Karakteristik Individu Harimau yang Berkonflik Perlu Dipahami
Edukasi dan sosialisasi akan karakter satwa liar seperti harimau pada komunitas masyarakat maupun pengelola hutan yang dekat dengan habitatnya sangat penting untuk mengurangi konflik di lapangan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Memahami karakteristik atau perilaku harimau yang berkonflik dengan manusia sangat penting dalam setiap upaya konservasi satwa. Sebab, setiap individu harimau kerap memiliki karakteristik yang berbeda sehingga dapat memengaruhi cara penanganan saat dilakukan penyelamatan.
Peneliti di Laboratorium Satwa Liar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Ali Imron dalam acara bedah buku “Bonita: Hikayat Sang Raja” karya mendiang wartawan senior Haidir Anwar Tanjung yang diselenggarakan secara daring, Jumat (27/11/2020) menyampaikan, aspek perilaku atau karakteristik harimau jarang diperhatikan dalam setiap kegiatan konservasi satwa. Padahal, karakteristik harimau sangat penting untuk mengetahui penyebab satwa liar ini berkonflik dengan manusia.
Hasil kajian menunjukkan, harimau yang berkonflik sering terjadi pada wilayah yang sudah terdegradasi. Konflik juga terjadi karena individu harimau cenderung agresif dan mengalami kesulitan fisik seperti sakit atau tua sehingga berdampak pada sulitnya menangkap mangsa satwa liar. Kondisi ini kemudian membuat mereka memilih mengejar mangsa yang lebih mudah ditangkap seperti kerbau, kambing, dan termasuk manusia.
Meski demikian, menurut Imran, Bonita tidak memiliki karakteristik agresif atau kesulitan fisik meski pernah menerkam dua manusia. Ia memandang bahwa Bonita kemungkinan sedang mencari teritori atau wilayah kekuasaan. Secara karakter, Bonita juga memiliki kecenderungan dapat beradaptasi dengan manusia.
Imran memandang bahwa Bonita berubah perilakunya ketika ada gangguan dari manusia. Hal ini yang dinilai menjadi penyebab Bonita menerkam dua manusia karena mereka mengusir dan menyerang Bonita dengan cara melempar batu.
“Karakteristik pada individu yang berkonflik perlu dipahami, termasuk penyadaran terhadap masyarakat. Padahal ketika individu diberi kandang dan pakan enak tidak mau, sepertinya individu tersebut memiliki karakteristik unik dan tidak bisa disamakan dengan yang lain. Jadi selain ada tim penanganan, harus ada juga ada tim untuk meningkatkan awareness masyarakat,” ujarnya.
Bonita merupakan harimau diselamatkan dari areal hutan tanaman industri (HTI) di Kecamatan Pelangiran, Indragiri Hilir, Riau pada Januari 2018. Bonita kemudian dirawat di pusat rehabilitasi harimau sumatera di Darmas Raya, Sumatera Barat. Pada Juli 2019, bonita kemudian dilepasliarkan ke habitat aslinya.
Perubahan lanskap
Guru besar Fakultas Geografi UGM Suratman Worosuprojo mengatakan, dalam buku “Bonita: Hikayat Sang Raja”, penulis dengan lugas mendeskripsikan tentang konflik lingkungan dan perubahan lanskap sebagai faktor yang menyebabkan harimau terusik dari habitatnya. Padahal, lanskap yang stabil menjadi faktor yang sangat penting untuk kelangsungan hidup harimau.
“Wilayah hunian harimau sudah tercabik-cabik seperti sistem makanan, air, dan living area-nya. Ini kemudian menyebabkan fragilitas (kerentanan) habitat yang merusak jalur hidup ekosistem hutan harimau. Akhirnya ini membuat stres kehidupan harimau sehingga memunculkan ketegangan lingkungan hidup atau konflik harimau dengan manusia,” katanya.
Suratman menambahkan, pada akhirnya perubahan lanskap akan menimbulkan kerusakan permanen dan menghilangkan daya tampung serta daya dukung lingkungan. Seharusnya, pembangunan harus dilakukan dengan pendekatan biodiversitas dan bukan antroprosentris yang menekankan bahwa manusia lebih penting dibadningkan spesies makhluk hiudp lainnya. Pembangunan yang menekankan pendekatan biodiversitas atau keanekaragaman hayati akan menciptakan harmoni antara manusia dengan satwa khususnya harimau.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyatakan, apresiasi terhadap buku “Bonita: Hikayat Sang Raja” sangat relevan karena KLHK dalam beberapa tahun terakhir sedang melakukan penyebaran edukasi terutama dari praktik dan pengetahuan akar rumput. Sebab, hal terpenting yang harus dilakukan dalam isu lingkungan adalah implementasi.
“Jurnalisme lingkungan itu sangat penting. Kami akan coba kembangkan bagaimana caranya mengoptimalkan dukungan dari jurnalisme lingkungan untuk bangsa kita,” ungkapnya.