Proyek lumbung pangan difasilitasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan penerbitan Permenlhk Nomor 20 Tahun 2020. Regulasi ini justru dikhawatirkan malah kembali meningkatkan deforestasi Indonesia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program food estate atau lumbung pangan dinilai berpotensi meningkatkan laju deforestasi seiring diterbitkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate. Aturan tersebut juga dinilai akan memperbesar ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan Indonesia.
Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi Nasional Wahyu Perdana menyampaikan, penerbitan Peraturan Menteri (permen) LHK 24/2020 akan mempercepat laju deforestasi karena substansi peraturan tersebut sangat jelas memahami bahwa food estate adalah usaha pangan skala luas. Monokultur dalam skala luas juga dinilai akan berdampak buruk bagi lingkungan.
”Sepanjang sejarah kita dalam konteks proyek pangan skala luas mulai dari Proyek Lahan Gambut Satu Juta Hektar, proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, hingga proyek food estate lainnya di beberapa daerah itu juga tidak pernah sukses,” ujarnya di Jakarta, Senin (16/11/2020).
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan, laju deforestasi atau kehilangan hutan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir cenderung menurun dan stabil. Deforestasi neto periode 2018-2019 sebesar 462.400 hektar dan periode sebelumnya, 2017-2018, sebesar 439.400 hektar.
Sementara itu, menurut dokumen kontribusi nasional penurunan emisi GRK Indonesia (NDC/ Nationally Determined Contribution), deforestasi terencana Indonesia sebesar 450.000 hektar per tahun pada tahun 2020-2030. Selanjutnya, deforestasi ditekan pada angka 325.000 hektar per tahun.
Menurut Wahyu, secara substansi, Permen LHK untuk mendukung program lumbung pangan tidak tepat jika dikaitkan pandemi Covid-19. Sebab, model sentralisasi pengelolaan pangan dalam skala luas juga akan memperpanjang rantai pasok sehingga tidak menjawab persoalan distribusi pangan selama pandemi.
Walhi mencatat, permen ini mengatur dua skema penyediaan kawasan hutan untuk kepentingan lumbung pangan, yakni melalui perubahan peruntukan kawasan hutan dan penetapan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP) yang tertuang dalam Pasal 4 dan 9. Adapun dalam penetapan KHKP sebagaimana dilengkapi dengan dokumen pernyataan komitmen dan persyaratan teknis.
Wahyu menyatakan, adanya pernyataan komitmen akan membuat kegiatan untuk lumbung pangan dapat langsung dijalankan sembari menunggu proses evaluasi. Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip lingkungan hidup, yakni asas kehati-hatian yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
”Tidak adanya bukti ilmiah dalam penjelasan UU PPLH yang mendefinisikan asas kehati-hatian ini tidak boleh menjadi alasan untuk menurunkan standar lingkungan hidup. Selain itu, dengan argumentasi yang sama itu kemudian juga diperkenalkan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) cepat. Akhirnya, hal ini hanya akan menjadi justifikasi regulasi,” ungkapnya.
Wahyu juga memandang ketentuan dalam Pasal 20 huruf c permen ini menyatakan penyediaan KHKP di antaranya dilakukan pada kawasan hutan yang telah dicadangakan atau diberi izin perhutanan sosial maupun tanah obyek reforma agraria. Pada Pasal 19 Ayat 1, KHKP dilakukan pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi.
Pada Ayat 2 disebutkan hutan lindung tersebut adalah yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung. Alih-alih merehabilitasi hutan tersebut, permen ini justru melegitimasi pengubahan fungsi padahal hutan lindung memiliki daya dukung yang strategis terhadap lingkungan dan punya kerentanan terhadap keanekaragaman hayati.
Ketimpangan penguasaan
Direktur Eksekutif Walhi Nasional Nur Hidayati menambahkan, Permen LHK 24/2020 akan memperbesar ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan Indonesia. Peraturan tersebut juga akan membuka ruang penguasaan investasi melalui skema kolaborasi negara dan korporasi.
Berdasarkan catatan Walhi, saat ini terdapat 33,45 juta hektar atau 26,57 persen kawasan hutan telah dikapling untuk kepentingan bisnis korporasi. Dalam dua dekade terakhir, tercatat lebih dari 26 juta hektar kawasan hutan dilepaskan untuk kepentingan bisnis.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo mengatakan, pada dasarnya Permen LHK 24/2020 serupa dengan kebijakan izin-izin pemanfaatan hutan lainnya karena menetapkan lokasi, pengusul kegiatan, dan proses administrasi.
Meski demikian, ia memandang permen ini masih mengasumsikan bahwa lokasi-lokasi kawasan hutan tanpa izin legal yang dapat dilepas untuk dijadikan KHKP merupakan kawasan yang bebas pemanfaatan. Padahal, kondisi di lapangan kawasan tersebut secara de facto ada pihak yang menguasai. Kondisi ini memang dapat diselesaikan melalui tim terpadu, tetapi tanpa ada klausul prosesnya terbuka bagi publik.
Selain itu, ia juga mencatat bahwa tidak menetapkan norma alokasi kawasan hutan apabila ada beberapa pihak termasuk masyarakat lokal atau adat yang punya hak sama untuk memanfaatkan kawasan hutan tersebut. Hal ini berpotensi membuat usaha-usaha besar lebih diprioritaskan karena tidak adanya pernyataan afirmasi bahwa pelaku pengelolaan diutamakan oleh masyarakat setempat.
Penjelasan KLHK
Dihubungi terpisah, Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Belinda Margono belum dapat memberikan keterangan lebih lanjut terkait hal ini.
”Sejauh yang saya ketahui, dari KLHK akan ada penjelasan terkait aturan itu oleh unit-unit yang langsung menangani. Jadi mungkin lebih baik tunggu informasi itu saja,” ujarnya.
Dalam siaran pers KLHK, Senin malam, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Sigit Hardwinarto menjelaskan perubahan peruntukan kawasan hutan untuk pembangunan food estate dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dengan syarat harus melewati kajian tim terpadu, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), dan menyelesaikan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL UPL). Ia menyatakan, kegiatan di lapangan tidak dapat dilakukan sebelum menyelesaikan Komitmen UKL-UPL.
Dijelaskan lebih lanjut, KHKP merupakan kawasan hutan yang khusus diperuntukkan bagi kepentingan ketahanan pangan. Penetapan KHKP dapat dilakukan pada kawasan hutan lindung dan/atau hutan produksi. Areal KHKP tak akan dilepaskan atau tetap berstatus kawasan hutan.
Kawasan hutan lindung yang digunakan untuk pembangunan food estate tidak sepenuhnya berfungsi lindung, yaitu dalam kondisi terbuka/terdegradasi/sudah tidak ada tegakan hutan. Food estate, menurut dia, akan memulihkan hutan dengan pola kombinasi tanaman hutan dengan tanaman pangan, ternak, dan perikanan. Tanaman hutan dengan berbagai kombinasi itu akan memperbaiki fungsi hutan lindung. (ICH)