Pada musim hujan ini, waktunya telur ular menetas, termasuk yang ada di sekitar permukiman warga. Warga agar memitigasi kejadian yang terus berulang tiap tahun ini supaya tidak saling menimbulkan korban.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat perlu mewaspadai fenomena kemunculan ular di permukiman selama musim hujan karena banyaknya telur ular yang mulai menetas. Selain permukiman sebagai tempat yang aman dalam menetaskan telur, rusaknya populasi predator alami juga dinilai menjadi faktor penyebab banyaknya anakan ular yang berada di sekitar manusia.
Peneliti herpetologi (reptil dan amfibi) dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amir Hamidy, menyampaikan, telur ular dari hampir semua jenis menetas pada musim hujan karena efektivitas penetasan sangat bergantung pada suhu dan kelembaban. Menetasnya telur ini secara langsung juga akan meningkatkan populasi ular.
”Di alam nanti, anakan ular inilah yang akan bertahan hidup. Misalkan dari telur 12 atau 20 butir, yang menetas 80 persen dan ular tersebut belum tentu menjadi individu besar. Kemungkinan yang menjadi individu besar 2 persen-5 persen, sedangkan anakan lainnya secara alami dimakan predator, mati, dan lainnya,” ujarnya di Jakarta, Jumat (20/11/2020).
Menurut Amir, penetasan telur merupakan siklus hidup alami dari ular setiap tahun. Ia juga melihat kemungkinan masih banyak telur yang akan menetas hingga akhir Desember. Saat akan menetaskan telurnya, induk juga akan mencari tempat yang aman dan terlindungi dari serangan predator lainnya, seperti biawak, garangan, atau elang.
Meski demikian, permasalahan muncul ketika induk ular meletakan telur-telur di area permukiman warga. Sebab, anakan dari telur ular yang telah menetas secara acak akan menyebar dan mencari tempat berlindung karena induk ular tidak memiliki sifat asuh. ”Begitu menetas, anak tidak kenal induk dan induk juga tidak kenal anak,” tuturnya.
Amir menjelaskan, dari fenomena saat ini, mayoritas ular yang muncul di permukiman warga berjenis kobra jawa, piton, dan koros. Ular-ular tersebut kerap masuk ke permukiman warga untuk mencari tempat yang aman dan nyaman.
Berdasarkan catatan komunitas Taman Belajar Ular (Tabu) Indonesia, konflik ular mulai terjadi sejak April 2020 dan terus muncul sampai sekarang. Bahkan, sejak awal hingga menjelang akhir tahun ini, terdapat ratusan laporan kasus ular di permukiman warga.
Ligar Sonagar Risjony, salah satu anggota Tabu Indonesia, mengatakan, pada bulan ini Tabu mencatat terdapat 11 laporan dan selebihnya hanya informasi terkait dengan kemunculan ular di permukiman. Kasus terakhir yang dilaporkan ke Tabu ialah temuan anakan kobra dan induknya di rumah kosong di daerah Bekasi dan kasus di Depok, Jakarta Barat, serta Tangerang Selatan.
Pada kasus Kota Bekasi, 20 butir telur ular kobra berhasil dievakuasi Dinas Pemadam Kebakaran Kota Bekasi. Telur tersebut ditemukan di sekitar salah satu gudang kompleks perumahan warga. Dari 20 butir telur yang ditemukan, sekitar 10 butir diperkirakan sudah menetas. Namun, saat dipindahkan, petugas tidak menemukan induk ular kobra tersebut.
Menurut Ligar, rusaknya habitat juga menjadi salah satu penyebab ular masuk ke permukiman dan rumah warga. Sebab, ular memiliki sifat nomaden dan tidak akan kembali ke sarang semula yang sudah rusak. Adanya tumpukan barang yang mengundang tikus membuat ular nyaman untuk bersarang dan mencari mangsa.
Rusaknya populasi
Amir menilai, rusaknya populasi predator alami juga dapat menjadi faktor penyebab banyaknya anakan ular yang berada di sekitar manusia. Populasi ular akan melonjak seiring dengan turunnya populasi biawak, elang, dan garangan sebagai predator pemangsa.
Di satu sisi, tingginya konservasi lahan menjadi persawahan atau permukiman semakin memudahkan ular berkembangbiak karena tersedianya tikus sebagai pakan. Pada akhirnya, meningkatnya salah satu populasi diiringi dengan turunan populasi lain akan membuat ketidakseimbangan ekosistem di alam.
”Para akademisi harus melihat fenomena ini dengan perspektif yang lebih luas lagi, bukan masalah populasi ular meningkat dan apa yang harus dilakukan. Akan tetapi, perlu dilihat juga apa yang sedang terjadi di alam ini ketika ada ledakan populasi. Dilihat tren dan laporannya setiap tahun, berarti memang ada ketidakseimbangan ekosistem,” katanya.
Namun, fenomena kemunculan ular di permukiman ini tetap harus diamati karena tidak hanya bergantung pada tren selama satu atau dua tahun. Kajian yang dilakukan perlu melihat tren selama kurun waktu lima tahun atau lebih. Setelah itu, perlu juga mengorelasikan tren kemunculan ular dengan faktor lain, seperti kenaikan suhu dan perbedaan kelembaban, sebagai penentu tingkat efektivitas penetasan telur.
Edukasi warga
Amir mengatakan, banyaknya fenomena konflik ular membuat masyarakat perlu meningkatkan pengetahuan dan kesadarannya bahwa reptil tersebut memang hidup serta berhabitat di sekitar manusia. Sebab, ketersinggungan dengan manusia pasti akan terjadi karena ular memiliki adaptasi yang bagus di lingkungan pemukiman, persawahan, dan pekarangan.
Oleh karena itu, menurut Amir, hal utama yang perlu diketahui oleh masyarakat ialah cara mengatasi gigitan ular dan penanganan pertamanya. Masyarakat perlu mengetahui rumah sakit rujukan terdekat penyedia antibisa ular sehingga penanganan dapat lebih efektif dan efisien.
Selain itu, upaya pencegahan dengan senantiasa membersihkan dan menata rumah juga sangat penting agar ular tidak masuk dan bersarang. ”Buat rumah bersih dan diberi wewangian menyengat serta jangan sediakan tempat yang berpotensi dijadikan selter bagi ular, seperti tumpukan genteng atau material yang tidak terpakai lainnya,” ungkapnya.
Kegiatan mengedukasi masyarakat dalam menangani ular di permukiman juga terus dilakukan Tabu Indonesia. Edukasi yang disampaikan, antara lain, terkait dengan penanganan ketika bertemu ular dan cara membedakan ular berbisa serta tidak berbisa. Warga juga diberikan tata cara penanganan gigitan ular, penggunaan alat sederhana untuk menangkap ular, hingga pemaparan mitos terkait ular.
”Sesi materi yang paling lama, selain tanya jawab, ialah sesi konseling menghilangkan rasa takut terhadap ular dengan metode lima jari. Melalui metode ini, warga tidak mengalami lagi rasa takut yang tinggi dan berani mengevakuasi sendiri dengan alat sederhana,” ujar Ligar.