Mayoritas Kebun Sawit Masih Belum Bersertifikat ISPO
Sertifikasi ISPO menjadi harapan bahwa produk sawit Indonesia berkelanjutan dari hulu hingga hilir. Hingga kini baru 38,03 persen luas sawit di Indonesia yang tersertifikasi wajib tersebut.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha sawit terus didorong memperoleh sertifikasi wajib pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO). Kementerian Pertanian mencatat, hingga 30 Juni 2020, Komisi ISPO telah menerbitkan 621 sertifikat untuk perusahaan swasta, perusahaan negara, serta koperasi plasma dan swadaya.
Sebanyak 621 sertifikat ISPO yang mencakup area perkebunan sawit seluas 5.450.329 hektar (ha) atau 38,03 persen dari total luas kebun sawit 14,33 juta ha. Penerima sertifikat itu, antara lain, 557 perusahaan swasta dengan luas areal sekitar 5,15 juta ha, perusahaan negara 50 sertifikat (286.590 ha), serta 14 koperasi plasma dan swadaya (12.270 ha).
Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo pada Maret 2020 memberi target bahwa semua pelaku perkebunan sawit telah tersertifikasi ISPO pada 2025. Ini menjadi pekerjaan rumah karena masih terdapat 62 persen luas kebun kelapa sawit di Indonesia yang belum bersertifikat ISPO. Persentase ini kian besar jika menggunakan acuan luasan tutupan sawit yang dikeluarkan Kementerian Pertanian di akhir 2019, yaitu seluas 16,38 juta ha.
Kepala Seksi Pembinaan Usaha Perkebunan Berkelanjutan Direktorat Perkebunan Kementerian Pertanian Prasetyo Djati menyampaikan, proses sertifikasi ISPO dari perusahaan maupun pekebun belum berjalan optimal karena adanya kendala konflik lahan. Penyebab kendala ini belum teratasi di antaranya karena banyaknya regulasi yang tumpang tindih antarlembaga.
Ke depan, Prasetyo berharap kendala tersebut dapat teratasi seiring dengan penerbitan Perpres No 44/2020. Dalam Perpres tersebut mengatur pembentukan Dewan Pengarah ISPO yang bertugas menyusun kebijakan pengembangan dan standar Sistem Sertifikasi ISPO, melakukan pengawasan dan evaluasi, serta membentuk dan menetapkan Komite Sertifikasi ISPO.
”Mudah-mudahan dengan adanya Dewan Pengarah dengan Ketua Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, menteri terkait lainnya sebagai anggota dapat mengatasi permasalahan ini dan regulasi bisa diselesaikan serta diharmonisasi,” ujarnya dalam diskusi daring, Rabu (18/11/2020).
Selain itu, kata Prasetyo, pemerintah juga tengah menyusun strategi dan target percepatan sertifikasi ISPO terutama untuk pekebun yang masih membutuhkan pembinaan. Sejumlah upaya yang dilakukan di antaranya meningkatkan kapasitas pekebun dan kelembagaannya serta melakukan sosialisasi dan pendampingan.
Aturan teknis terkait sertifikasi ISPO telah diterbitkan Kementerian Pertanian dalam bentuk peraturan menteri sejak 2011. Sertifikasi ini bertujuan untuk memastikan pengelolaan sawit sesuai prinsip atau kriteria ISPO, meningkatkan daya saing hasil perkebunan sawit di pasar nasional maupun internasional, dan meningkatkan upaya percepatan penurunan emisi gas rumah kaca.
Pemerintah kemudian melakukan penguatan kebijakan ISPO dengan mengeluarkan Perpres No 44/2020. Dua rancangan peraturan teknis perpres dari menteri pertanian dan menteri perindustrian kini tengah disiapkan guna mengatur prinsip dan kriteria rantai pasok untuk ISPO hulu serta hilir.
Perpres 44/2020 mengubah sejumlah ketentuan, di antaranya Lembaga Sertifikasi memiliki kewenangan penuh dalam menerbitkan sertifikat ISPO. Sebelumnya, sertifikat ISPO baru bisa diterbitkan setelah mendapatkan verifikasi dari tim penilaian.
Jamin pasokan
Guru besar Fakultas Kehutanan IPB University sekaligus Ketua Dewan Pakar Pusat Kajian, Advokasi, dan Konservasi Alam (Pusaka-Kalam) Yanto Santosa memaparkan, dari kajiannya terkait rantai pasok produk sawit di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, ia mendorong agar pemberian izin pabrik kelapa sawit harus disertai jaminan untuk dapat memasok 75 persen kebun milik sendiri. Hal ini bertujuan untuk menghindari perluasan kebun secara liar.
Dari kajiannya tersebut, disimpulkan bahwa dua pabrik kelapa sawit yang diteliti masih sangat tergantung pasokannya terhadap kebun-kebun plasma milik orang lain. Kondisi tersebutlah yang bisa memicu persaingan harga dan petani terdorong untuk memperluas kebun sawitnya.
”Petani plasma pada umumnya mengeluh dengan sistem kerjasama. Masih terdapat juga pemasok yang kurang taat dan patuh terhadap perjanjian pasokan tandan buah segar yang dipengaruhi oleh perbedaan harga antarkorporasi dengan pengepul,” ujarnya.