Di Balik Desain Penataan ”Komodo” di Pulau Rinca
Pengembangan pariwisata di habitat komodo di Flores agar benar-benar mengedepankan nasib reptil purba tersebut. Orientasi ekonomi juga agar disinergikan pada masa depan masyarakat setempat.
Penataan Pulau Rinca di wilayah Taman Nasional Komodo, di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, banyak dikritik karena dirancang dengan konsep ”Jurassic Park” atau kandang komodo. Namun, menurut desainernya, penataan kawasan ini berbasis ekowisata dan komodo tetap dilepasliarkan. Penataan dilakukan agar upaya konservasi tidak hanya menjaga kelestarian satwa dan alam, tetapi juga bisa memberikan dampak ekonomi khususnya bagi masyarakat lokal.
Proyek penataan di Taman Nasional (TN) Komodo ini banyak kritik beberapa waktu lalu dari sejumlah pihak saat beredarnya foto komodo berpapasan dengan truk yang dikendarai pekerja proyek. Setelah beredarnya foto tersebut, publik menyoroti penataan di Pulau Rinca yang dinilai akan mengancam habitat dan kelestarian komodo.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memandatkan PT Han Awal untuk mendesain penataan di kawasan TN Komodo, termasuk Pulau Rinca. PT Han Awal telah menjadi konsultan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) sejak pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberikan masukan lokasi mana saja di Labuan Bajo yang bisa dirancang agar lebih menarik.
Baca juga: Pengembangan Pariwisata agar Juga Menjamin Keberlanjutan Komodo
Pemimpin dan arsitek PT Han Awal, Yori Antar, saat berbincang dengan Kompas, Selasa (10/11/2020), menyampaikan, proses penataan KSPN di Labuan Bajo dilakukan karena tingginya tingkat pertumbuhan pariwisata di kawasan tersebut. Namun, masih banyak titik-titik yang belum tertata dengan baik dan pelaku wisata di Labuan Bajo mayoritas dimiliki oleh pengusaha asing.
”Kami menata ini di zona pemanfaatan untuk para turis dan tidak menyentuh zona konservasi. Semua kawasan penataan sudah dilokalisasi dan area lintas komodo sudah didata. Jadi cepat atau lambat pasti akan ada kebutuhan pariwisata seperti bangunan yang perlu diremajakan,” ujarnya.
Yori menegaskan, penataan kawasan di zona pemanfaatan ini juga telah melalui kajian analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dengan proses yang cukup lama. Kajian dan perizinan ini bahkan telah dilakukan oleh pihak TN Komodo, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan UNESCO.
Menurut Yori, desain penataan yang sering disalahartikan oleh publik adalah pembangunan pusat akomodasi atau informasi turis di Pulau Rinca. Desain inilah yang dinilai sebagai konsep ”Jurassic Park” karena akan mengurung komodo. Padahal, penataan hanya dilakukan pada bangunan-bangunan lama dan tidak ada desain kandang bagi komodo.
Baca juga: Jangan Persempit Habitat Komodo
”Sesuatu yang kami lakukan ialah mendesain untuk menggantikan 11 bangunan di zona pemanfaatan. Jika dihitung dari dermaga sampai bangunan pusat informasi turis, luas bangunan total itu kecil sekali hanya 5.700 meter persegi. Jadi bangunan dari depan sampai belakang dirobohkan dan diganti bangunan yang sebenarnya adalah elevated deck,” ujarnya.
Elevated deck merupakan desain jalur khusus bagi turis yang baru mendarat dari Dermaga Loh Buaya untuk sampai ke TN Komodo sehingga mereka dapat berjalan tanpa berpapasan langsung dengan komodo. Agar komodo dan satwa lainnya tetap bebas berkeliaran, elevated deck dibangun dengan ketinggian 2 meter di atas tanah.
”Sebagian besar daerah tersebut saat hujan juga banjir lumpur sehingga elevated deck dibutuhkan. Turis transit maupun biasa juga bisa langsung menikmati seluruh jalur elevated deck yang panjang dan tidak terkonsentrasi di satu titik karena akan ada pusat informasi komodo, kafe kecil, hingga toko suvenir,” katanya.
Peningkatan kualitas rumah
Selain bangunan akomodasi turis, terdapat pula proyek penataan lainnya di KSPN Labuan Bajo, yakni creative hub Puncak Waringin, Anjungan Badjo, kawasan dermaga atau waterfront Labuan Bajo, Kawasan Geopark Batu Cermin, peningkatan kualitas rumah masyarakat, dan pengaspalan jalan. Dibuat juga jalur pedestrian premium, pembangkit tenaga listrik, fasilitas air bersih, dermaga peti kemas baru di Wae kelambu, dan sanitasi persampahan Geo Thermal di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Warkola.
Menurut Yori, salah satu penataan lainnya yakni peningkatan kualitas rumah masyarakat dilakukan agar penduduk lokal dapat menjadikan rumahnya sebagai penginapan, kafe, tempat sewa alat menyelam, atau toko sovenir. Sebanyak 600 rumah milik masyarakat yang ingin menjadi pelaku wisata mendapatkan program penataan ini dengan bantuan sekitar Rp 50 juta-Rp 120 juta dalam bentuk bahan bangunan.
