Warga Jakarta Mulai Melirik Maggot, Si Pengurai Sampah Organik
Tidak hanya di tempat penampungan sampah, pemanfaatan maggot atau larva lalat tentara hitam untuk mereduksi sampah organik kini mulai dilakukan di rumah-rumah warga.
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan maggot juga dapat mendorong warga untuk membiasakan diri memilah sampah organik dan nonorganik sejak dari rumah. Sampah organik menjadi pakan maggot sehingga pembuangan sampah ke tempat pembuangan sampah pun bisa direduksi.
Sudah hampir 10 bulan ini, Rudi, warga RT 002 RW 005 Kelurahan Pengadegan, Pancoran, Jakarta Selatan, membudidayakan maggot. Rudi memanfaatkan gang sempit di depan rumahnya untuk memperbanyak jumlah hewan bernama latin Hermetia illucens ini.
Di sana, puluhan maggot bersarang di sebuah kandang kayu berukuran 3×1×1 meter kubik buatan Rudi. Maggot-maggot tersebut setiap hari menghasilkan telur. Dalam kurun waktu tertentu, telur berubah menjadi larva yang siap mereduksi sampah organik.
Baca juga: Usaha ”Maggot” Ramidi di Tengah Pandemi
Keberadaan maggot ini membuat Chandra Maya (42), istri Rudi, tak lagi pusing membuang sampah organik. Kini, Maya selalu membuang sampah bekas makanan pada tong sampah yang disediakan khusus oleh suaminya di depan rumah.
”Sampah organik apa pun, kayak sampah sayuran, buah, atau ikan, saya buang ke sini. Nanti bapak yang pindahin ke wadah yang ada maggotnya,” katanya saat ditemui.
Bahkan, Maya juga mengajak tetangga dekatnya untuk ikut membuang sampah organik mereka ke tong sampah tersebut. Saat ini, setidaknya ada enam hingga tujuh tetangga yang rutin membuang sampah organiknya ke sana.
Sampah organik yang dibuang oleh Maya setiap hari mencapai 3 kilogram. Sementara sampah dari tetangganya masing-masing 1 kilogram per hari. Artinya, setiap hari ada sekitar 10 kilogram sampah organik yang dikumpulkan pada tong sampah depan rumah Rudi. Semuanya menjadi santapan larva maggot.
”Kebetulan saya jualan juga. Jadi, sampah organiknya lumayan banyak. Kalau tetangga yang lain, tidak sebanyak saya,” kata Maya.
Setiap hari ada sekitar 10 kilogram sampah organik yang dikumpulkan di tong sampah depan rumah Rudi. Semuanya menjadi santapan larva maggot.
Keberadaan maggot di rumah Rudi juga sekaligus menyadarkan warga sekitar untuk memilah sampah organik dan nonorganik semenjak dari rumah. Sebelumnya, warga terbiasa mencampur kedua jenis sampah tersebut pada tong sampah.
”Kalau sampah yang anorganik nanti diambil sama petugas sampah buat dibawa ke bank sampah,” ujarnya.
Secara tidak langsung, keberadaan maggot di depan rumah Rudi membuat suasana sekitarnya menjadi lebih asri. Sebab, Rudi tidak hanya memanfaatkan larva maggot untuk mereduksi sampah organik.
Rudi juga memanfaatkan kasgot (bekas maggot) sebagai medium pupuk tanaman. Saat ini, ada puluhan tanaman sayuran berjajar di tepi-tepi gang sekitar rumahnya. Warga bebas memetik tanaman tersebut sebagai bahan pangan.
”Ada cabai, lobak, pare, dan bayam. Pokoknya yang bisa dimakan sama warga-warga di sini,” katanya.
Larva maggot milik Rudi juga biasa digunakan untuk pakan nila, lele, dan patin. Kebetulan, di sepanjang tepi gang rumahnya terdapat kolam ikan-ikan tersebut. Selain ikan, larva maggot juga bisa menjadi pakan unggas.
Daur hidup
Larva-larva maggot yang diberi makan setiap hari akan bersalin warna menjadi hitam. Dalam fase ini, larva menjadi prepupa lalu pupa.
Pupa dipindahkan oleh Rudi ke kandang maggot. Dalam kurun 7-14 hari, pupa menjadi lalat tentara hitam. Lalat ini nantinya berkembang biak dan bertelur. Telur kembali berkembang menjadi larva.
Ketua RW 007 Kelurahan Pisangan Timur, Pulogadung, Jakarta Timur, Iwan juga mulai membudidayakan maggot sejak tiga bulan yang lalu. Saat ini, ia bahkan tengah kekurangan sampah organik sebagai makanan larva maggot.
