Tak Terapkan Sawit Berkelanjutan Bisa Bawa Kerugian bagi Perusahaan
Peningkatan jumlah perusahaan sawit yang memberikan laporan kepada Carbon Disclosure Project atau Proyek Pengungkapan Karbon menunjukkan juga peningkatan perhatian akan sawit berkelanjutan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah perusahaan di dunia yang melaporkan komitmen tentang pengelolaan sawit berkelanjutan tahun ini kepada Carbon Disclosure Project atau Proyek Pengungkapan Karbon mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan komitmen ini terjadi karena perusahaan menilai adanya dampak finansial jika tidak menerapkan pengelolaan sawit yang berkelanjutan.
Direktur Kehutanan Proyek Pengungkapan Karbon (Carbon Disclosure Project/CDP) Morgan Gillespy mengungkapkan, tahun ini terjadi peningkatan sebesar 30 persen jumlah perusahaan yang melaporkan komitmen tentang pengelolaan sawit berkelanjutan. Pada 2019 lalu, terdapat 139 perusahaan yang melaporkan komitmennya, sedangkan tahun ini meningkat menjadi 168 perusahaan.
”Peningkatan terbesar terjadi pada perusahaan manufaktur, prosesor, dan retail. Akan tetapi dari trader (pedagang) dan produsen, laporan ke kami mengalami penurunan. Jadi ini ada kabar baik dan juga ada yang perlu ditingkatkan ke depannya,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Mencapai Rantai Pasokan Minyak Sawit yang Tangguh dan Berkelanjutan Melalui Kolaborasi Swasta-Publik”, Rabu (25/11/2020).
Laporan CDP tersebut bertujuan memberikan perkembangan secara terukur mengenai upaya perusahaan dalam menjalankan komitmen tanpa deforestasi. Dalam laporan tahunan yang dibuat sejak 2018 itu, CDP menemukan bahwa nilai risiko atau dampak finansial bagi perusahaan yang tidak menjalankan komitmen keberlanjutan meningkat dua kali lipat pada dua tahun terakhir. Perusahaan mengalami sejumlah risiko yakni reputasi, fisik, dan regulasi.
Morgan menjelaskan, perusahaan menyadari bahwa kampanye dari organisasi lingkungan tentang produk yang merusak hutan berpotensi memengaruhi konsumen dan membuat reputasi perusahaan menjadi buruk. Perusahaan menghitung bahwa kampanye tersebut akan memengaruhi pendapatan mereka hingga 185 juta dollar AS.
”Perusahaan juga melaporkan terkait risiko fisik karena adanya kondisi iklim ekstrem dari dampak perubahan iklim sehingga berpengaruh terhadap produksi. Pada September lalu juga terdapat perusahaan yang ditutup aksesnya di Uni Eropa karena regulasi yang berbeda. Semua ini menyebabkan saham perusahaan tersebut menurun,” tuturnya.
Meski demikian, menurut Morgan, perusahaan juga melihat adanya peluang dari komitmen menjalankan bisnis sawit secara keberlanjutan. Sebanyak 34 perusahaan melaporkan peningkatan peluang ekonomi ini hingga 4,2 miliar dollar AS. Peluang ekonomi ini meliputi peningkatan nilai merek, permintaan untuk bahan tersertifikasi, transparansi rantai pasok, dan ekspansi pasar baru.
Pendekatan yurisdiksi
Morgan menilai kendala perusahaan dalam mengurangi deforestasi dalam pengelolaan sawit salah satunya disebabkan karena rantai pasok yang sangat kompleks. Dalam mengatasi permasalahan tersebut, sekitar 8 persen perusahaan yang bekerja sama dengan CDP telah melakukan pendekatan yurisdiksi, khususnya bagi perusahaan yang telah masuk dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Deputi Direktur Teknikal Operasi Daemeter Consulting Sahat Aritonang mengatakan, perusahaan di bagian hilir menganggap pendekatan yurisdiksi bukan cara termudah dalam memperbaiki rantai pasok dan menjalankan komitmen tanpa deforestasi. Akan tetapi, pendekatan yurisdiksi dapat menjadi satu-satunya cara agar komitmen keberlanjutan dapat diterapkan dalam rantai pasok dengan para pemasok, seperti pabrik kelapa sawit ataupun petani.
”Kami ingin menjalankan program keberlanjutan yang dipimpin oleh pemerintah seperti yang telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Siak (Riau) dengan Siak Hijau. Ini sudah menjadi rencana aksi tingkat kabupaten,” katanya.
Sahat menuturkan, saat ini telah melakukan brainstrorming bersama para pihak untuk menerjemahkan komitmen perusahaan menjadi tindakan dan merancang program dalam empat kategori. Program itu antara lain melindungi dan mengingkatkan kondisi hutan ataupun lahan gambut, memperkuat petani sawit dan masyarakat lokal, memastikan penghormatan hak buruh, serta mendorong adanya kebijakan dan rencana dari pemerintah daerah secara berkelanjutan.
Head of Sustainability Implementation Golden Agri Resources (GAR) Gotz Martin menyatakan, kebijakan tanpa deforestasi dari GAR telah dilakukan sejak 2014 dan saat ini kebijakan tersebut telah diperkuat. Sebelumnya, GAR hanya fokus pada konservasi hutan dalam area konsesi dan saat ini telah diperkuat dengan program perencanaan konservasi partisipatif dengan masyarakat baik di dalam maupun sekitar area konsesi.
”Banyak pemetaan yang telah dilakukan. Perencanaan konservasi dan pemanfaatan lahan dilakukan bersama masyarakat. Pemerintah daerah kemudian bergabung dalam diskusi saat masyarakat mengajukan peraturan desa guna membantu menetapkan penggunaan lahan yang dialokasikan untuk budidaya, lindung, dan peruntukan lainnya,” tambahnya.