Pakai Hutan untuk ”Food Estate”, Komitmen Iklim RI Diragukan
Penggunaan kawasan hutan untuk lumbung pangan dikhawatirkan meningkatkan deforestasi. Ini kontradiktif dengan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca yang disampaikan Indonesia kepada dunia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah yang membuka peluang penggunaan hutan untuk food estate atau lumbung pangan memunculkan keraguan akan keseriusan komitmen Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim. Pemerintah diminta mengevaluasi dan mencabut kebijakan itu untuk membawa Indonesia kembali pada jalur penurunan emisi gas rumah kaca yang serius.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate dinilai Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara Kiki Taufik berpotensi meningkatkan deforestasi sehingga mengancam upaya penurunan emisi dari kehutanan. Dalam Kesepakatan Paris, Indonesia menyatakan target penurunan emisi 29 persen dengan 17,2 persen berasal dari sektor hutan dan lahan.
Pada Pasal 19 Permen LHK tersebut membuka peluang penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan lumbung pangan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi. ”Ini menjadi kontradiksi karena di satu sisi pemerintah akan berusaha terus melaksanakan komitmen penurunan emisi hingga 29 persen, tetapi di sisi lain dengan adanya peraturan ini jelas-jelas bertentangan,” katanya, Kamis (19/11/2020).
Ia mengingatkan, seharusnya kawasan hutan, terutama hutan lindung, merupakan cadangan agar pelepasan emisi atau karbonnya tidak terjadi lebih banyak. Di sisi lain, hutan lindung merupakan kawasan hutan yang memiliki fungsi ekologi tinggi, seperti pengaturan air, sehingga bermanfaat bagi pencegahan bencana hidrometeorologis.
Berdasarkan catatan Forest Watch Indonesia dari kompilasi data KLHK, deforestasi secara nasional sejak 2000 hingga 2020 memang mengalami penurunan dari rata-rata 1 juta hektar menjadi 400.000 hektar lahan hutan.
Namun, penurunan hanya terjadi pada hutan di wilayah Indonesia barat, seperti Sumatera dan Kalimantan. Sebaliknya, hutan di wilayah Indonesia timur, khususnya Papua, justru mengalami kenaikan deforestasi.
Peningkatan deforestasi ini juga ditegaskan dari tingginya angka luas arahan pemanfaatan hutan produksi di Papua yang mencapai lebih dari 1 juta hektar setiap tahun pada 2017-2020. Sementara luas pemanfaatan hutan di wilayah lain, seperti Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku, rata-rata hanya mencapai ratusan ribu hektar.
Pemerintah, kata dia, seharusnya menjalankan komitmen penurunan emisi dari kehutanan secara konsisten melalui pemantauan dan penegakan hukum. Sebab, selama ini upaya penegakan hukum bagi para perusak atau pembakar hutan dinilai masih lemah dan tidak merata. Ketegasan pemerintah dalam penegakan hukum inilah yang bisa membuat para pelaku jera sehingga kawasan hutan dan lahan gambut terlindungi.
”Kita punya instruksi presiden terkait moratorium hutan dan moratorium sawit. Tetapi, implementasi inpres ini tidak dijalankan. Kita memiliki regulasi yang kuat, termasuk adanya undang-undang lingkungan hidup, tetapi sekarang dilemahkan dengan terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja dan ditambah peraturan menteri ini,” katanya.
Tetap komitmen
Namun, menurut Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Agung Sugardiman, Permen LHK No 24/2020 tak menurunkan komitmen penurunan emisi di sektor kehutanan. Aksi mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan juga tetap menjadi fokus utama untuk mencapai target penurunan emisi 29 persen pada 2030.
Ia menjelaskan, penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate dalam Permen LHK No 24/2020 tidak ditujukan bagi hutan lindung yang masih lebat, asri, dan terjaga. Namun, lahan untuk lumbung pangan hanya pada hutan lindung yang sudah rusak, seperti terjadi di daerah Garut, Jawa Barat, dan Wonosobo, Jawa Tengah.
