Upaya pencegahan tetap menjadi faktor utama dalam menanggulangi pandemi Covid-19. Jangan sampai semua terlena terhadap vaksin dan melupakan protokol kesehatan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Pengembangan vaksin menjadi salah satu harapan Indonesia dalam mengatasi penyebaran Covid-19 di tengah kondisi pandemi yang sampai saat ini belum dapat tertangani. Namun, pengadaan vaksin tetap harus mempertimbangkan faktor efikasi atau kekhasiatan dan keamanannya. Pengabaian terhadap faktor utama tersebut dikhawatirkan dapat memunculkan permasalahan baru ke depan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan empat kerangka strategis yang dapat dilakukan setiap negara dalam upaya penanganan Covid-19. Empat kerangka itu yakni diagnostik, terapeutik, pemberian vaksin, dan perbaikan infrastruktur layanan kesehatan.
Vaksinasi menjadi salah satu jalan yang ditempuh pemerintah Indonesia untuk menanggulangi penyebaran Covid-19. Selain vaksin merah-putih yang dikembangkan Indonesia, pemerintah juga melakukan pengadaan vaksin dari negara lain. Sejumlah vaksin itu, antara lain, Astra Zeneca dari Inggris; Sinovac, Sinopharm, dan Cansino dari China; serta Genexine dari Korea Selatan.
Pemerintah kemudian menetapkan langkah obyektif untuk mendatangkan vaksin dengan jumlah banyak dan periode waktu yang cepat, tetapi tetap memenuhi standar dari WHO. Vaksin dari sejumlah negara tersebut didatangkan dengan skema multilateral melalui Dewan Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (GAVI) dan skema bilateral lewat komunikasi langsung dengan produsen vaksin.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Brian Sri Prahastuti menyampaikan, berdasarkan peta jalan (roadmap) yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, vaksin yang akan digunakan di Indonesia masih sangat dinamis karena sifatnya yang baru. Hal ini juga masih bergantung pada perkembangan pembuatan vaksin di dunia.
”Saat ini sudah ada 36 vaksin yang sudah diujicobakan kepada manusia dan 9 vaksin masuk uji klinis tiga. Kita lihat vaksin yang sudah dalam tahap uji klinis tiga termasuk Sinovac, Sinopharm, dan Astrazeneca ini juga di Indonesia ada skenarionya sendiri,” ujarnya dalam bincang Satu Meja The Forum dengan tema ”Maju Mundur Vaksin Corona” di Kompas TV, Rabu (11/11/2020).
Selain Brian, hadir sebagai pembicara dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu, di antaranya, Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Covid-19 Universitas Padjajaran (Unpad) Kusnandi Rusmil, Ketua Terpilih Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi, dan Corporate Secretary Bio Farma Bambang Heryanto.
Rencana vaksinasi akan dilakukan pada Desember atau selambat-lambatnya Januari 2021. Namun, rencana ini tetap masih harus menunggu perkembangan hasil uji klinis vaksin yang dilakukan Indonesia maupun negara lain. (Brian Sri Prahastuti)
Brian menyampaikan, rencana vaksinasi akan dilakukan pada Desember atau selambat-lambatnya Januari 2021. Namun, rencana ini tetap masih harus menunggu perkembangan hasil uji klinis vaksin yang dilakukan Indonesia maupun negara lain. Sebab, prinsip dari vaksinasi yakni harus memastikan vaksin yang digunakan aman dan efektif. Vaksin juga harus dipastikan halal sehingga dapat diterima masyarakat karena pertimbangan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam.
Terkait pemberian vaksin Sinovac, menurut Brian, pemerintah masih tetap menunggu hasil serangkaian tahap uji klinis dari vaksin ini oleh Unpad yang menurut skenario akan selesai pada Maret 2021. Di saat yang sama, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga telah mengunjungi langsung pabrik Sinovac di China.
Sebelumnya, publik sempat khawatir terhadap efikasi dan keamanannya dari vaksin Sinovac. Hal tersebut tidak terlepas dari penghentian uji klinis yang dilakukan Brasil karena dugaan adanya sukarelawan yang meninggal setelah disuntikkan vaksin ini.
Keamanan vaksin
Kusnandi menyampaikan, uji klinis vaksin Covid-19 dari Sinovac dosis pertama telah disuntikkan kepada 1.620 relawan atau subjek penelitian. Sementara dosis kedua telah disuntikkan kepada 1.601 relawan. Adapun 19 relawan lainnya tidak disuntik dosis kedua karena mengundurkan diri dan faktor lemahnya kondisi kesehatan.
”Selanjutnya kami memeriksa darah mereka dan dari laporan serta catatan menunjukkan tidak ada gejala klinis yang serius. Saya bandingkan pada waktu uji coba vaksin tetanus dan waktu itu gejala panas yang ditunjukkan lebih tinggi dibandingkan uji coba vaksin ini. Panasnya dalam dua hari hilang dan hanya sekitar 20 persen,” ungkapnya.
Bambang menyatakan, vaksin Sinovac yang tidak diuji klinis di Indonesia tetap dapat digunakan di dalam negeri dengan catatan vaksin tersebut telah diuji di negara lain dan mendapat persetujuan dari WHO serta BPOM. Namun, sampai saat ini belum ada satu vaksin pun yang mendapatkan persetujuan atau lisensi dari WHO. Sejauh ini, sejumlah vaksin, seperti Sinovac dan Sinopharm, baru masuk tahap uji klinis tiga.
”Uji klinis Sinovac dilakukan secara global di lima negara. Data dari lima negara ini harus dikumpulkan dan dilaporkan ke BPOM. Jadi nantinya penggunaan pada Desember itu bergantung dari izin BPOM yang berwenang mengeluarkan emergency use of authorization karena vaksin ini digunakan pada masa kedaruratan,” tuturnya.
Brian mengatakan, setiap negara tidak diwajibkan melakukan uji klinis sendiri terhadap vaksin yang telah lolos uji klinis tahap tiga di negara lain dan mendapatkan persetujuan dari WHO. Hal ini karena mayoritas negara memercayai vaksin tersebut telah melalui prosedur uji klinis yang sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan.
Meski masih banyak kemungkinan terkait penggunaan vaksin Covid-19, Adib berharap nantinya vaksin yang digunakan berasal dari uji klinis yang dilakukan di Indonesia. Sebab, dalam pemberian obat atau vaksin terdapat faktor yang berkaitan dengan farmakogenomik atau pengaruh komponen genetik pada respon tubuh terhadap suatu obat. Farmakogenomik ini bisa saja berbeda antara orang Indonesia dengan negara lain.
Terlepas dari adanya pengembangan vaksin ini, Adib menegaskan bahwa upaya pencegahan tetap menjadi faktor utama dalam menanggulangi pandemi Covid-19. ”Jangan sampai semua terlena terhadap vaksin dan melupakan protokol kesehatan. Proses perlindungan terhadap keselamatan tenaga medis juga menjadi suatu prioritas utama yang harus diperhatikan,” ungkapnya.