Iwan masih mengambil sampah organik dari warung-warung penjual makanan dan buah-buahan. Sampah yang didapatkan tidak menentu, bisa 22 kilogram, 18 kilogram, atau hanya 4 kilogram sehari.
”Saya sudah berkoordinasi dengan ketua-ketua RT untuk mengumpulkan sampah organik. Namun, saat ini masih kebingungan menyiapkan akomodasinya,” ungkapnya.
Dengan adanya budidaya maggot yang sementara ditempatkan di rumahnya tersebut, Iwan berharap timbunan sampah di RW-nya menjadi berkurang. Ia juga ingin warga berpartisipasi aktif memilah sampah organiknya agar direduksi larva maggot.
Baca juga: Urai Sampah dengan Belatung
TPST hampir penuh
Sebelumnya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih mengungkapkan, sejak 30 tahun beroperasi, kapasitas TPST Bantargebang kini hampir penuh. Maka dari itu, timbunan sampah dari warga Jakarta perlu dikurangi.
Sebanyak 60 persen sampah tersebut merupakan sampah rumah tangga. Sebanyak 53 persen di antaranya merupakan sampah organik. Sementara sampah pasar mencapai 7,68 persen dengan komposisi sampah organiknya mencapai 80 persen.
”Dengan adanya biokonversi maggot ini, sampah yang masuk ke TPST Bantargebang dapat berkurang,” katanya.
Meski begitu, selama pandemi Covid-19, jumlah kiriman sampah ke TPST Bantargebang menurun. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, jumlah sampah yang dikirim ke TPST Bantargebang pada Februari-Maret 2020 rata-rata lebih dari 9.000 ton per hari.
Sementara pada April 2020, jumlahnya menurun menjadi rata-rata 7.000 ton sehari. Jumlah kiriman sampah tersebut kembali turun selama Mei-Oktober 2020. Pada periode tersebut, rata-rata kiriman sampah ke TPST Bantargebang sebanyak 6.000-6.900 ton saban hari.
Inti-plasma
Pada Agustus lalu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga telah menerbitkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Lingkup Rukun Warga. Bersamaan dengan ini, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta membentuk 71 lokasi inti budidaya maggot. Inti-inti tersebut nantinya akan memasok bibit-bibit maggot ke plasma yang berada di tingkat RW.
Salah satu lokasi inti budidaya maggot ini terdapat di Kantor Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta di Kramat Jati, Jakarta Timur. Tempat ini dikenal sebagai Laboratorium Maggot.
Menurut Herman, salah satu pengurus Laboratorium Maggot di sana, selama ini banyak warga datang ke tempatnya untuk belajar membudidayakan maggot. Selain pengurus RW, ada juga perorangan yang belajar di situ.
”Banyak yang sudah lebih dulu belajar ke sini. Padahal, menurut rencana, Januari nanti kami baru gencar memberikan pendampingan,” katanya.
Laboratorium Maggot Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta saat ini mampu mereduksi sampah organik hingga 50 kilogram per hari. Targetnya, laboratorium ini mengolah 100 kilogram sampah organik setiap hari.
Lokasi inti budidaya maggot lainnya berada di Tempat Pengolahan Sampah-Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) Pancoran. Pengurus inti budidaya maggot TPS3R Pancoran, Purwandana, mengungkapkan, dari 1-17 November 2020, maggot di TPS3R Pancoran dapat mereduksi sampah sampai 275 kilogram.
Asumsinya, 1 kilogram larva maggot dapat memakan sampah sekitar 3 kilogram. ”Sampahnya kami ambil dari sampah buah-buahan di Pasar Rawajati sama ampas kelapa di Pasar Pengadegan,” kata Purwandana.
Nantinya, inti budidaya maggot di TPS3R Pancoran ini akan memasok bibit maggot berusia 8 hari ke plasma-plasma di setiap RW. Plasma di tingkat RW ini nantinya bertugas memberikan pakan maggot dengan sampah organik selama 10 hari sampai usia panen.
”Saat ini yang sudah berjalan, kan, di RW 005 Pengadegan. Kemarin, di RW 001 Pancoran sudah kami jajaki juga,” katanya.
Inti budidaya maggot juga dikembangkan di TPS3R Dipo PLN Cililitan, Jakarta Timur. Pada 8-31 Juli 2020, inti ini mampu mereduksi 128,3 kilogram sampah organik. Sementara pada Agustus 2020, jumlah sampah yang dikurangi mencapai 393,3 kilogram.