Konsentrasi emisi karbon dioksida terus menunjukkan tren peningkatan. Akumulasi ini memerangkap Bumi dalam penghangatan global yang bisa memicu berbagai macam bencana.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perlambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19 tidak mampu menahan rekor gas rumah kaca yang memerangkap panas di atmosfer. Kondisi ini menyebabkan peningkatan suhu dan mendorong cuaca lebih ekstrem, pencairan es alam, kenaikan permukaan laut, dan pengasaman laut.
Laporan terbaru dari Buletin Gas Rumah Kaca Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) yang dikeluarkan pada Senin (23/11/2020) menyebutkan, pandemi memang mengurangi emisi banyak polutan dan gas rumah kaca, termasuk karbon dioksida (CO2). Akan tetapi, akumulasi konsentrasi CO2 pada masa lalu dan saat ini membuat rata-rata global emisi tahunan tetap tinggi hingga melebihi ambang tertinggi 410 bagian per juta (ppm/part per million). Kenaikan emisi terus berlanjut pada 2020 dengan peningkatan 45 persen sejak 1990.
”Karbon dioksida bertahan di atmosfer selama berabad-abad dan bahkan di lautan lebih lama. Terakhir kali Bumi mengalami konsentrasi CO2 yang sebanding dengan saat ini adalah 3 juta-5 juta tahun yang lalu, ketika suhu lebih hangat 2-3 derajat celsius dan permukaan laut 10-20 meter lebih tinggi dari sekarang. Tapi, saat itu tidak ada 7,7 miliar penduduk seperti saat ini,” kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas.
Menurut Taalas, Bumi telah melewati ambang batas global emisi 400 ppm pada tahun 2015. ”Hanya dalam empat tahun kemudian, emisi melewati 410 ppm. Laju peningkatan seperti itu belum pernah terlihat dalam sejarah catatan. Penurunan emisi terkait lockdown (karantina wilayah akibat pandemi Covid-19) hanyalah titik kecil dalam grafik jangka panjang,” kata Taalas.
Berbasis data yang ada, WMO memperkirakan selama periode karantina wilayah yang paling intens, emisi CO2 harian telah berkurang hingga 17 persen secara global. Namun, karena durasi dan tingkat keparahan tindakan karantina wilayah belum jelas, prediksi total pengurangan emisi tahunan selama tahun 2020 sangat tidak pasti.
Perkiraan awal menunjukkan penurunan emisi global tahunan antara 4,2 persen dan 7,5 persen. Pada skala global, pengurangan emisi dalam skala ini tidak akan menyebabkan CO2 di atmosfer turun.
CO2 akan terus meningkat, meskipun dengan kecepatan yang sedikit berkurang atau lebih rendah 0,08-0,23 ppm per tahun. Artinya, dalam jangka pendek, dampak karantina wilayah akibat Covid-19 tidak dapat dibedakan dari variabilitas alami.
Seperti diketahui, karbon dioksida merupakan satu-satunya gas rumah kaca berumur panjang yang terpenting di atmosfer yang berhubungan dengan aktivitas manusia, menyumbang sekitar dua pertiga dari pancaran radiasi. Tingkat rata-rata tahunan karbon dioksida secara global adalah sekitar 410,5 ppm pada 2019, naik dari 407,9 ppm pada 2018, dan telah melampaui patokan 400 bagian per juta pada 2015.
Peningkatan CO2 dari 2018 hingga 2019 lebih besar daripada yang diamati dari 2017 hingga 2018 dan juga lebih besar dari rata-rata selama dekade terakhir. Emisi dari pembakaran bahan bakar fosil dan produksi semen, deforestasi dan perubahan penggunaan lahan lainnya mendorong CO2 atmosfer 2019 menjadi 148 persen dari tingkat pra-industri 278 ppm, yang mewakili keseimbangan fluks antara atmosfer, lautan, dan biosfer tanah. Selama dekade terakhir sekitar 44 persen CO2 tetap berada di atmosfer, sementara 23 persen diserap oleh laut dan 29 persen oleh darat, dengan 4 persen tidak diserap.
Buletin Gas Rumah Kaca WMO ini didasarkan pada angka rata-rata global untuk 2019. Setiap stasiun telah menunjukkan bahwa tren kenaikan terus berlanjut pada 2020. Konsentrasi CO2 rata-rata bulanan di stasiun patokan Mauna Loa, Hawaii, adalah 411,29 ppm pada September 2020, naik dari 408,54 ppm pada September 2019. Di Cape Grim di Tasmania (Australia), angka masing-masing adalah 410,8 ppm pada September 2020, naik dari 408,58 ppm pada 2019.
Tren di Indonesia
Sejalan dengan data global, dinamikan emisi gas rumah kaca juga terlihat di Indonesia sepanjang tahun 2020, sekalipun angkanya masih di bawah rata-rata global. Data konsentrasi gas rumah kaca di Stasiun Global Atmosphere Watch Bukit Kototabang, Sumatera Barat menunjukkan, konsentrasi CO2 cenderung menurun sejak Maret 2020.
Namun, dibandingkan dengan 2014 terlihat tren kenaikan. Pada 2014, konsentrasi CO2 berkisar 395-400 ppm. Pada 2020 konsentrasinya dalam kisaran 405-410 ppm.
Tren peningkatan gas rumah kaca ini telah berkontribusi terhadap peningkatan suhu dan juga perubahan pola iklim. Kajian Ketua Divisi Meteorologi, Klimatologi, dan Oseanografi Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) Siswanto, berdasarkan data suhu di Jakarta hasil pengamatan selama 146 tahun (1866-2012) menunjukkan peningkatan suhu rata-rata yang signifikan, yaitu 1,6 derajat celsius.
Menurut Siswanto, peningkatan suhu ini pada memicu perubahan pola hujan dan peningkatan cuaca ekstrem. Di Indonesia, perubahan pola hujan ditandai peningkatan hujan di daerah di utara khatulistiwa sehingga iklimnya makin basah. Sementara di selatan khatulistiwa kering.
Rekaman data curah hujan selama 130 tahun di Jakarta menunjukkan, meski rata-rata tahunan sama, bahkan turun, frekuensi hujan ekstrem naik. Sekitar 10 persen intensitas hujan tertinggi di Jakarta atau di atas 100 mm per hari naik 14 persen akibat penambahan suhu per 1 derajat celsius.
Baca juga: Perubahan Iklim Tak Cukup Disadari Lakukan Aksi Nyata