Kehadiran La Nina tahun ini kian menguat. Fenomena alami ini kini kian berkelindan dengan perubahan iklim sehingga kian kompleks dan sulit dipetakan ekstremitasnya. Kita harus bersiap menghadapinya.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Suhu permukaan laut di wilayah tengah dan timur ekuator Samudra Pasifik terus mendingin dalam sebulan terakhir, melebihi kondisi normalnya. Jika pendinginan terus berlanjut, La Nina tahun ini diperkirakan menjadi yang terkuat dalam satu dekade terakhir. Kejadian La Nina kuat terakhir kali terjadi pada 2010-2011, disusul lebih moderat pada 2011-2012.
Data National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat menunjukkan, La Nina telah menguat selama bulan Oktober, seperti yang ditunjukkan oleh suhu permukaan laut (SST) telah berada di bawah rata-rata Samudra Pasifik bagian timur. Indeks SST di dua wilayah Samudra Pasifik bagian baratnya, atau disebut Nino-4 dan Nino-3.4, bahkan telah mendingin lebih awal dan dalam seminggu terakhir sudah 1,5 derajat celsius lebih dingin dibandingkan kondisi normalnya.
Para ilmuwan menggunakan Indeks Oceanic Nino untuk mengukur penyimpangan dari suhu permukaan laut normal yang dihasilkan El Nino dan La Nina di Samudra Pasifik bagian timur-tengah. Peristiwa La Nina ditunjukkan oleh penurunan suhu permukaan laut lebih dari 0,5 derajat celsius selama setidaknya tiga bulan berturut-turut. Semakin tinggi penyimpangan berarti intensitasnya semakin kuat sehingga dampaknya juga bisa lebih besar.
La Nina bermakna ”gadis kecil” dalam bahasa Spanyol. Nama ini pertama kali digunakan pada abad ke-19 oleh para nelayan di Peru dan Ekuador untuk merujuk pendinginan suhu permukaan laut di wilayah tengah dan timur ekuator Samudra Pasifik yang menyebabkan kondisi lebih kering dari biasanya di sekitar wilayah itu.
Kondisi sebaliknya, yaitu memanasnya suhu permukaan laut di perairan yang sama, dinamakan El Nino, yang berarti ”anak laki-laki”. El Nino memicu banyak hujan di wilayah pesisir Amerika Latin.
Bersama-sama, La Nina dan El Nino adalah fase ”dingin” (La Nina) dan ”hangat” (El Nino) dari El Nino-Southern Oscillation (ENSO). Selain suhu permukaan laut yang lebih hangat atau dingin, ENSO juga ditandai dengan perubahan tekanan atmosfer dan karena itu bakal memengaruhi pola hujan.
Tak hanya berdampak di sekitar perairan Amerika Latin, La Nina dan El Nino bisa memengaruhi iklim global. La Nina, misalnya, biasanya menyebabkan peningkatan curah hujan di Pasifik barat, termasuk Indonesia, sebagian Asia tenggara lainnya, dan bagian utara Australia. Curah hujan tinggi juga terjadi di Brasil bagian utara dan sebagian pantai barat Amerika Serikat.
Sebaliknya, La Nina juga menyebabkan pengurangan curah hujan di sebagian pantai timur Asia, bagian tengah Afrika, dan sebagian Amerika bagian tengah. Tak hanya itu, La Nina menyebabkan iklim lebih dingin di sebagian wilayah barat dan timur Afrika, Jepang, sebagian besar pantai barat Amerika Serikat, dan Brasil bagian selatan. Saat La Nina kuat pada 2010 lalu, Amerika mengalami suhu dingin ekstrem, bahkan disebut sebagai yang terdingin sepanjang sejarah mereka.
Sekalipun secara umum Indonesia akan mendapatkan peningkatan curah hujan selama La Nina, jika dilihat lebih detail, skala dampaknya bisa sangat bervariasi, tergantung pada wilayah, bulan atau musim, dan intensitas.
Kajian Supari dan tim di jurnal Climate Dynamics (2018), misalnya, menemukan, jika La Nina terjadi pada September, Oktober, sampai November, peningkatan curah hujan hingga di atas 40 persen dari rata-rata akan terjadi di wilayah selatan, tengah, dan timur Indonesia. Wilayah ini meliputi sebagian Sumatera bagian timur, seluruh Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Timur, Maluku dan Maluku Utara, Kalimantan, dan Papua Barat.
Sementara jika La Nina terus berlanjut pada Desember, Januari, dan Februari, daerah yang akan mendapat penambahan hujan di atas 40 persen hanya bagian utara dan tengah. Daerah ini meliputi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, Sulawesi, Maluku dan Maluku Utara, serta sebagian Nusa Tenggara Timur.
Perubahan pola dan intensitas hujan ini tentu patut diwaspadai. Selain bakal berpengaruh terhadap pola produksi pertanian, hal ini juga bisa meningkatkan ancaman bencana hidrometeorologi.
Perubahan iklim
ENSO telah terjadi alami sejak ratusan tahun lalu dan menjadi pendorong utama sistem iklim bumi. Namun, semua peristiwa iklim yang terjadi secara alami sekarang telah berkelindan dengan perubahan iklim disebabkan ulah manusia yang memperburuk cuaca ekstrem.
Sejauh ini memang belum ada bukti bahwa perubahan iklim meningkatkan frekuensi El Nino dan La Nina. Akan tetapi, banyak studi menunjukkan bahwa dampaknya semakin menguat, misalnya panas yang lebih hebat saat El Nino kuat pada 2015 atau pendinginan dan hujan lebih ekstrem saat La Nina kuat pada 2010.
Menurut data Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), kali ini efek pendinginan relatif di sebagian Samudra Pasifik akibat La Nina ternyata tidak lagi cukup untuk menahan peningkatan suhu global. Panas yang terperangkap di atmosfer kita oleh gas rumah kaca melebihi kemampuan pendinginan itu. Oleh karena itu, tahun 2020 tetap berada di jalur untuk menjadi salah satu tahun terpanas.
Bahkan, tahun-tahun La Nina sekarang lebih hangat daripada tahun-tahun dengan peristiwa El Nino yang kuat di masa lalu, dengan konsekuensi pada iklim dan cuaca yang belum diketahui pasti. Yang jelas, kini kita harus bersiap menghadapi era ketika pola ekstremitas iklim semakin sulit dipetakan.