”Rumah-rumah ini tidak boleh dimiliki orang asing karena turis ada yang suka menginap di homestay. Kurang lebih sekitar 350 rumah ada di sepanjang waterfront dan sisanya disebar di daerah-daerah destinasi turis,” tuturnya.
Sebelumnya, dalam konferensi pers secara daring, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Wiratno menyatakan, pengembangan wisata alam di TN Komodo sangat dibatasi. Pengembangan hanya dilakukan di zona pemanfaatan dengan luas daratan 0,4 persen atau 824 hektar dari seluruh wilayah di taman nasional.
Baca juga: Pulau Komodo untuk Siapa?
Menurut Wiratno, sejumlah pembangunan serta penataan sarana dan prasarana yang dilakukan di Lembah Loh Buaya Pulau Rinca antara lain Dermaga Loh Buaya, lokasi pengamanan pantai, elevated deck untuk akses penghubung antardermaga, pondok ranger ataupun peneliti, serta pusat informasi. Seluruh pembangunan ini berada di lokasi sarana dan prasarana yang sudah ada sebelum penataan dilakukan.
Sementara sejumlah pihak yang mengantongi izin wisata di kawasan Taman Nasional Komodo antara lain PT Segara Lestari, yang mendapatkan izin sejak Desember 2015 dengan luas kawasan 22,1 hektar. Izin juga diberikan kepada PT Komodo Wildlife Ecotourism di Pulau Komodo dengan luas 151,9 hektar dan di Pulau Padar seluas 274 hektar serta PT Synergindo Niagatama pada kawasan seluas 19,3 hektar di Pulau Tatawa.
Kaidah ekowisata
Guru besar Ekologi dan Manajemen Satwa Liar IPB University Hadi Alikodra menyetujui pengembangan di Labuan Bajo yang berbasis ekowisata. Sebab, saat ini dunia tengah bergerak dari wisata umum (mass tourism) menjadi ekowisata. Wisata umum mayoritas memberikan dampak negatif terhadap lingkungan karena adanya gangguan terhadap satwa liar hingga pencemaran akibat sampah yang dihasilkan wisatawan.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa pengembangan ekowisata harus dilakukan dengan ketat dan proses perencanaannya melibatkan sejumlah pihak mulai dari konservasionis, akademisi, hingga organisasi lingkungan. Hal ini penting untuk memastikan pengembangan ekowisata menerapkan empat kaidah dan saat proses pembangunan tidak bersinggungan langsung dengan satwa yang dilindungi.
”Ekowisata memang bisa dikembangkan pada wilayah-wilayah taman nasional, tetapi harus dilihat dampak negatif terhadap biodiversity. Hal ini termasuk tidak boleh memotong pohon atau tempat berlindung dan bersarangnya spesies. Jadi banyak sekali aturan yang harus diterapkan,” ujarnya.
Hadi menjelaskan, kaidah pertama dalam pengembangan ekowisata yakni harus menjaga kelestarian spesies dan ekosistem. Ekowisata tidak boleh merusak keanekaragaman hayati dan mengganggu pergerakan satwa.
Baca juga: Pembangunan ”Jurrassic Park” di Pulau Rinca Bakal Menghilangkan Keunikan Pulau Flores
Kaidah kedua ialah ekowisata harus mendorong adanya kegiatan ekonomi yang dilakukan pengusaha lokal dan menyediakan lapangan pekerjaan untuk masyarakat. Ekowisata tidak boleh hanya dikelola dan memberikan keuntungan bagi pengusaha asing.
Sementara dalam kaidah ketiga dan keempat, pada akhirnya pengembangan ekowisata harus menciptakan pendapatan asli daerah dan devisa negara. Menurut Hadi, tidak terlaksananya salah satu kaidah tersebut membuat penataan yang dilakukan tidak bisa disebut sebagai pengembangan berbasis ekowisata.
Guna menjamin terlaksananya penataan kawasan berbasis ekowisata, kata Hadi, sebelum proses pembangunan perlu dilakukan kajian kelayakan studi dan amdal. Selain itu juga harus membuat rencana pengembangan secara detail di tingkat tapak untuk menentukan lokasi pembangunan kantor pengelola, penginapan, hingga jalur khusus bagi wisatawan agar tidak bersinggungan langsung dengan satwa.
”Artinya, pengembangan bukan hanya menyiapkan syarat-syarat bagi pengunjung, tetapi juga saat melakukan operasi. Proses perencanaan, persiapan lahan, dan pembuatan bangunan harus belandaskan sistem konservasi. Jadi semua yang terlibat harus berjiwa konservasi dan ada pelatihan, termasuk bagi pegawai yang bekerja di situ,” ungkapnya.
Hadi menegaskan, seluruh proses tersebut dilakukan agar ekowisata memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal, lingkungan, dan ekonomi daerah maupun pusat. Jangan sampai pengembangan ekowisata justru menimbulkan dampak negatif dan hanya memberikan keuntungan bagi sejumlah pihak.
Baca juga: Penataan Taman Nasonal Komodo Mengedepankan Kelestarian Ekosistem Komodo