Hingga saat ini belum semua kabupaten dan kota memiliki peta risiko. Ini menjadi catatan penting untuk mendorong pemerintah daerah mengantisipasi bencana hidrometeorologi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB mencatat, mayoritas bencana yang terjadi saat ini merupakan bencana hidrometeorologi dan diperkirakan masih menjadi ancaman hingga akhir 2020. Memperkuat upaya mitigasi bencana di daerah hingga tingkat bawah sangat penting untuk mencegah terjadinya banyak kerugian.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Raditya Jati di Jakarta, Minggu (15/11/2020), mengatakan, dari data serial yang dihimpun BNPB, hampir 99 persen frekuensi kejadian bencana di Indonesia dipicu hidrometeorologi. Potensi bencana ini akan semakin meningkat seiring dengan fenomena La Nina yang menyebabkan curah hujan di beberapa daerah lebih tinggi daripada biasanya.
Berdasarkan data BNPB, bencana alam yang paling sering terjadi saat ini, antara lain, banjir (900 kejadian), puting beliung (748 kejadian), dan tanah longsor (482 kejadian). Dari sebaran lokasi, kejadian bencana terbanyak terjadi di Jawa Barat (505 kejadian), Jawa Tengah (449 kejadian), Jawa Timur (359 kejadian), Aceh (234 kejadian), dan Sulawesi Selatan (112 kejadian).
Secara keseluruhan, berdasarkan data BNPB, sejak 1 Januari hingga 14 November 2020 telah terjadi 2.532 kejadian bencana alam. Bencana tersebut menyebabkan 322 orang meninggal, 497 orang luka-luka, 26 orang hilang, dan 5,5 juta orang mengungsi. Ribuan rumah dan fasilitas umum juga rusak terdampak bencana.
Menurut Raditya, sejak 2012, BNPB juga telah memiliki peta kajian risiko berbasis ancaman bencana secara nasional untuk melihat dan menganalisis daerah mana saja yang memiliki risiko bencana kecil, sedang, hingga tinggi. Seluruh BPBD di tingkat provinsi juga telah memiliki kajian dan peta risiko bencana ini.
Kabupaten dan kota memang masih belum semua memiliki peta risiko. Ini menjadi catatan penting untuk mendorong pemerintah daerah. Dari peta risiko tersebut, turunannya nanti akan menjadi rencana penanggulangan bencana. Sejak 2020 ini, Kementerian Dalam Negeri juga mendorong pemda menerapkan standar pelayanan minimal untuk kebencanaan. (Raditya Jati)
”Kabupaten dan kota memang masih belum semua memiliki peta risiko. Ini menjadi catatan penting untuk mendorong pemerintah daerah. Dari peta risiko tersebut turunannya nanti akan menjadi rencana penanggulangan bencana. Sejak 2020 ini, Kementerian Dalam Negeri juga mendorong pemda menerapkan standar pelayanan minimal untuk kebencanaan,” katanya.
Beberapa bulan lalu, kata Raditya, BNPB juga telah meminta Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota meningkatkan kewaspadaan dalam menghadapi potensi bahaya hidrometeorologi. Setiap kepala daerah juga harus selalu mengikuti informasi dan prediksi cuaca dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
”Jika sudah ada prediksi dari BMKG, ini menjadi upaya peringatan bagi pemerintah daerah untuk menyiapkan daerahnya jika ada potensi risiko bencana. Misalnya dalam peta risiko bencana, wilayah tersebut memiliki potensi longsor dan jika ada intensitas hujan tinggi yang berlangsung lama, masyarakat di sana diharapkan mengungsi terlebih dahulu,” ujarnya.
Selain itu, mengingat kondisi pandemi Covid-19 saat ini, pemda juga tetap harus menerapkan protokol kesehatan jika nantinya bencana terjadi dan masyarakat membutuhkan tempat pengungsian. Tempat yang disiapkan harus dibatasi 50 persen dari kapasitas normal agar masyarakat bisa menerapkan jaga jarak.
Berbasis komunitas
Ketua Forum Perguruan Tinggi untuk Pengurangan Risiko Bencana (FPTPRB) Eko Teguh Paripurno menyatakan, pengelolaan risiko bencana berbasis komunitas dapat menjadi pendekatan sebagai upaya mitigasi. Sebab, ia menilai bahwa perilaku masyarakat selama ini yang tidak ramah lingkungan juga menjadi salah satu faktor penyebab banjir semakin parah.
Menurut Eko, konsep pertama yang bisa dilakukan dalam pengurangan risiko bencana berbasis komunitas adalah membentuk pegiat atau sukarelawan. Mereka berperan dalam sosialisasi, edukasi, mengubah paradigma dalam masyarakat, mengembangkan keterampilan, hingga diseminasi sistem nilai dan komunikasi.
Setelah itu, gerakan tersebut dapat ditingkatkan dengan memberikan nilai tambah atau manfaat bagi masyarakat sehingga mereka terus tergerak dalam melakukan perubahan. Sebab, upaya pengelolaan risiko bencana berpotensi gagal jika masyarakat menganggap gerakan yang dilakukan hanya menguntungkan salah satu pihak. Gerakan ini kemudian harus mendapat pembinaan oleh kepala daerah secara konsisten agar menjadi program pembangunan berkelanjutan.