Migrasi Manusia Membawa Beragam Penyakit Tua ke Indonesia
Laporan mengenai studi epidemiologi penyakit masa lampau atau paleoepidemiologi di Indonesia sangat sedikit. Padahal, data dari masa lalu ini sangat penting untuk memahami risiko penyakit pada masa depan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Migrasi leluhur yang memicu pembauran genetik sejak masa prasejarah telah membawa penyebaran penyakit, dan sebagian di antaranya berupa penyakit yang diturunkan. Ekstrapolasi data arkeologi dengan data epidemiologi, genetik, dan molekular mengenai penyakit lama di Indonesia menjadi kunci untuk memahami penyebaran penyakit saat ini dan risiko masa depan, khususnya penyakit terkait dengan genetik dan metabolik.
Kaitan di antara penyakit sejak zaman prasejarah ini didiskusikan dalam simposium hari pertama Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) ke-9, yang diselenggarakan secara daring pada Kamis (19/11/2020). Tampil sebagai pembicara ahli biologi molekuler dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana, Ferry Fredy Karwur; arkeolog Universitas Indonesia, Karina Arifin; dan dua arkeolog dari Balai Arkeologi Yogyakarta, Prof Harry Widianto dan Sofwan Noerwidi.
Padahal, data dari masa lalu ini sangat penting untuk memahami risiko penyakit di masa depan.
Ferry mengatakan, sejumlah penelitian tentang penyakit masa prasejarah di Indonesia masih sangat terbatas. Di antaranya keberadaan material arkeologis yang sporadik, selain adanya modifikasi tulang sebelum dan sesudah kematian. Laporan mengenai studi epidemiologi penyakit masa lampau (paleoepidemiologi) di Indonesia lebih terbatas lagi. ”Padahal, data dari masa lalu ini sangat penting untuk memahami risiko penyakit di masa depan,” ujarnya.
Beberapa temuan awal menunjukkan, adanya indikasi gejala osteoarthritis, antara lain, berupa penebalan dan pengerasan pada tulang subchondral pada sejumlah individu yang ditemukan di situs arkeologi Goa Harimau di Sumatera Selatan. Di situs ini juga ditemukan gejala lesi pada bagian tengkorak yang bisa disebabkan penyakit infeksi, seperti tuberkulosis, lepra, atau sifilis. ”Ini masih perlu didalami penyebabnya. Perlu studi paleo-epidemiologis yang komprehensif untuk memetakan kondisi patologis rangka-rangka tulang di Goa Harimau,” katanya.
Kajian tersebut diharapkan bisa menyingkap apakah ada perbedaan populatif terkait dalam hal distribusi tipe patologis yang mungkin dapat menyingkap perbedaan kerentanan penyakit, baik pada periode budaya preneolitik, neolitik, dan metalik, serta perbedaan ras.
Sementara itu, menurut Ferry, indikasi lepra atau kusta telah ditemukan pada sisa rangka manusia dari situs Lewoleba, Nusa Tenggara Timur. Melalui analisis karbon, fosil ini diketahui berumur 2990 tahun, yang menunjukkan bahwa penyakit ini telah lama ada di Nusantara.
Mengacu pada kajian Koesbardiati (2011), kehadiran lepra di Indonesia dibawa para migran leluhur dari arah barat via jalur selatan, yaitu sepanjang pantai di Timur Tengah, India, Sri Lanka, dan Thailand. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, Indonesia saat ini memiliki penderita kusta terbanyak ketiga di dunia, yaitu 17.439 orang. Peringkat kedua adalah Brasil sebanyak 27.863 orang dan India 114.451 orang.
Temuan fosil manusia dengan indikasi terserang lepra juga ditemukan Sofwan di situs Leran, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Situs yang diduga dari periode Majapahit ini memiliki beberapa lapis penguburan. Selain lepra, di sini juga ditemukan sejumlah fosil gigi yang mengindikasikan ada peradangan gangguan pertumbuhan, yang bisa dipicu oleh masalah metabolik, rematik, anemia, diabetes melitus, konsumsi alkohol, dan leukemia.
”Dari situs ini bisa dilihat bahwa lapisan penguburan yang paling bawah atau lebih awal menunjukkan banyak penyakit fisik, sedangkan bagian atas lebih banyak penyakit menular,” ujarnya.
Metabolik dan genetik
Sementara itu, Harry membandingkan fosil gigi Homo erectus dan sejumlah fosil Homo sapiens di sejumlah situs di Sangiran, Ngandong, dan sekitarnya. Menurut dia, gigi Homo erectus yang berumur 1,2 juta tahun lalu relatif tidak mengalami kerusakan. Struktur gigi yang relatif terjaga juga terjadi pada Homo sapiens dengan ras Australomelanesid yang diperkirakan tiba di 15000-5000. Namun, pada kelompok Mongoloid, baik yang berbahasa Austronesia maupun Austroasiatik, yang tiba di Nusantara sekitar 4.000 tahun lalu, ditemukan banyak kerusakan gigi, seperti keropos dan berlubang.
”Saya menduga ini kaitannya dengan perubahan makanan. Homo erectus makanan utamanya adalah binatang besar, ini masih dilanjutkan oleh Australomelanesid yang juga tinggal di goa-goa dan pemburu binatang. Sementara itu, Mongoloid adalah pembawa budaya pertanian awal, domestifikasi binatang dan tumbuh-tumbuhan. Konsumsi karbohidrat lebih banyak mengakumulasi gula, menghasilkan sisa asam, akhirnya menyebabkan keropos gigi,” katanya.
Ferry menambahkan, migrasi para penutur Austronesia yang kemudian menjadi leluhur sebagian besar orang Indonesia saat ini juga membawa penyakit, di antaranya adalah hiperurisemia atau peningkatan kadar asam urat dalam darah, arthritis inflamatif atau perdaangan sendi, dan penyerta lainnya. Hiperurisemia umumnya memengaruhi sejumlah penyakit metabolik, sebagai hasil interaksi genetik dan lingkungan. Namun, gout topus inflamatif atau asam urat akut pada penutur Austronesia sangat dipengaruhi oleh faktor genetik.
”Bukti arkeologi di Taiwan, Filipina, dan Indonesia tentang keberadaan gout topus inflamatif belum dilaporkan. Akan tetapi, data arkeologi di Oseania dan bukti epidemiologi di Taiwan, Filipina, Oseania, dan di Indonesia, khususnya di daerah jasirah utara Sulawesi menguatkan hal ini,” katanya.
Sementara itu, Karina memaparkan tentang praktik shamanisme dalam lukisan cadas. Praktik shamanisme atau penyembuhan kuno melalui ritual seperti tarian dan nyanyian ini banyak ditemukan dalam lukisan cadas di sejumlah negara lain, tetapi sulit diidentifikasi di sejumlah lukisan tangan di goa-goa di Indonesia.
”Shaman merupakan profesi tertua karena penyakit sudah ada sejak awal manusia. Hanya saja, ini tidak terlihat langsung di gambar cadas di Indonesia. Kita tidak punya gambar yang jelas menunjukkan praktik shaman. Tokoh shaman itu ada. Namun, apakah itu sedang menyembuhkan penyakit, belum jelas terlihat,” ujarnya.