Perjalanan ke Planet Mars ke depan bukan mustahil dilakukan. Perjalanan ke stasiun luar angkasa yang kian murah berkat kolaborasi pemerintah-perusahaan swasta menjadi titik penting eksplorasi luar angkasa di masa depan.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
Era baru perjalanan ke luar angkasa telah dimulai. Keberhasilan kapsul Crew Dragon milik usaha rintisan SpaceX meluncur dan merapat di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) pekan lalu jadi penandanya. Kesuksesan itu akan segera diikuti sejumlah perusahaan swasta lain untuk mengirimkan manusia ke orbit rendah Bumi, bahkan menuju Mars.
Crew Dragon meluncur di atas roket Falcon 9 dari Bandar Antariksa Kennedy, Florida, Amerika Serikat, Minggu (15/11/2020). Kapsul mengangkut empat antariksawan dalam misi Crew-1, yang terdiri dari 3 orang dari Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional AS (NASA) dan seorang dari Badan Eksplorasi Antariksa Jepang (JAXA). Wahana merapat di ISS pada 27 jam kemudian.
Keberhasilan perusahaan milik Elon Musk itu menandai akhir dominasi lembaga negara dalam penjelajahan antariksa. Sejak Yuri A Gagarin dari Uni Soviet menjadi manusia pertama yang meluncur ke luar angkasa pada 1961, untuk pertama kalinya kendaraan dan roket yang dibuat dan dikendalikan swasta resmi beroperasi mengantarkan manusia ke luar angkasa.
Tak hanya itu, roket Falcon 9 yang digunakan adalah roket peluncur yang bisa digunakan kembali. Hingga kini, hanya SpaceX yang telah mengoperasikan roket model itu secara komersial. Roket ini membuat biaya peluncuran menjadi lebih murah sehingga memangkas banyak biaya penerbangan ke luar angkasa.
Selain itu, kesuksesan Crew Dragon juga menandai berakhirnya dominasi Rusia dalam pengiriman antariksawan ke luar angkasa selama hampir satu dekade terakhir. Sejak era pesawat ulang-alik NASA berakhir pada 2011, AS menggantungkan pengiriman dan pemulangan antariksawannya dari ISS dengan wahana Soyuz milik Badan Antariksa Rusia (Roscosmos).
Penggunaan Crew Dragon membuat NASA menghemat biaya sangat besar. Dikutip dari Forbes, 3 Juni 2020, NASA hanya perlu membayar 55 juta dollar AS atau sekitar Rp 770 miliar (kurs Rp 14.000) untuk satu antariksawan yang dikirimkan dengan Crew Dragon. Jika menggunakan Soyuz, biayanya mencapai 90 juta dollar AS atau hampir Rp 1,3 triliun per orang.
Sejumlah wahana luar angkasa swasta lain akan segera menyusul Crew Dragon ke ISS. Setidaknya ada wahana CST-100 Starliner milik Boeing yang kini sedang dalam proses uji dan diharapkan beroperasi mulai tahun depan. Ke depan, Crew Dragon dan CST-100 Starliner akan jadi tumpuan pengiriman antariksawan NASA ke ISS yang ada di orbit rendah Bumi pada ketinggian sekitar 400 kilometer.
Biaya penerbangan ke luar angkasa yang makin ”murah” akan mendorong makin banyak orang terbang ke luar angkasa. Pangsa pasar utama wisata ini adalah orang-orang kaya dunia. Dengan membayar sejumlah uang, siapa pun nantinya bisa menikmati sensasi jungkir balik di ruang gravitasi mikro atau melihat syahdunya Bumi bulat dari ketinggian.
Potensinya itulah yang dilirik sejumlah pebisnis untuk mengembangkan wisata luar angkasa. Meski saat ini penerbangan ke ISS masih difokuskan untuk antariksawan yang menjalankan misi tertentu, di masa depan tidak menutup kemungkinan turislah yang akan diterbangkan ke ISS.
Terlebih NASA, seperti dikutip Reuters, 7 Juni 2019, telah membuka peluang bagi masyarakat yang ingin menginap di ISS dengan biaya penerbangannya saja mencapai 50 juta dollar AS atau sekitar Rp 700 miliar. Untuk biaya makan, komunikasi dan penyimpanan, setiap pengunjung dikenai biaya tambahan 35.000 dollar AS atau hampir Rp 500 juta per malam.
