Peredaran Hoaks Semakin Dahsyat Selama Pandemi Covid-19
Tahun 2020 ditandai dengan peningkatan jumlah hoaks yang dahsyat. Hingga November ini, jumlah hoaks yang beredar sudah hampir berlipat ganda dari jumlah yang terjadi pada 2019.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peredaran hoaks di Indonesia semakin dahsyat sepanjang tahun 2020. Hal ini dinilai akibat kombinasi di antara tiga fenomena besar, yakni pandemi Covid-19, situasi politik terkait pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, dan Pilkada Serentak 2020.
Berdasarkan data Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), hingga November 2020 sudah terpantau sebanyak 2.024 hoaks yang beredar di masyarakat. Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho mengatakan, ini jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Pada 2018, jumlah total dalam setahun adalah sebanyak 997 hoaks dengan rerata 2-3 hoaks baru per hari. Jumlah ini meningkat sekitar 22 persen pada 2019 dengan total 1.221 hoaks (3-4 hoaks per hari).
Tingkat produksi hoaks pada 2020 begitu tinggi sehingga jika dibandingkan dengan jumlah 1.221 hoaks yang terjadi pada 2019, angka tersebut secara rerata sudah terlampaui pada Juli 2020.
”Kami melihat bahwa misinformasi dan disinformasi ini masih akan menjadi ancaman bagi kita semua, baik itu di konteks politik, kebencanaan, mauupun kesehatan,” kata Septiaji dalam diskusi yang digelar oleh Whatsapp pada Kamis (19/11/2020).
Ia mengatakan, sepertiga hoaks bertopik pandemi dan sisanya adalah isu politik sosial, seperti pilkada serentak yang akan digelar pada Desember 2020 dan juga terkait dengan kontroversi pembahasan dan pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
Hal yang sama disampaikan Wakil Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab Cek Fakta Liputan6.com Elin Yunita Kristanti. Ia mengatakan, berdasarkan perilaku pembaca medianya, banyak sekali masyarakat yang hanya membaca satu paragraf pertama suatu berita atau bahkan judulnya saja.
Hal ini juga menjadi salah satu pemicu beredarnya hoaks. ”Hanya baca judul dan tidak memahami isinya. Lalu, ada emosi untuk meresponsnya dan muncul diskusi yang liar serta dibumbui dengan praduga dan ketidaktahuan yang akhirnya menyebar ke mana-mana,” kata Elin.
Direktur Komunikasi Whatsapp Asia Pasifik Sravanthi Dev mengatakan, pihaknya juga memahami fenomena maraknya penyebaran hoaks melalui Whatsapp.
Oleh karena itu, Sravanthi mengatakan, Whatsapp berusaha membatasi terjadinya penyebaran pesan secara masal (mass messaging), seperti spam. Berdasarkan catatannya, Whatsapp memblokir permanen 2 juta akun per bulan yang terdeteksi menyebar spam.
Untuk memberikan hambatan tambahan agar sebuah kabar tidak mudah viral, Whatsapp juga membatasi jumlah orang yang bisa mendapat pesan terusan (forwarded message) menjadi lima orang saja. Sravanthi mengatakan, mekanisme ini mengurangi jumlah forwarded message sebanyak 25 persen.
Bahkan, untuk pesan-pesan yang terdeteksi sudah sering diteruskan (highly forwarded message), hanya bisa diteruskan ke satu orang lainnya. Mekanisme yang baru diperkenalkan pada April 2020 lalu, kata Sravanthi, sudah terbukti mengurangi 70 persen penyebaran pesan-pesan sejenis secara global.
Namun, menurut dia, pemberantasan hoaks yang sejati adalah menyadarkan masyarakat mengenai betapa berbahayanya hoaks bagi kehidupan masyarakat. Untuk itu, kerja sama lintas sektor antara Whatsapp dan masyarakat sipil dan pemerintah menjadi hal yang krusial.
”Misinformasi dan hoaks sudah menjadi persoalan kemasyarakatan dewasa ini. Kami berkomitmen untuk menanggulangi hal ini. Oleh karena itu, kita juga butuh bantuan dari pihak-pihak lain, termasuk komunitas pemeriksa fakta,” kata Sravanthi.
Peningkatan jumlah hoaks yang beredar pada 2020 ini memang tidak bisa dihindari dengan keberadaan pandemi Covid-19. Pada awal-awal pandemi, dunia dilanda dengan tersebarnya berbagai hoaks dan informasi menyesatkan lainnya mengenai penyakit yang belum begitu dikenal tersebut.
Organisasi Kesehatan Dunia bahkan menyebut pandemi Covid-19 hadir dengan disertai adanya infodemics; membanjirnya informasi yang tidak akurat mengenai pandemi Covid-19.
Inisiatif
Dalam kesempatan yang sama, Whatsapp juga meluncurkan kampanye literasi media digitalnya yang bertajuk ”Jari Pintar ABC Hempaskan Hoaks”. Sravanthi mengatakan, ABC ini adalah kependekan dari ’Amati isinya’, ’Baca sampai habis’, dan ’Cek sumbernya’.
Bersamaan dengan itu, Whatsapp juga meluncurkan sebuah jingle dan dance challenge yang menyertai kampanye ABC ini. Harapannya, kampanye yang sederhana dan ringan ini membuat masyarakat Indonesia semakin sadar bagaimana cara menangkal hoaks.
”Tujuan dari kami adalah memberdayakan masyarakat Indonesia untuk memahami isu hoaks dan menyadarkan bahwa cara menghadapi hoaks itu sederhana sekali,” kata Sravanthi.
Bersama dengan Whatsapp, Mafindo juga meluncurkan kembali chatbot-nya yang bernama Kalimasada. Dengan chatbot yang dapat dikontak melalui nomor +62-859-2160-0500 ini, masyarakat dapat mencari klarifikasi hoaks yang sudah diklarifikasi oleh Mafindo dengan cara memasukkan sebuah kata kunci.
Dari menu yang dapat ditampilkan setelah pengguna mengirimkan kata ’halo’, pengguna juga akan mendapat ringkasan sepuluh hoaks yang sedang populer.
”Di Indonesia suka menggunakan Whatsapp, tetapi mungkin tidak tahu cara browsing. Dengan chatbot ini, untuk mengecek hoaks, mereka tidak perlu keluar dari aplikasi Whatsapp,” kata Septiaji.