Kebebasan pers selama pandemi Covid-19 menjadi fondasi penting kampanye kesehatan dan keselamatan publik. Namun, kebebasan media di berbagai negara mengalami represi.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebebasan pers menjadi kunci untuk mewujudkan demokrasi dan selama pandemi Covid-19 hal ini dapat menyelamatkan nyawa. Dalam pandemi ini, media dituntut berperan sebagai pengawas jalannya pemerintahan dengan menganalisis, mengevaluasi, dan menginformasikan kepada publik tentang tugas, tantangan, dan langkah yang harus diambil.
Pentingnya kebebasan pers ini mengemuka dalam Konferensi Global Kebebasan Pers ke-2 yang diselenggarakan secara daring pada Senin (16/11/2020), dengan tuan rumah Kanada dan Botswana. Konfrensi yang pertama dilakukan di London pada Juli 2019. Turut dalam konferensi ini sejumlah menteri dan pejabat publik.
Terkait hal ini, Inggris yang memimpin Koalisi Kebebasan Media bersama Kanada mengingatkan agar semua pihak menghormati kebebasan media di masa pandemi.
”Media yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab adalah senjata ampuh memerangi Covid-19. Kebebasan media menjadi sumber kehidupan demokrasi dan melindungi hak asasi manusia, serta selama pandemi ini, kebebasan media merupakan fondasi penting untuk keberhasilan kampanye kesehatan dan keselamatan publik,” kata Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste Owen Jenkins, Kamis (19/11/2020), dalam keterangan tertulis.
Selama pandemi, terjadi peningkatan represi terhadap kebebasan media. Berdasarkan data yang dikumpulkan International Press Institute, ada 426 pelanggaran kebebasan pers di seluruh dunia selama pandemi ini. Sebanyak 12 serangan dan pembatasan dikumpulkan IPI pada bulan-bulan setelah dimulainya pandemi menunjukkan ada pembatasan informasi oleh pemerintah.
Selama pandemi ini, kebebasan media merupakan fondasi penting untuk keberhasilan kampanye kesehatan dan keselamatan publik.
Ancaman kebebasan pers juga dilakukan oleh 17 negara bersamaan dengan pemberlakuan undang-undang terkait disinformasi. Masalahnya, kategori disinformasi bersifat politis dan bias kekuasaan.
Sebagai contoh, jurnalis di Rusia melaporkan tentang penanganan pihak berwenang atas pandemi Covid-19 menghadapi denda dan penyelidikan. Selama pandemi, regulator media di negara itu telah melakukan sensor, memesan, dan mengancam memblokir situs berita yang diliput.
Aljazair juga mengubah hukum pidana untuk mengkriminalisasi ”berita palsu”, sementara di Filipina, Presiden Duterte menandatangani undang-undang yang memberikan dirinya kekuatan khusus mencakup penerapan hukuman penjara dan denda karena menyebarkan ”berita palsu”. Di Turkmenistan, pemerintah melarang penggunaan kata ”virus korona”.
Melindungi kesehatan publik
Beberapa rekomendasi dalam konferensi ini, antara lain, negara harus mengakui peran penting yang dimainkan jurnalisme independen dalam melindungi kesehatan publik. Oleh karena itu, pembatasan yang diberlakukan pada pelaporan data Covid-19 dan pembatasan akses informasi harus segera dicabut.
Negara harus memastikan bahwa media memiliki akses sama ke pejabat publik dan data yang dimiliki pemerintah. Pemblokiran formal atau informal apa pun pada akses media untuk petugas kesehatan juga harus diberitakan. Selain itu, polisi harus menghentikan segala bentuk intimidasi dan serangan terhadap jurnalis sebagai konsekuensi dari liputan mereka tentang pandemi.
Berikutnya, negara harus mencabut tindakan hukum atau administratif yang tidak proporsional yang dimaksudkan untuk membatasi penyebaran disinformasi, yang menghambat kerja media dalam memberikan informasi yang independen dan akurat tentang Covid-19 kepada publik. Sementara serangan fisik terhadap jurnalis yang meliput pandemi harus segera diinvestigasi oleh penegak hukum dan pejabat publik harus menghentikan upaya memfitnah jurnalis, termasuk melalui serangan verbal.
Terkait tekanan ekonomi yang dialami industri media selama pandemi ini, konferensi merekomendasikan agar dukungan keuangan untuk media independen, termasuk dari dana publik, patut dipertimbangkan. Namun, dukungan darurat pemerintah untuk media harus dipandu secara ketat dengan kriteria yang jelas, transparan, dan obyektif.
Dalam acara ini, Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab mengumumkan pemenang Penghargaan Kebebasan Pers kepada Asosiasi Jurnalis Belarus (BAJ). Andrei Bastunets, Ketua Asosiasi Jurnalis Belarus, menganggap penghargaan ini sebagai penilaian tinggi atas kerja kolega mereka, yang setiap hari secara jujur meliput acara di Belarus, mempertaruhkan kebebasan dan kesehatan mereka.
”Saat ini, jurnalis di Belarus harus bekerja di bawah hujan tembakan, secara harfiah, di negara yang damai. Mereka adalah korban kekerasan polisi, dihukum dan ditangkap dalam jangka waktu lama karena pekerjaan mereka. Kami berterima kasih kepada setiap suara di dunia yang berbicara untuk jurnalis Belarus hari ini! Ini sangat berarti bagi kolega kami yang sedang dipenjara,” kata Bastunets.