Selain wisata ke orbit rendah Bumi, perjalanan ke suborbit Bumi, yaitu penerbangan ke luar angkasa tetapi tidak sampai mengorbit Bumi. juga sedang dikembangkan sejumlah perusahaan. Perjalanan di bagian atmosfer Bumi paling atas atau termosfer itu akan membawa turis dalam penerbangan selama beberapa menit dan biaya jauh lebih murah.
Salah satu perusahaan yang mengembangkan penerbangan suborbital itu adalah Blue Origin. Perusahaan ini tengah menguji New Shepard, kapsul dan roket peluncur yang bisa digunakan kembali yang memungkinkan manusia melihat indahnya Bumi dari ketinggian 105 kilometer.
Adapun Virgin Galactic tengah menguji pesawat luar angkasa SpaceShipTwo. Kendaraan ini berupa pesawat suborbital yang diluncurkan dari udara. Sebelum diluncurkan, pesawat ini dibawa pada ketinggian tertentu dengan pesawat lain. Di pesawat ini, turis bisa menyaksikan lengkung Bumi atau merasakan sensasi tanpa bobot.
Lebih jauh
Namun, ISS bukanlah tujuan akhir SpaceX atau Boeing. Misi besar NASA pada 2014 saat membiayai kedua perusahaan itu mengembangkan taksi antariksa guna mengirimkan antariksawannya ke ISS adalah sebagai batu lompatan untuk menaklukkan kembali Bulan dan menggapai impian manusia yang belum tercapai di abad ke-20, yaitu mendarat di Mars.
Melalui program Artemis, NASA berencana mendaratkan dua antariksawannya ke Bulan pada 2024, dengan satu orang di antaranya perempuan. Hingga kini dari 12 manusia yang mendarat di Bulan dalam misi Apollo pada 1969-1972, semuanya laki-laki.
Misi kembali ke Bulan ini tidak sekadar berkunjung dalam waktu singkat seperti dalam misi Apollo, tetapi mempersiapkan misi jangka panjang guna membangun pangkalan di Bulan. Pangkalan itu tidak hanya akan mengembangkan koloni manusia Bumi, tetapi juga menjadi tempat transit manusia sebelum menuju Mars.
Perjalanan menuju Mars yang efektif diperkirakan butuh 36 bulan, yaitu 9 bulan menuju Mars, 9 bulan kembali ke Bumi, dan 18 bulan tinggal di Mars. Pengembangan pangkalan di Bulan penting untuk mengembangkan sumber daya penopang perjalanan ke Mars yang tidak bergantung pada material Bumi, baik untuk bahan bakar roket, oksigen, maupun air.
Untuk mendukung penaklukan kembali Bulan itu, NASA, seperti dikutip
National Geographic, 18 November 2020, telah mengontrak tiga industri swasta, termasuk SpaceX dan Blue Origin, guna mengembangkan wahana pendarat manusia di Bulan. Namun untuk mengirimkan manusia ke Bulan akan bertumpu pada kapsul canggih Orion dan roket generasi terbaru Space Launch System (SLS) milik NASA. Jika persiapan lancar, pengiriman manusia ke Mars akan dilakukan pada awal dekade 2030-an.
Sampai saat ini, selain AS, negara yang rutin mengirim antariksawannya ke ISS adalah Rusia. China juga mampu meluncurkan antariksawannya menuju stasiun luar angkasa milik mereka, Tiangong-1 dan Tiangong-2 yang kini telah mati dan masuk kembali ke Bumi. Selain itu, ada lebih dari selusin negara yang mampu meluncurkan roket ke orbit Bumi dan setengah lusin negara yang mampu merancang wahana menuju Bulan atau Mars.
NASA percaya makin banyaknya industri swasta dan negara yang terlibat dalam eksplorasi luar angkasa akan membuat kompetisi makin ketat. Ramainya persaingan itu diyakini tidak hanya membuat biaya ke luar angkasa makin murah, tetapi juga mempercepat pengembangan teknologi luar angkasa. Dengan demikian, impian manusia untuk menaklukkan orbit rendah Bumi, Bulan, dan Mars bisa lebih cepat terwujud.