Teknologi modifikasi cuaca tak hanya dimanfaatkan untuk memadamkan, tetapi juga mencegah kebakaran hutan dan lahan. Penggunaan AI atau kecerdasan buatan pun kini disentuh untuk memaksimalkan pembasahan gambut.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Kebakaran hutan dan lahan atau karhutla masih menjadi masalah yang selalu dihadapi Indonesia setiap tahun. Salah satu upaya mencegah dilakukan dengan menjaga lahan gambut tetap basah melalui teknologi modifikasi cuaca. Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca kemudian memasukkan sistem kecerdasan buatan dalam rekayasa cuaca tersebut untuk membantu merencanakan waktu pengoperasian pembasahan gambut.
Luas karhutla tahun ini di sejumlah wilayah di Indonesia mengalami penurunan signifikan karena pengaruh fenomena La Nina yang menyebabkan curah hujan lebih tinggi dari biasanya. Namun, karhutla masih tetap terjadi di beberapa wilayah yang tidak terdampak fenomena ini, seperti wilayah timur Indonesia.
Berdasarkan data sistem informasi deteksi dini pengendalian karhutla (SiPongi), sejak 1 Januari hingga 30 September 2020 tercatat terjadi karhutla yang menyebabkan 274.375 hektar lahan terbakar. Nusa Tenggara Timur menjadi provinsi dengan luas karhutla terbesar mencapai 113.263 hektar, disusul Nusa Tenggara Barat (26.958 hektar), Papua (21.625 hektar), Maluku (18.900 hektar), Jawa Timur (18.834 hektar), dan Riau (15.442 hektar).
Dalam penanganan karhutla, pemerintah telah melakukan upaya pencegahan secara permanen melalui analisis iklim, pengendalian operasional, dan pengelolaan lanskap. Analisis iklim dengan langkah teknologi modifikasi cuaca (TMC) menjadi upaya terpenting untuk merekayasa hujan sehingga dapat membasahi lahan gambut atau menjaga tinggi muka air gambut.
TMC merupakan usaha campur tangan manusia dalam pengendalian sumber daya air di atmosfer dengan memanfaatkan parameter cuaca. Hal ini bertujuan menambah atau mengurangi intensitas curah hujan pada daerah tertentu untuk meminimalkan risiko bencana alam yang disebabkan faktor iklim dan cuaca.
Guna membantu merencanakan waktu operasi TMC untuk pembasahan lahan gambut, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melalui Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) kemudian mengembangkan sistem deteksi dini TMC berdasarkan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Kecerdasan buatan akan mengolah data kejadian karhutla dan dipadukan dengan prediksi cuaca atau iklim.
Perekayasa muda sekaligus koordinator AI TMC Karhutla BBTMC, Halda Aditya Belgaman, menyampaikan, sistem kecerdasan buatan dalam TMC dikembangkan karena BBTMC kerap diminta melaksanakan operasi TMC pada saat titik panas atau asap sudah banyak terjadi. Padahal, sistem TMC bukan untuk membuat hujan secara langsung, melainkan mengoptimalkan awan-awan yang ada agar hujan turun lebih cepat atau lebih banyak.
”Kondisi ini sering kali membuat operasi TMC kurang efektif dan efisien karena titik panas akan banyak terjadi ketika puncak musim kering dan potensi awan yang dapat disemai menjadi hujan sudah berkurang,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (14/11/2020).
Prediksi TMA
Halda menjelaskan, selama ini sudah banyak data dan perangkat dari sejumlah instansi atau lembaga yang berfungsi memberikan peringatan bahaya karhutla. Namun, sampai saat ini tidak ada data atau perangkat yang menyediakan informasi prediktif mengenai bahaya karhutla dalam beberapa bulan mendatang. Di sinilah kecerdasan buatan sangat berperan untuk melihat waktu yang tepat dalam melakukan TMC sehingga operasi lebih efektif dan efisien.
Sistem AI TMC khusus dibuat untuk memprediksikan tinggi muka air (TMA) lahan gambut dalam tiga bulan ke depan. Data prakiraan dalam jangka waktu panjang ini diperlukan karena operasi TMC di daerah bencana karhutla membutuhkan proses, alur, dan waktu yang lama, mulai dari informasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga ke BPPT sebelum akhirnya dilakukan BBTMC.
Tahap awal pengembangan AI TMC bersama International Business Machines (IBM) telah dibuat konsep aplikasi yang bisa mengidentifikasi dan menganalisis data TMA serta titik panas. Setelah itu, sistem akan memvalidasi hipotesis bahwa ada hubungan antara jumlah kluster titik panas dan juga nilai TMA di suatu wilayah.
Alur sistem AI TMC Karhutla ini menggabungkan data observasi tinggi muka air tanah (TMAT) secara real time dari lapangan melalui sistem Sipalaga milik Badan Restorasi Gambut (BRG). Kemudian data tersebut diolah melalui proses data teknis, seperti quality check, data preparation, dan data aggregation serta proses data science, yakni test model dengan berbagai algoritma. Hasil prakiraan model berikutnya ditampilkan dalam aplikasi atau website.
”Sipalaga mengirimkan data dari lapangan dengan total 174 stasiun setiap 10 menit ke server kami, tetapi data yang aktif masuk setiap hari sekitar 90 stasiun. Kami cek kualitas datanya, kami rapikan, dan diagregrasi. Setelah itu, dari data ini dilihat apakah ada semacam tren tertentu, seperti harian, mingguan, atau bulanan,” kata Halda.
Melalui sejumlah analisis dan tes model dengan algoritma, barulah dilakukan model forecasting atau perkiraan TMA selama tiga bulan ke depan. Data hasil perkiraan ini akan dipakai BPPT untuk menyusun rekomendasi bagi BNPB serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam menentukan status karhutla di sejumlah titik.
Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT Yudi Anantasena menyatakan, sistem AI TMC Karhutla akan ditargetkan diterapkan di enam provinsi rawan karhutla yang sudah memiliki sensor observasi TMA, yakni Jambi, Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Pada saat pengembangan awal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel, menjadi daerah proyek percontohan.
Faktor iklim
Halda mengatakan, melalui kerja sama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), ke depan sistem AI TMC juga akan memasukan faktor iklim dan cuaca dalam perkiraan TMA. Peran BMKG ini sangat penting untuk melihat proyeksi iklim seperti dampak La Nina atau El Nino.
”Memasukkan faktor prediksi lainnya sangat penting karena selain karakteristik gambut di setiap titik yang beragam, curah hujan di Indonesia juga kompleks dan berubah-ubah. Jadi, cuaca di Indonesia tidak hanya dipengaruhi La Nina dan El Nino, tetapi juga ada fenomena lain. Sementara saat ini kami masih memakai kondisi rata-rata curah hujan setiap bulan,” ucapnya.
Sistem AI TMC Karhutla dari BBPT mulai dikembangkan sejak akhir tahun 2019 dan baru resmi diluncurkan pada 11 November lalu. Dalam pengembangan ini, menurut Halda, tim dari BBTMC juga kerap menjumpai sejumlah kendala, yakni kurangnya sumber daya manusia. Itu karena pengembangan kecerdasan buatan sangat membutuhkan SDM dengan latar belakang teknologi informasi dan statistik, sedangkan mayoritas pegawai BBTMC tidak memiliki keahlian di bidang tersebut.