Selama wabah Covid-19, jumlah limbah medis meningkat di rumah tangga maupun fasilitas layanan kesehatan. Pengelolaan limbah infeksius ini perlu menjadi perhatian agar tak menimbulkan permasalahan kesehatan baru.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Selama masa pandemi Covid-19, jumlah limbah medis meningkat secara signifikan sekitar 30-50 persen. Penguatan komitmen seluruh pemangku kepentingan yang disertai dengan kesadaran masyarakat untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pengelolaan limbah amat diperlukan agar dampak buruk pada kesehatan manusia dan lingkungan bisa dicegah.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya dan Beracun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati di Jakarta, Jumat (13/11/2020) mengatakan, berdasarkan laporan dari 34 provinsi di seluruh Indonesia per 15 Oktober 2020 setidaknya terdapat 1.662,75 ton limbah medis terkait Covid-19. Volume limbah medis ini meningkat sekitar 30-50 persen dari tahun sebelumnya.
“Persoalan ini harus menjadi perhatian seluruh pemangku kepentingan. KLHK sendiri sudah menerbitkan Surat Edaran Meneri Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius atau limbah B3 dan sampah rumah tangga dari penanganan Covid-19. Surat ini bertujuan untuk memberikan arahan kepada seluruh pemerintah daerah untuk mengendalikan penumpukan limbah dari penanganan Covid-19,” tuturnya.
Pengelolaan ini termasuk pada limbah masker yang cukup banyak ditemukan di lingkungan masyarakat. Selain mengimbau untuk menggunakan masker guna ulang ketika dalam keadaan sehat, pemerintah daerah juga diminta untuk menyediakan tempat-tempat pembuangan masker di ruang publik.
Selain itu, pengadaan insinerator atau alat pembakar sampah juga perlu ditambah terutama di daerah-daerah yang minim fasilitas pengelolaan limbah B3. Jumlah fasilitas insinerator di Indonesia masih kurang.
Data per Oktober 2020 hanya ada 117 rumah sakit yang mendapatkan izin operasional untuk pengelolaan limbah B3 dan 17 jasa pengelolaan limbah yang berizin. Dari fasilitas yang tersedia tersebut sebagian besar berada di Pulau Jawa.
“Untuk menambah fasilitas yang ada, pemerintah berencana untuk membangun fasilitas pengelolaan limbah B3 di lokasi lain, yakni di Aceh, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Diharapkan pada akhir 2020 fasilitas ini sudah selesai dibangun dan bisa dioperasikan,” kata Vivien.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari menuturkan, terdapat lima tantangan besar dalam pengelolaan limbah B3 di Indonesia. Itu meliputi, kesenjangan antara kapasitas pengelolaan dan timbulan limbah yang dihasilkan, distribusi fasilitas pengolahan limbah, koordinasi dan sinergi antarinstansi, peran pemerintah daerah, serta pembiayaan peningkatan kapasitas pengolahan limbah.
Ia berharap, para pemangku kepentingan tidak perlu lagi ragu untuk meningkatkan kepedulian bahwa limbah medis adalah bagian dari upaya pemberian layanan prima bagi masyarakat. Selain itu, para pelaku usaha juga diharapkan dapat mengembangkan investasi ke seluruh Indonesia dalam pengolahan limbah B3. Dengan begitu, kesenjangan kapasitas dan kualitas pengolahan limbah bisa diatasi.
“Apabila semua pihak memiliki komitmen untuk terus-menerus mengakselerasi pengelolaan limbah medis, maka tidak perlu ada penegakan hukum karena adanya pelanggaran ataupun kelalaian. Demikian pula kita tidak akan mendengar adanya gangguan kesehatan dan pencemaran lingkungan akibat tidak ditanganinya limbah medis sesuai dengan aturan yang berlaku,” ujar Kirana.
Tingkatkan kinerja
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, semua pemangku kepentingan serta seluruh pemerintah daerah diimbau untuk lebih memerhatikan persoalaan pengelolaan limbah B3, terutama limbah medis terkait penanganan Covid-19. Seluruh gubernur pun diminta untuk melakukan upaya peningkatan kinerja pengelolaan limbah medis dan limbah B3 lainnya, terutama di fasilitas karantina dan fasilitas perawatan pasien Covid-19.
Untuk mendukung upaya tersebut, pemerintah daerah dapat membentuk unit pelaksana teknis daerah (UPTD) yang membidangi pengelolaan limbah medis dan limbah B3. Melalui pembentukan ini diharapkan pengelolaan limbah medis dapat dilakukan secara tepat, cepat, dan akurat sehingga dapat melindungi manusia dan lingkungan dari bahaya penyakit dan pencemaran.
Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah menuturkan, pemerintah daerah berkomitmen untuk melindungi setiap masyarakat khususnya yang berada di Sulawesi Selatan dari pencemaran yang terjadi melalui limbah medis. Karena itu, pengelolaan limbah medis pun menjadi program prioritas yang dijalankan mengingat banyaknya fasilitas pelayanan kesehatan yang menghasilkan limbah medis.
Untuk jangka pendek, pemerintah daerah akan mendorong adanya pemilihan dan pemisahan jenis limbah medis tertentu untuk dilakukan pengangkutan dan pemusnahan yang dilakukan oleh pihak ketiga. Perusahaan lokal juga diminta untuk bekerja sama sebagai transporter yang membawa limbah medis dari fasilitas kesehatan menuju lokasi pemusnahan limbah.
“Untuk jangka panjang, kami berupaya untuk menarik investor ke Sulawesi Selatan untuk menanamkan modalnya di bidang pengelolaan limbah medis dan limbah B3 lainnya. Dengan begitu bisa melayani kebutuhan di Indonesia bagian Timur sehingga tidak perlu lagi dikirim ke pulau Jawa. Pengelolaan limbah pun bisa lebih efektif dan efisien,” kata Nurdin.