La Nina dan Monsun Tingkatkan Risiko Bencana Hidrometeorologi
Pengaruh kuat La Nina secara luas akan berlangsung selama November. Hal ini perlu diwaspadai karena fenomena ini disertai hujan monsunal dengan peningkatan intensitas hujan hingga 25 persen dari rata-rata.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terjadinya La Nina dengan kategori moderat bersamaan dengan terjadinya pola monsunal meningkatkan intensitas hujan di sebagian wilayah Indonesia. Situasi ini membuat risiko bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, dan puting beliung, juga meningkat.
”Pengaruh kuat La Nina secara luas yang akan berlangsung selama November perlu diwaspadai karena berbarengan dengan hujan monsunal. Dampaknya peningkatan intensitas hujan hingga 25 persen dari rata-rata,” kata peneliti iklim dan Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Siswanto, Sabtu (14/11/2020).
Analisis BMKG, untuk November ini, dampak penguatan hujan karena pola monsunal terutama terjadi di seluruh Aceh, sebagian besar Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Kalimantan Barat, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Jawa Timur akan mendapatkan tambahan hujan di sebagian wilayahnya, kemudian Papua bagian tengah dan Papua Barat mendapat peningkatan hujan, juga sebagian Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Tengah.
Sebagian daerah ini juga mendapatkan penguatan hujan karena La Nina, di antaranya mayoritas kawasan Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, sebagian Jawa Timur, hingga Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Wilayah lain yang juga mengalami peningkatan hujan adalah Sulawesi Barat, Maluku dan Maluku Utara, sebagian Papua bagian tengah dan selatan, sebagian Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, serta Sulawesi Tenggara.
Kepala Subbidang Peringatan Dini Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Supari mengatakan, La Nina moderat berpeluang terjadi hingga Januari 2021. La Nina terkait dengan lebih dinginnya suhu muka laut di Pasifik ekuator dan lebih panasnya suhu muka laut wilayah Indonesia sehingga menambah suplai uap air untuk pertumbuhan awan-awan hujan di wilayah Indonesia dan menghasilkan peningkatan curah hujan.
Analisis terbaru menunjukkan, kondisi Indian Ocean Dipole (IOD) negatif yang sebelumnya diperkirakan berpotensi terjadi sampai akhir tahun saat ini sudah berbalik. Selama satu dasarian terakhir, IOD telah melewati ambang batas kondisi dipole mode positif (DM+) yang diperkirakan akan terus terjadi sampai menjadi normal pada Maret.
IOD negatif menandai suhu muka laut di Samudra Hindia sebelah barat Sumatera lebih hangat dibandingkan dengan suhu muka laut Samudra Hindia sebelah timur Afrika. Hal ini juga menambah suplai uap air untuk pertumbuhan awan hujan di Indonesia dan meningkatkan curah hujan, khususnya Indonesia bagian barat. Kondisi sebaliknya terjadi pada IOD positif.
Kondisi La Nina dan IOD negatif itu diprediksi mengakibatkan sebagian wilayah Indonesia atau 27,5 persen zona musim (ZOM) berpotensi mengalami musim hujan yang lebih basah daripada rerata klimatologisnya meski musim hujan 2020/2021 di sebagian besar wilayah Indonesia atau pada 243 ZOM (71 persen) diprakirakan normal atau sama dengan rerata klimatologisnya.
Menurut Siswanto, pada Desember sampai Februari pengaruh La Nina kemungkinan hanya di wilayah timur dan tengah Indonesia. Sementara di bagian barat, mulai dari Sumatera, Jawa, hingga Nusa Tenggara Barat lebih dipengaruhi pola hujan monsun yang mencapai puncaknya. ”Jadi, tetap perlu waspada terhadap bencana hidrometeorologi,” katanya.
Data historis juga menunjukkan, frekuensi bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, dan terjangan angin kencang, paling banyak terjadi di Indonesia, khususnya Jawa dan Sumatera, terjadi pada Desember hingga Februari.
Hujan ekstrem
Siswanto mengatakan, peluang terjadinya hujan ekstrem yang bisa memicu banjir besar seperti terjadi di Jakarta pada awal 2020 tetap ada. Namun, hal ini sulit diprediksi karena kerap melibatkan dinamika harian dan faktor-faktor cuaca lain, seperti adanya gelombang atmosfer madden julian oscillation (MJO).
Namun, khusus untuk Jakarta, menurut kajian Sopia Lestari dari School of Earth Science Universitas Melbourne di jurnal Weather and Climate Extremes (Juni, 2019), hujan ekstrem di Jakarta secara historis umumnya tidak terjadi pada kondisi La Nina. Disebutkan, La Nina memang meningkatkan akumulasi hujan bulanan, tetapi belum tentu meningkatkan hujan ekstrem atau hujan di atas rata-rata pada waktu seketika. La Nina justru mengurangi intensitas hujan maksimum harian ataupun hujan maksimum lima harian berturut-turut di Jakarta pada Desember hingga Januari.
Untuk Desember 2020, menurut peta prakiraan yang disusun BMKG, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Badan Informasi Geospasial (BIG), sejumlah daerah berpotensi banjir. Untuk Sumatera umumnya potensinya rendah hingga menengah, kecuali Kecamatan Bengkunat, Ngambur, Pesisir Selatan, Bengkulu, dan Kepulauan Mentawai.
Sementara di Jawa, potensi banjir tinggi berpeluang terjadi di Banten dan di Jawa Barat berpeluang terjadi di sebagian Ciamis, Majalengka, dan Sumedang. Untuk Jakarta dan wilayah lain di Jawa hingga Bali potensi banjir pada Desember masuk kategori rendah hingga sedang.
Potensi banjir tinggi juga berpeluang terjadi di Konawe dan Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Di Papua, potensi banjir kategori tinggi bisa terjadi di Deiyai, Memberamo Tengah, dan Paniai.