Reforma Agraria secara Struktural Belum Dijalankan Sesuai Harapan
Hingga periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, permasalahan mendasar reforma agraria dinilai belum dikerjakan dengan baik. Menurut sejumlah organisasi masyarakat, yang terjadi justru kriminalisasi masyarakat.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sampai saat ini pemerintah dinilai belum melakukan perubahan yang signifikan dan fundamental dalam menjalankan reforma agraria. Hal ini ditunjukkan dari masih banyaknya masalah yang belum terselesaikan, mulai dari ketimpangan penguasaan tanah, perampasan lahan, hingga konflik agraria yang terjadi di berbagai daerah.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika memandang selama ini reforma agraria hanya sebatas membagikan sertifikat tanah kepada masyarakat. Namun, upaya restrukturisasi penguasaan tanah untuk kepentingan petani kecil dan penyelesaian konflik agraria yang bersifat struktural belum sepenuhnya dijalankan.
“Padahal, masih banyak wilayah masyarakat, kampung-kampung, desa definitif, dan tanah pertanian produktif yang harusnya diakui haknya. Hal ini justru masih diabaikan oleh agenda reforma agraria,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring, Selasa (24/11/2020).
Dewi menyatakan, masalah struktural, seperti penguasaan tanah oleh badan usaha milik negara (BUMN), yang diharapkan akan diselesaikan dalam agenda reforma agraria saat ini juga tidak mengalami kemajuan yang signifikan. Tanah masyarakat di kawasan hutan yang masih tumpang-tindih peruntukannya dengan perusahaan BUMN seharusnya dapat segera dibebaskan.
KPA mencatat, setidaknya terdapat 502 desa seluas 664.000 hektar yang tersebar di 98 kabupaten tidak kunjung merasakan dampak dari reforma agraria. Laporan ini telah berulang kali disampaikan KPA ke pemerintah, bahkan kementerian-kementerian terkait. Namun, KPA tidak pernah mendapatkan respons positif dari Kementerian BUMN karena banyak anggota KPA yang mengalami konflik dengan perusahaan BUMN.
Selain penguasaan tanah, masalah penyelesaian konflik agraria sampai saat ini juga tidak kunjung mengalami kemajuan. Berdasarkan data KPA, sejak periode September 2019 hingga September 2020, terdapat 231 konflik agraria di 335 desa yang tersebar di 29 provinsi. Konflik agraria ini bahkan telah mengakibatkan 14 orang meninggal, 1 orang tertembak, 32 orang mengalami kekerasan fisik, dan 212 orang ditangkap, yang mayoritas adalah petani, masyarakat adat, nelayan, hingga aktivis.
”Jika kelembagaan reforma agraria ini tidak ada perubahan dan pemerintah masih anti untuk bekerja sama dengan aktivis atau organisasi rakyat, percuma saja janji reforma agraria tersebut. Proses ketimpangan, perampasan tanah dan wilayah adat, hingga masalah perkebunan telantar masih akan menjadi masalah yang dipelihara sampai sekarang,” tuturnya.
Undangan presiden
Sejumlah laporan dan sikap dari KPA tersebut disampaikan Dewi saat menghadiri undangan pertemuan terbatas Presiden kepada para pemimpin organisasi masyarakat sipil, Senin (23/11). Undangan tersebut juga ditujukan bagi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Namun, baik perwakilan dari AMAN maupun Walhi tidak ada yang menghadiri pertemuan tersebut.
Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menyatakan, selain undangan dari Presiden yang mendadak, pihaknya tidak menghadiri pertemuan tersebut karena substansi pembahasan dinilai tidak akan memuaskan masyarakat adat. Sebab, menurut Rukka, keberpihakan Presiden terhadap masyarakat adat sudah terkikis, yang ditunjukkan dengan disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja.
Di sisi lain, sampai saat ini masih banyak kasus perampasan wilayah adat terjadi di sejumlah daerah. Sejak Januari 2017 hingga pertengahan November 2020, AMAN dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mencatat, terdapat 213 kasus perampasan wilayah adat secara paksa oleh pihak luar dengan mengatasnamakan pembangunan. Bahkan, dari jumlah tersebut, 137 kasus di antaranya merupakan kasus kriminalisasi masyarakat adat.
Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati menambahkan, pihaknya memutuskan tidak hadir dalam pertemuan dengan Presiden karena ketidakjelasan agenda pertemuan. Pihak protokoler Presiden juga tidak menyampaikan informasi secara detail agenda pertemuan tersebut. Padahal, informasi terkait agenda pertemuan sangat penting diketahui agar Walhi dapat menentukan topik dan pembahasan dengan Presiden.