”Semua akan di BRIN yang harus mengintegrasikan litbangjirab (penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan),” tutur Bambang.
Bambang menuturkan, peran BRIN pun akan semakin diperkuat untuk pengembangan riset dan inovasi di Indonesia. Melalui Prioritas Riset Nasional, BRIN akan mengarahkan program dan anggaran litbangjirap untuk menghasilkan inovasi. Itu akan dikerjakan secara kolaborasi triple helix dengan lembaga pemerintah non-kementerian, lembaga litbang di kementerian/ lembaga, serta perguruan tinggi.
”Setahun ini, BRIN sudah mulai menerapkan pendekatan triple helix untuk riset Covid-19 yang sudah melahirkan lebih dari 60 produk penanganan Covid-19. Sisa periode (sampai 2024) akan fokus pada pencapaian target Prioritas Riset Nasional 2020-2024,” tuturnya.
Sisnas Iptek
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko, Rabu, mengatakan, DRN merupakan lembaga nonstruktural. Keberadaan lembaga ini tak diamanatkan lagi dengan penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek).
”Terlebih UU Sisnas Iptek mengamanatkan BRIN sebagai organisasi pemerintah yang bertanggung jawab atas riset dan inovasi di Indonesia,” kata Handoko yang juga anggota penyusun naskah akademik RUU Sisnas Iptek.
Dibandingkan DRN, BRIN memiliki kewenangan dan cakupan yang lebih besar, baik untuk perencanaan maupun eksekusi program. BRIN akan mengintegrasikan seluruh lembaga riset dan inovasi pemerintah, baik lembaga penelitian nonkementerian maupun lembaga penelitian dan pengembangan di kementerian. Penggabungan itu diyakini tidak akan lagi mempersulit koordinasi yang selama ini menjadi salah satu tantangan besar di Indonesia.
Namun, penggabungan berbagai lembaga riset dan inovasi tidak mudah. Pembentukan lembaga ini sudah berlangsung lebih dari satu tahun. Sejumlah peneliti dan perekayasa yang kecewa dengan pembubaran DRN dan menginginkan DRN diperkuat menilai BRIN sebagai lembaga setingkat menteri tetap sulit mengoordinasikan kebijakan riset di kementerian teknis lain.
”Proses bisnis dan mekanisme terkait kebijakan berbasis riset yang didukung riset di kementerian nantinya harus menunggu peraturan presiden tentang BRIN,” kata Handoko.
Untuk memandu arah riset dan inovasi seperti yang dilakukan DRN dalam memberikan rekomendasi kepada Menteri Riset dan Teknologi selama ini, kata Handoko, sudah ada Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) 2017-2045. RIRN akan jadi payung perencanaan program riset dan inovasi Indonesia.
Selain itu, UU Sisnas Iptek juga mengamanatkan untuk penyusunan rencana induk pemajuan iptek dalam jangka pendek, menengah dan panjang atau satu tahunan, lima tahunan dan 25 tahun. Karena itu, RIRN dan rencana induk pemajuan iptek itu diyakini akan berkelanjutan karena melampaui periode politik lima tahunan Indonesia.
Perbaiki sistem
Secara terpisah, Wakil Ketua Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (Almi) yang juga Koordinator Kelompok Kerja Sains dan Kebijakan ALMI Tatas H Brotosudarmo menilai, DRN kurang dikenal di kalangan peneliti, baik secara kelembagaan maupun anggotanya. Persoalan tentang riset dan inovasi yang dihadapi peneliti selama ini biasanya dikomunikasikan langsung kepada Menristek.
Sebagai lembaga nonstruktural yang beranggotakan peneliti, birokrat, dan dunia industri, DRN memang memberikan kajian dan rekomendasinya kepada Menristek, tidak berhubungan langsung dengan peneliti. Kondisi itulah yang membuat anggota DRN berharap lembaga mereka diperkuat seperti di era Presiden BJ Habibie dengan menjadikan Presiden sebagai anggotanya hingga rekomendasi kebijakannya dapat dilaksanakan secara terintegrasi.
Meski demikian, apa pun lembaga yang akan mengurusi riset dan inovasi di Indonesia, Tatas berharap ada lembaga pendanaan penelitian dan pengembangan yang memiliki sistem dan manajemen keuangan lebih fleksibel. Selama ini, sistem keuangan riset disamakan dengan pengadaan barang dan jasa yang butuh pertanggungjawaban tiap tahun hingga mempersulit riset yang biasanya memakan waktu tahunan.
”Sistem dan manajemen keuangan lembaga pendanaan penelitian dan pengembangan itu jangan sampai mempersulit peneliti,” katanya.
Garapan bidang riset sebaiknya didasarkan pada usulan peneliti seperti yang diterapkan di sejumlah negara maju. Namun, pendanaan riset tersebut akan ditentukan oleh lembaga-lembaga khusus yang mengacu pada kebijakan tertentu. Dengan pola ini, baik riset yang sesuai prioritas pemerintah maupun riset berdasarkan minat peneliti atau riset ilmu-ilmu dasar tetap bisa sama-sama berjalan.
Di sisi lain, tantangan riset Indonesia lainnya adalah memperbanyak jumlah peneliti berkualitas. Selama ini, dana riset yang tidak besar harus dibagi untuk banyak peneliti. Akibatnya, tema-tema riset tertentu yang memiliki potensi dan capaian bagus tidak didanai secara optimal.
Di luar negeri, pendanaan itu umumnya diserahkan ke kelompok-kelompok riset yang dipimpin ilmuwan yang mumpuni. Namun, kelompok-kelompok riset seperti ini belum banyak di Indonesia. ”Manajemen riset perlu terus diperbaiki,” tambah Tatas.
Sementara itu, untuk menggandeng industri, Tatas berharap keterlibatan lebih besar kalangan usahawan. Hasil riset yang dihasilkan peneliti paling jauh berupa purwarupa.
Bila ingin didorong menjadi inovasi, keterlibatan industri untuk mengembangkan dan mendanai riset tersebut sangat diperlukan. Namun, minat industri Indonesia untuk mendanai riset dan inovasi juga tidak banyak.