Bakteri ”Deinococcus radiodurans” Mampu Bertahan Hidup di Luar Angkasa
Bakteri ”Deinococcus radiodurans” mampu bertahan hidup di luar angkasa dalam waktu yang lama. Temuan ini memperluas pengetahuan tentang cara bertahan hidup dan beradaptasi di luar angkasa yang tidak bersahabat.
Bagi manusia, luar angkasa adalah lingkungan yang ekstrem. Manusia tidak pernah berevolusi di luar angkasa. Akibatnya, tinggal dalam waktu yang cukup lama di luar angkasa akan memengaruhi fisik manusia hingga ke tingkat asam deoksiribunukleat atau DNA.
Di luar persoalan teknologi, kondisi itulah yang paling menantang untuk mewujudkan mimpi manusia mendarat di planet Mars pada dekade 2030-an mendatang. Agar efektif, manusia setidaknya harus mampu bertahan di luar angkasa selama 3 tahun, yaitu 9 bulan perjalanan Bumi menuju Mars, 18 bulan hidup di Mars, dan 9 bulan perjalanan kembali dari Mars menuju Bumi.
Namun, studi hidup dalam jangka panjang di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) saja sudah membawa banyak perubahan pada manusia. Hal itu setidaknya dialami antariksawan Amerika Serikat, Scott Joseph Kelly (56), yang menghabiskan 340 hari secara terus-menerus di ISS. Misi antara 27 Maret 2015-1 Maret 2016 itu dilakukan Scott Kelly sebagai bagian untuk mengetahui daya tahan manusia hidup dalam jangka waktu alam di luar angkasa.
Meski demikian, pemegang rekor tinggal di luar angkasa secara terus-menerus atau dalam satu waktu tertentu terlama dipegang oleh antariksawan Rusia, Valeri Vladimirovich Polyakov (78). Seperti dikutip dari New York Times, 30 Maret 2009, Polaykov menghabiskan waktu selama 437 hari hari 18 jam di Stasiur Luar Angkasa Mir dari 1994-1995.
Tinggal hampir setahun di ISS membuat Scott Kelly mengalami peradangan, perubahan telomer dan telomerasi (bagian dari kromosom yang terkait dengan penuaan), perubahan kepadatan tulang, hingga perubahan pada saluran pencernaannya (gastrointestinal).
Baca juga: Setelah Dua Bulan di Luar Angkasa, Selamat Datang Kembali ke Bumi
Dalam laporan NASA yang dikutip Science Alert, 15 Maret 2018, tinggal lama di luar angkasa akan meningkatkan stres akibat kekurangan oksigen, memudahkan terjadinya peradangan, dan perubahan nutrisi secara dramatis yang memengaruhi ekspresi gen.
Saat kembali ke Bumi, Scott Kelly harus beradaptasi lagi dengan lingkungan Bumi. Sebagian masalah yang muncul akibat lama di luar angkasa itu langsung pulih setelah beberapa jam dan sebagian gejala lain menetap hingga enam bulan. Selain itu, 93 persen genetika Scott Kelly kembali ke normal seperti sebelum terbang ke ISS dan 7 persen gen lainnya hilang.
Bakteri
Jika manusia mengalami perubahan dramatis akibat tinggal di lingkungan dengan gravitasi mikro di ISS, kondisi itu tidak dialami oleh bakteri
Deinococcus radiodurans. Padahal, bakteri ini diletakkan di tempat khusus yang membuatnya terpapar lingkungan luar angkasa langsung selama setahun.
Di Bumi, bakteri D radiodurans pertama kali ditemukan tahun 1956 saat uji radiasi sinar gamma untuk membunuh bakteri pada makanan kaleng. Nyatanya, bakteri ini mampu bertahan dari radiasi sinar gamma hingga membuat daging olahan di kaleng itu membusuk.
Pengiriman D radiodurans ke ISS yang diatur dalam kondisi dehidrasi itu dilakukan pada 2015. Selama di ISS, dia diletakkan di bagian luar Modul Eksperimental Jepang (JEM) bernama Kibo untuk menguji kekuatannya. Karena di luar ISS, bakteri itu terpapar radiasi ultraviolet tinggi, menghadapi fluktuasi suhu ekstrem, dan tentu saja merasakan gaya gravitasi mikro.
Setelah proses uji setahun di ISS, bakteri dibawa kembali ke Bumi dan dibandingkan dengan bakteri kontrol yang tidak dibawa ke luar angkasa. Hasilnya, bakteri yang dibawa ke ISS memiliki tingkat keberlangsungan hidup lebih rendah dibanding bakteri kontrol. Meski bakteri yang dibawa ke ISS tetap dalam keadaan baik, kondisinya menjadi sedikit berbeda.
Bakteri yang dibawa ke ISS itu memiliki benjolan kecil atau vesikel di membran luar kulitnya. Tidak jelas apa yang memicu benjolan ini, namun diduga sebagai respons stres yang cepat untuk meningatkan kelangsungan hidup bakteri.
”Benjolan kecil itu kemungkinan mengandung protein penting untuk menyerap nutrisi, transfer DNA, mengangkut racun dan sistem molekul persinyalan (sistem komunikasi bakteri, seperti mendeteksi bakteri lain), serta mengaktifkan mekanisme resistensi setelah paparan lingkungan luar angkasa,” tulis para peneliti yang dipimpin Emanuel Ott dari Kelompok Biokimia Antariksa di Departemen Kimia Biofisika, Universitas Wina, Austria seperti dikutip Science Alert, 9 November 2020.
