Komitmen dan Capaian Pemerintah Dinilai Belum Optimal
Upaya pemerintah dalam menjalankan pembangunan berkelanjutan dinilai masih belum pada jalurnya, terkhusus dilihat dari sektor energi. Pemanfaatan energi terbarukan agar diintensifkan dan menjadi peluang ekonomi baru.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski realisasi pemanfaatan energi baru terbarukan mengalami peningkatan, komitmen dan capaian pemerintah dalam sektor pembangunan berkelanjutan dinilai belum optimal. Perlu upaya dan komitmen yang lebih serius dari pemerintah ke depan guna mencapai pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya menyatakan, pandemi Covid-19 harus menjadi peluang akselerasi transformasi ke ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Namun, yang tampak dalam delapan bulan masa pandemi saat ini justru sebaliknya. Sampai saat ini, pembangunan ramah lingkungan dari Indonesia justru masih rendah.
Berdasarkan kajian dari Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), total pendanaan pembangunan rendah karbon tahun ini mengalami penurunan yang signifikan. Pada 2019, total pendanaan pembangunan rendah karbon mencapai Rp 34 triliun dan pada 2020 turun menjadi Rp 23 triliun. Adapun pembangunan tersebut dilakukan di sektor energi, industri, kehutanan dan gambut, pertanian, limbah, transportasi, serta pesisir dan laut.
Sementara itu, penghitungan indeks stimulus hijau Covid-19 yang dilakukan Vivid Economics menunjukkan, stimulus pemulihan ekonomi Indonesia di peringkat terendah kedua setelah China dari aspek prolingkungan. Ini tidak terlepas dari upaya Indonesia yang masih mendasarkan pemulihan ekonomi yang tak berkelanjutan dan beremisi tinggi.
”Secara presentasi total pendanaan pembangunan rendah karbon dari Indonesia ini memang cenderung menurun. Ini berbeda dengan negara-negara lain saat krisis pada 2009. Saat itu justru komponen green stimulus pemulihan ekonomi dari sejumlah negara jauh lebih banyak,” ujarnya dalam diskusi daring, Jumat (13/11/2020).
Meski demikian, selama tiga tahun terakhir pada 2017-2019, realisasi pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT )mengalami kenaikan dari 6,34 persen pada 2017 menjadi 9,15 persen pada 2019. Akan tetapi, pemanfaatan EBT ini harus terus dinaikkan secara masif dan lebih ambisius agar mencapai target Kebijakan Energi Nasional sebesar 23 persen pada 2025.
Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya mengatakan, terlepas dari peningkatan pemanfaatan EBT, tidak mungkin Indonesia dapat melestarikan lingkungan dan mengatasi krisis iklim tanpa diiringi dengan keberhasilan dalam mempromosikan EBT.
Dari laporan Greenpeace terkait upaya negara-negara di Asia Tenggara dalam menuju target 1,5 derajat celsius dari sektor kelistrikan, Indonesia memiliki nilai terendah di bawah Laos, Kamboja, dan Myanmar. Vietnam menjadi negara terbaik disusul Filipina, Malaysia, dan Thailand.
Tata menegaskan, Indonesia perlu meningkatkan upaya dan komitmennya dalam transisi hijau di tiga sistem sosial-ekonomi yang mencakup pangan, pemanfaatan lahan, dan laut; infrastruktur dan lingkungan buatan; serta energi dan industri ekstraktif. Selain dapat menjaga lingkungan, menurut kajian Forum Ekonomi Global, transisi di tiga sistem sosial-ekonomi tersebut juga akan memunculkan peluang bisnis 10,11 triliun dollar AS dan menciptakan 395 juta lapangan pekerjaan pada 2030.
Pemerintah tetap berkomitmen
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta menyatakan, pemerintah tetap berkomitmen melaksanakan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Arif menjelaskan, pada 2021, pemerintah telah menetapkan rencana kerja terkait pembangunan berkelanjutan. Rencana itu di antaranya penguatan ketahanan sistem pangan berkelanjutan, penyediaan energi baru terbarukan, dan penanggulangan pencemaran, termasuk penanganan limbah medis akibat Covid-19.
Selain itu, pemerintah juga menetapkan anggaran Rp 16 triliun yang dialokasikan untuk perbaikan dan perlindungan kualitas lingkungan hidup. Dalam konteks fiskal, pemerintah akan mengoptimalisasi pajak melalui perluasan basis pajak barang kena cukai (BKC) baru, seperti cukai kantong plastik, demi mendorong usaha perbaikan kualitas lingkungan.
Ia menambahkan, salah satu komitmen pemerintah yang masih terus berjalan sampai saat ini adalah meningkatkan energi baru terbarukan yang ditargetkan mencapai 19,5 persen pada 2024 dengan indikasi pendanaan Rp 177 triliun. Pembangunan rendah karbon juga akan terus ditingkatkan dengan indikator persentase penurunan emisi GRK terhadap baseline pada sektor energi mencapai 13,2 persen dan pendanaan Rp 252 triliun.