Pilihan Sulit untuk Vaksin Covid-19
Memiliki vaksin yang aman dan efektif bisa menjadi titik balik dalam memerangi pandemi Covid-19. Namun, mendapatkan vaksin yang berkualitas dan sesuai dengan kemampuan kita untuk mengaksesnya tidak akan mudah.
Hingga sembilan bulan sejak kasus pertama Covid-19 ditemukan di Indonesia, belum ada tanda wabah mereda. Kini, vaksin diharapkan menjadi senjata pamungkas untuk mengakhiri wabah dengan mencipta kekebalan komunitas. Namun, penyediaan vaksin yang tepat ternyata tidak mudah.
Pemerintah Indonesia telah menjajaki kerja sama dengan empat produsen vaksin, yakni Sinovac, Sinopharm, dan CanSino dari China; AstraZeneca dari Inggris; dan baru-baru ini dengan Pfizer dari Amerika Serikat (Kompas, 25/11/2020).
Sekalipun sudah ada komitmen dari sejumlah produsen vaksin, sejauh ini baru Sinovac yang tersedia bahkan awalnya akan diberikan sebelum akhir tahun dengan izin penggunaan darurat (emergency use of authorization/EUA).
Meski demikian, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito dalam jumpa pers seusai melakukan inspeksi di Bio Farma, Bandung, Jawa Barat, Kamis (26/11/2020), mengatakan, izin penggunaan darurat masih harus menunggu data hasil uji klinis fase ketiga, yang saat ini dilakukan di Bandung. Diperkirakan, data ini baru bisa diserahkan ke BPOM pada pertengahan Januari 2021.
”Kami harus memastikan vaksin yang mendapat EUA bisa memenuhi syarat terkait mutu, keamanan, dan kemanjuran,” kata Penny.
Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Covid-19 Universitas Padjadjaran Kusnandi Rusmil mengatakan, data sementara menunjukkan vaksin Sinovac aman. ”Dari 1.620 orang yang telah mendapat suntikan dua kali, tidak terjadi hal yang merugikan subyek,” tuturnya.
Baca juga: Penemuan Vaksin Covid-19, Secercah Harapan di Ujung Lorong Pandemi
Namun, untuk kemanjuran vaksin belum ada datanya. Mereka harus menunggu respons dari subyek dengan masa pantauan satu bulan, tiga bulan, hingga enam bulan setelah penyuntikan.
Kami harus memastikan vaksin yang mendapat EUA bisa memenuhi syarat terkait mutu, keamanan, dan kemanjuran.
Hasil awal uji klinis fase pertama dan fase kedua Sinovac di China yang dipublikasikan di jurnal medis The Lancet Infectious Diseases pada 17 November 2020 juga belum dirancang untuk menilai kemanjuran vaksin yang diberi nama CoronaVac ini. Namun, dari laporan ini, titer antibodi penetral rata-rata yang diinduksi oleh CoronaVac berkisar 23,8 hingga 65,4.
Jumlah itu lebih rendah daripada tingkat yang terlihat pada orang yang sebelumnya pernah menderita Covid-19 dengan tingkat rata-rata 163,7. Titer antibodi penetral dari vaksin buatan Sinovac ini juga jauh lebih rendah dibandingkan vaksin buatan Pfizer/BionTech dan Moderna, dua vaksin yang telah melaporkan memiliki kemanjuran 95 persen. Vaksin Pfizer/BionTech mengeluarkan titer antibodi sekitar 200, sedangkan Moderna 339,7 hingga 654,3.
Titer antibodi adalah zat kimia yang beredar di aliran darah dan termasuk sebagai bagian dari sistem imunitas atau kekebalan tubuh yang menjadi benteng pertahanan terhadap antigen seperti virus. Semakin tinggi titer antibodi, peluang tubuh menjadi kebal terhadap SARS-CoV-2, virus pemicu Covid-19, menjadi lebih tinggi.
”Kalau titer antibodi yang dihasilkan rendah, peluang vaksin untuk mencegah infeksi SARS-CoV-2 jadi rendah. Idealnya antibodi yang terbentuk dari vaksinasi ini minimal sama dengan yang ada pada orang yang pernah terinfeksi,” kata Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, ahli biologi molekuler peraih fellowship pasca-doktoral dari Harvard Medical School.
Baca juga: Menanti Kehadiran Vaksin Covid-19
Studi Amin Addetia dari University of Washington School of Medicine tentang kluster penularan di kapal yang membawa 122 penumpang di Seattle menunjukkan, titer antibodi seseorang sangat menentukan dalam menahan infeksi ulang SARS-CoV-2.
Dalam studi yang diunggah di medrxiv.org pada Agustus 2020 ini disebutkan, 104 orang di kapal ini positif terjangkit Covid-19, termasuk di antaranya 3 orang yang sebelumnya pernah tertular dan hanya 3 orang lain pernah tertular yang selamat dari infeksi.
Tiga orang yang selamat dari infeksi ini karena mereka memiliki titer antibodi penetral tinggi, sedangkan 3 orang lainnya sekalipun sudah pernah terinfeksi, titer antibodinya sedikit sehingga tidak mampu menahan infeksi.
