Berharap Diperkuat, Dewan Riset Nasional Justru Dibubarkan
Pembubaran Dewan Riset Nasional dinilai memperlemah lembaga pengarah riset dan inovasi di Indonesia. Padahal, inovasi menjadi tumpuan ekonomi suatu bangsa untuk menjadi negara maju.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Inovasi menjadi tumpuan banyak negara untuk menggerakkan ekonomi jangka panjangnya di masa depan. Karena itu, banyak negara memperkuat lembaga pengarah riset dan inovasinya. Namun, Pemerintah Indonesia justru membubarkan Dewan Riset Nasional-nya.
”Kini, Indonesia menjadi satu-satunya negara di ASEAN yang tidak memiliki Dewan Riset Nasional,” kata Ketua Dewan Riset Nasional (DRN) Bambang Setiadi di Jakarta, Selasa (1/12/2020).
Pembubaran DRN itu ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2020 yang diundangkan pada 26 November 2020. Dengan dibubarkannya DRN, tugas dan fungsi lembaga itu akan dilaksanakan kementerian yang mengurusi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) atau lembaga pemerintah non-kementerian yang mengelola riset dan inovasi.
Cikal bakal DRN dimulai sejak 1981 dengan dibentuknya Tim Perumus Program-program Utama Nasional Riset dan Teknologi (Pepunas Ristek). Jelang pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) IV 1984-1989, Tim Pepunas Ristek diubah jadi DRN yang posisinya ada di bawah Menteri Riset dan Teknologi (Menristek).
Di era Presiden BJ Habibie pada 1999, DRN diubah menjadi lembaga yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Pengubahan itu membuat DRN sejalan dengan pola lembaga sejenis di negara lain yang bertanggung jawab langsung kepada presiden atau perdana menteri, seperti National Science and Technology Council di Amerika Serikat.
Pola itu tak bertahan lama karena DRN dikembalikan di bawah Menristek pada 2005 sebagai lembaga nonstruktural untuk menggali pemikiran dan pandangan terkait pengembangan iptek Indonesia. Lembaga ini bertugas merumuskan arah dan prioritas pengembangan iptek serta pertimbangan dalam penyusunan kebijakan strategis iptek nasional.
”DRN kuat hanya di era Presiden Habibie saja,” kata anggota DRN Komisi Teknis Energi yang juga mantan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional, Djarot S Wisnubroto. Habibie ingin setiap kebijakan dilandasi oleh sains hingga berkelanjutan dan mendorong kemandirian bangsa.
Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Iptek yang membentuk Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta tidak menyebutkan keberadaan DRN, maka DRN pun tidak memiliki pijakan legal lagi hingga akhirnya dibubarkan Presiden. Padahal, DRN dan BRIN berbeda fungsi dan tak bisa disamakan karena BRIN adalah lembaga pelaksana, sedangkan DRN memberikan rekomendasi kebijakan.
Posisi lemah
Diakui Djarot, posisi DRN di bawah Menristek sangat lemah. Alih-alih memberikan masukan kepada Presiden terkait arah dan pengembangan iptek masa depan, DRN hanya bisa memberi masukan ke menteri. Kajian DRN juga sering kali sulit dikaitkan dengan kebijakan pemerintah karena sebagian anggota DRN yang terdiri atas peneliti, birokrat, dan industri sulit mengakses kebijakan pemerintah atau kementerian teknis lain.
Karena itulah, seharusnya DRN diperkuat. Dengan berada di bawah Presiden langsung, kata Bambang, DRN bisa memberikan rekomendasi terkait pengembangan ekonomi berbasis inovasi yang menjadi tumpuan dan penggerak ekonomi negara maju. Jika tetap berada dibawah menteri, DRN akan sulit membuat kebijakan yang melibatkan berbagai kementerian teknis lain seperti yang jadi hambatan riset dan inovasi selama ini.
”Pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa bertumpu lagi pada sumber daya alam karena pasti akan habis. Namun, untuk mendorong ekonomi inovasi yang bersifat jangka panjang, butuh kebijakan yang memandu dan mengarahkan. Di situlah peran DRN,” katanya.
Untuk mendorong ekonomi inovasi yang bersifat jangka panjang, butuh kebijakan yang memandu dan mengarahkan. Di situlah peran DRN.
Dengan DRN bertanggung jawab langsung kepada Presiden, maka visi ekonomi inovasi masa depan presiden bisa diterjemahkan. Pengejawantahan visi ekonomi jangka panjang itu sulit dilaksanakan oleh kementerian atau badan teknis. Situasi itulah yang membuat BRIN yang dikepalai oleh Menristek dan kini masih dalam penyusunan juga diprediksi tetap akan sulit mendorong keberlanjutan ekonomi inovasi Indonesia.
Inovasi bukanlah sekadar menghasilkan produk berbasis riset, melainkan produk itu harus mampu dipasarkan dan digunakan hingga berperan dalam pencapaian pendapatan domestik bruto. Namun, untuk menghasilkan inovasi umumnya butuh waktu tidak pendek, lebih lama dari usia politik lima tahunan Indonesia.
”Egosektoral masih akan menghambat gerak cepat BRIN. Tidak mudah menyatukan seluruh badan penelitian dan pengembangan yang ada di kementerian ataupun lembaga penelitian nonpemerintah, baik di pusat maupun daerah, dalam satu wadah di kementerian lain,” kata Djarot. Jika ini terus terjadi, upaya mempercepat ekonomi inovasi Indonesia akan makin sulit.
Padahal saat ini, kata Bambang, Indonesia harusnya bisa melompat menjadi salah satu kekuatan ekonomi inovasi dunia dengan bertumpu pada keanekaragaman sumber daya hayatinya, baik yang ada di laut maupun di darat. Indonesia tidak bisa meniru inovasi yang dilakukan bangsa lain karena sudah pasti tertinggal dan butuh upaya besar untuk mencapainya. Upaya itu yang seharusnya dipandu dengan rekomendasi kebijakan DRN yang kuat, bukan malah dibubarkan.