Selain itu, bakteri yang pernah dibawa ke ISS juga menunjukkan mekanisme perbaikian diri. Jumlah protein dan duta asam ribonukleat (messenger RNA/mRNA) yang dikandungnya bakteri tersebut juga menjadi lebih melimpah dibanding bakteri sejenis yang ada di Bumi.
Meski demikian, dari publikasi para peneliti di jurnal Microbiome, 29 Oktober 2020, disebutkan ketahanan bakteri D radiodurans hanya terjadi jika dia terhindar dari paparan radiasi ultraviolet vakum yang memiliki panjang gelombang kurang dari 200 nanometer. Selama uji di ISS, bakteri diletakkan di wadah kaca berbahan silikon dioksida yang melindunginya dari sinar ultraviolet vakum.
Sinar ultraviolet vakum adalah sinar ultraviolet yang merambat di ruang hampa udara di antariksa. Panjang gelombang ultraviolet vakum ini beririsan dengan panjang gelombang ultraviolet C (100-280 nanometer) yang sangat mematikan bagi organisme atau makhluk hidup Bumi. Sementara ultraviolet yang sampai ke permukaan Bumi adalah ultraviolet A dan sedikit ultraviolet B.
Sinar ultraviolet vakum itu sebenarnya bisa berinteraksi dengan oksigen hingga membentuk ozon di atmosfer bagian atas Bumi yang akhirnya melindungi makhluk Bumi dari ganasnya sinar ultraviolet. Namun, karena di Mars tidak ada oksigen, atmosfernya didominasi karbondioksida sehingga paparan ultraviolet vakum itu bisa sampai ke permukaan Mars.
Karena itu, studi ini bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan perlindungan manusia saat pengiriman manusia ke Mars nantinya dimulai. Atmosfer Mars yang tipis dan tidak ada oksigen membuat radiasi ultraviolet dengan panjang gelombang lebih kecil dari 190-200 nanometer sehingga bisa mencapai permukaan Mars dan membahayakan manusia.
Penelitian ini membantu memahami mekanisme dan proses hidup di luar Bumi, memperluas pengetahuan tentang cara bertahan hidup dan beradaptasi di luar angkasa yang tidak bersahabat. (Tetyana Milojevic)
”Penelitian ini membantu memahami mekanisme dan proses hidup di luar Bumi, memperluas pengetahuan tentang cara bertahan hidup dan beradaptasi di luar angkasa yang tidak bersahabat,” tambah peneliti lain yang juga berasal dari Universitas Wina, Austria, Tetyana Milojevic.
Kemampuan bertahan
Studi Ott dan rekan itu menunjukkan bakteri D radiodurans mampu bertahan hidup di luar angkasa dalam waktu yang lama karena sistem respons molekulernya bekerja secara efisien. Dengan demikian, perjalanan luar angkasa yang lebih jauh atau lebih lama sekalipun kemungkinkan juga mampu diatasi opleh bakteri ini.
Studi lain yang dipublikasikan di jurnal Frontiers in Microbiology pada 26 Agustus 2020 menunjukkan, bakteri D radiodurans itu dipaparkan di lingkungan luar angkasa lebih lama lagi, yaitu tiga tahun. Hasilnya, dia juga mampu bertahan di lingkungan dengan gaya gravitasi mikro, variasi suhu ektrem, dan paparan sinar ultraviolet yang intensif.
Namun, dalam studi ini, bakteri yang diletakan dalam pelet setebal 0,5 milimeter atau lebih saja yang mampu bertahan hidup. Sebaliknya, bakteri dalam pelet dengan ketebalan lebih tipis hanya sebagian kecil yang bertahan hidup. Karena itu, bakteri dalam pelet setebal 1 milimeter diyakini mampu bertahan hidup di luar angkasa antara 3-8 tahun.
”Dengan hasil itu, bakteri ini diyakini mampu bertahan dalam perjalanan Bumi menuju Mars dan sebaliknya, yang butuh hitungan bulan sampai tahun untuk jarak terpendeknya,” kata ahli biologi dari Universitas Tokyo, Jepang, Akihiko Yamagishi, seperti dikutip dari Science Alert, 26 Agustus 2020.
Sementara studi lain yang dilakukan tim dari Divisi Biofisika, Institut Kedokteran Penerbangan Antariksa, Koln, Jerman, G Horneck dkk yang dipublikasikan di jurnal Advances in Space Research, Oktober 1994 menunjukkan spora bakteri Bacillus subtilis mampu bertahan hidup di dalam lingkungan Long Duration Exposure Facility (LDEF) milik NASA yang juga terbang di orbit rendah Bumi selama enam tahun antar 1984-1990.
Meski sama-sama terbang di orbit rendah Bumi, hal yang membedakan adalah bakteri B subtilis diletakkan di dalam modul yang kondisinya diatur mirip kehidupan Bumi. Sementara D radiodurans diletakkan di luar ISS hingga terpapar lingkungan yang ekstrem. Karena itu, jika D radiodurans diletakkan di dalam ISS, para ahli yakin bakteri ini mampu bertahan antara 15-45 tahun.
Baca juga: Hidup di Luar Angkasa Picu Penuaan Dini
Masih menantangnya respons tubuh bakteri maupun manusia dalam menghadapi lingkungan luar angkasa yang ekstrem membuat cita-cita manusia mendarat di Mars dipastikan tidak mudah. Apalagi, jika sampai manusia ingin membangun kolonisasi di Mars. Meski peluang hidup di lingkungan luar angkasa yang ekstrem itu tetap ada, ilmu dan teknologi harus mampu menjawab dan mengatasi perubahan-perubahan fisik yang dialami Scott Kelly maupun bakteri D radiodurans hingga penaklukan luar angkasa tetap bisa dilakukan tanpa merugikan manusia.