Bukti-bukti juga menunjukkan titer antibodi pada mereka yang telah pulih dari infeksi SARS-CoV-2 berkurang seiring waktu, sekalipun sampai kini belum ada data lengkap mengenai berapa lama antibodi ini bertahan. Namun, mengacu virus korona lain, termasuk SARS, kekebalan terhadap SARS-CoV-2 kemungkinan hanya berumur 6-12 bulan. Ini berarti jendela untuk pemberian vaksin juga terbatas.
Ahmad mengatakan, jika nantinya efikasi atau kemanjuran vaksin Sinovac ternyata rendah, kita sebaiknya memikirkan ulang penggunaannya. ”WHO menyarankan kemanjuran vaksin Covid-19 ini minimal 80 persen. Kalau efikasinya di bawah 50 persen, itu akan sulit memutus rantai penularan,” ujarnya.
Kekebalan komunitas
Vaksin hanya akan bisa memutus rantai penularan virus jika jumlah populasi yang menjadi kebal telah melebihi proporsi ambang batas kekebalan kawanan (herd immunity). Berapa persentase komunitas yang perlu kebal untuk mencapai kekebalan kawanan?
Ini bervariasi tergantung dari tingkat penularan penyakitnya. Semakin menular suatu penyakit, semakin besar proporsi populasi yang perlu kebal terhadap penyakit tersebut untuk menghentikan penyebarannya.
Baca juga: Tingkatkan Kepercayaan Publik pada Vaksin lewat Bukti Ilmiah
Contohnya, campak yang amat menular membutuhkan 94 persen populasi yang kebal untuk memutus rantai penularan. Sementara untuk polio membutuhkan 80 persen populasi yang kebal. ”Untuk Covid-19 minimal butuh 75 persen populasi yang kebal agar rantai penularan bisa terputus,” kata epidemiolog Indonesia di Giffith University, Dicky Budiman.
Ambang batas populasi yang harus kebal ini bisa dipengaruhi oleh kemanjuran vaksin dan cakupannya. ”Semakin kecil kemanjuran vaksin, berarti cakupan vaksin harus semakin besar. Apalagi, jika angka reproduksi (Rt) virusnya masih tinggi seperti di Indonesia,” ujarnya.
Menurut Dicky, jika kemanjuran vaksin 90 persen, cakupan vaksin yang dibutuhkan 75 persen. Namun, jika kemanjuran vaksin hanya 65 persen, dibutuhkan cakupan sampai 100 persen. Kalau kemanjuran kurang dari 50 persen, vaksin akan tidak efektif lagi. ”Idealnya kita harus pilih vaksin yang memiliki kemanjuran di atas 90 persen,” tuturnya.
Baik Ahmad maupun Dicky mengatakan, jika ternyata vaksin Sinovac yang tengah diuji di Bandung memiliki kemanjuran rendah, sebaiknya tidak dipaksakan untuk diberikan ke masyarakat. ”Kalau kemanjurannya di bawah 50 persen, sebaiknya dananya dipakai untuk meningkatkan tes dan tracing saja,” kata Ahmad.
Menurut Dicky, Indonesia seharusnya memilih vaksin yang kemanjurannya tinggi, seperti vaksin Pfizer-BioNTech dan Moderna. Masalahnya, kedua vaksin buatan perusahaan Amerika-Jerman ini sulit terjangkau. Selain harganya mahal, vaksin ini juga sudah habis terpesan.
”Pilihan kita terbatas dan tidak mudah. Kemungkinan sampai akhir 2021, Pfizer-BioNTech dan Moderna hanya akan melayani pesanan di Amerika atau Eropa,” ujarnya.
Selain itu, kedua vaksin ini juga membutuhkan suhu penyimpanan sangat rendah. Vaksin yang dikembangkan Pfizer bersama dengan BioNTech membutuhkan suhu penyimpanan minus 60 derajat celsius hingga minus 90 derajat celsius. Sementara vaksin buatan Moderna butuh suhu penyimpanan minus 20 derajat celcius Moderna.
”Ini sangat sulit untuk Indonesia. Dari sisi suhu penyimpanan, yang paling mungkin untuk Indonesia vaksin Oxford-Astrazeneca yang bisa disimpan di suhu 2-8 derajat celsius, tetapi kemungkinan vaksin ini juga sudah habis dipesan di Eropa dan negara-negara yang ikut uji klinis mereka,” katanya.
Di antara faktor-faktor ini, menurut Dicky, kita juga perlu harus memperhitungkan durasi proteksi yang diberikan oleh vaksin. Hal ini akan menentukan berapa lama waktu yang harus dipenuhi untuk memenuhi ambang kekebalan itu.
Jika hal itu meleset, ada kemungkinan target kekebalan komunitas yang hendak dicapai melalui vaksin bisa gagal. ”Ini terjadi pada vaksin ebola atau, misalnya, vaksin polio yang butuh waktu lama untuk bisa eliminasi penyakitnya,” tuturnya.
Dengan kompleksitas ini, kita harus lebih realistis untuk menjalani tahun 2021 dalam bayang-bayang Covid-19 sambil menunggu semakin banyak lagi vaksin berkualitas, termasuk vaksin buatan dalam negeri. Untuk saat ini, cara terbaik mengurangi risiko penyakit ini yakni menaati protokol kesehatan, seperti memakai masker, cuci tangan, dan menjaga jarak fisik.