”Kawasan yang diutamakan untuk food estate adalah hutan yang sudah telanjur rusak. Kami akan tetap berhati-hati melepaskan kawasan yang masih berhutan untuk food estate. Kami sudah berkomitmen untuk membuka hutan lindung ini harus melalui studi analisis dan detail enginering design yang cukup ketat serta KLHS (kajian lingkungan hidup strategis) normal dan cepat,” ujarnya dalam webinar ”Kontribusi Sektor Kehutanan dalam Mencapai Target Penurunan Emisi”, Kamis.
Dalam webinar tersebut, Ruandha juga memaparkan enam upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di sektor kehutanan. Upaya tersebut di antaranya mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, meningkatkan konservasi, pengelolaan hutan lestari, serta peningkatan cadangan karbon hutan. Selain itu, dilakukan juga pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta pemulihan lahan gambut.
Sementara target aksi mitigasi sektor kehutanan yang ditetapkan yakni menurunkan angka deforestasi hingga 325.000 hektar per tahun, meningkatkan penerapan prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan, rehabilitasi 12 juta hektar lahan terdegradasi atau 800.000 hektar per tahun, dan restorasi 2 juta hektar lahan gambut pada 2030.
Kita benar-benar menginjak rem untuk tidak membuka hutan-hutan yang masih primer. (Ruandha Agung Sugardiman)
”Kenapa masih ada angka deforestasi ini harus dipahami bahwa negara kita masih melakukan pembangunan dan memerlukan lahan. Regulasi sudah menetapkan tidak ada izin baru lagi di hutan primer dan lahan gambut serta evaluasi izin pembukaan untuk kelapa sawit. Artinya, kita benar-benar menginjak rem untuk tidak membuka hutan-hutan yang masih primer,” tuturnya.
Selain itu, ia juga menegaskan, tindakan korektif yang dilakukan KLHK, yakni mengubah upaya penanaman pohon menjadi pembangunan hutan sehingga penyerapan karbon dioksida dapat lebih optimal.
Kegiatan pembangunan hutan ini salah satunya akan dilakukan melalui persemaian modern di lahan seluas 100 hektar yang berlokasi di ibu kota negara baru di Kalimantan Timur.
Restorasi gambut
Deputi I Bidang Perencanaan dan Kerja Sama Badan Restorasi Gambut (BRG) Budi Satyawan Wardhana menyampaikan, pemulihan lahan gambut menjadi salah satu upaya pencegahan karhutla dan membantu mengatasi perubahan iklim.
Sebab, lahan gambut yang rusak merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca yang setiap tahun melepaskan hampir 6 persen emisi karbon dioksida antropogenik global.
Dari catatan terakhir, selama empat tahun dibentuk atau sampai akhir 2019, BRG telah merestorasi 782.000 hektar lahan gambut atau sekitar 87 persen dari target yang ditetapkan. Restorasi tersebut dilakukan di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.
Menurut Budi, kegiatan restorasi gambut masih akan tetap berjalan oleh lembaga lain meski masa tugas BRG sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 telah berakhir pada Desember mendatang. Sebab, selama ini BRG kerap berkoordinasi dengan lembaga negara lain, termasuk pemerintah daerah untuk menyelaraskan program restorasi gambut, seperti pembasahan, revegetasi, dan revitalisasi.
”Jika kemudian presiden memercayakan adanya masa kerja kami yang kedua setelah Desember 2020, kami akan menuju green peatland economy (ekonomi lahan gambut hijau). Kalau restorasi saja mungkin tidak cukup keberlanjutan dan tidak bisa menunjang skala yang lebih luas. Dengan green peatland economy, kami upayakan untuk bisa mencakup hal-hal yang terkait dengan pembangunan rendah karbon,” ujarnya.