Multiinterpretasi Prinsip Sawit Berkelanjutan Jadi Tantangan
Penerapan prinsip dan kriteria sawit berkelanjutan yang memenuhi standar global dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) kerap menimbulkan multiinterpretasi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkebunan sawit yang dikelola korporasi skala besar maupun petani kecil terus didorong untuk menerapkan pengelolaan secara berkelanjutan. Namun, penerapan prinsip dan kriteria sawit berkelanjutan yang memenuhi standar global dari Roundtable on Sustainable Palm Oil kerap menimbulkan multiinterpretasi.
Grievance Manager Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Indonesia Sarsongko Wachyutomo mengakui, pembuatan standar pelestarian yang dapat diterima secara luas di banyak negara tak mudah dilakukan. Sebab, standar yang dibuat harus mempertimbangkan aturan maupun kondisi di setiap daerah.
”Prinsip dan kriteria sawit berkelanjutan dari RSPO dibuat secara umum untuk memastikan dapat diterapkan di negara-negara tersebut. Jadi, prinsip dan kriteria ini tidak hanya bisa diaplikasikan di Indonesia saja,” ujarnya dalam diskusi daring yang diselenggarakan Sawit Watch, Rabu (11/11/2020).
Sarsongko mengatakan, prinsip dan kriteria yang dibuat secara umum dan berstandar global ini dalam penerapannya di beberapa daerah di Indonesia kerap terjadi multiinterpretasi. Bahkan, multiinterpretasi masih terjadi meski telah diterjemahkan atau ditafsirkan dalam versi Indonesia.
”Indonesia memiliki bentang luas dan setiap daerah ada kemungkinan memiliki kondisi atau aturan lokal. Mungkin aturan dari undang-undang dan peraturan menteri akan sama, tetapi peraturan teknis di setiap provinsi atau kabupaten bisa jadi berbeda. Ini menjadi tantangan bagi pelaksanaan standar RSPO,” ungkapnya.
Prinsip dan kriteria sawit berkelanjutan dari RSPO dibuat secara umum untuk memastikan dapat diterapkan di negara-negara tersebut.
Implementasi standar kelestarian atau pengelolaan sawit berkelanjutan juga bergantung pada aturan perundang-undangan di setiap negara. Dalam melihat kondisi kebijakan ini, menurut Sarsongko, perusahaan perkebunan sawit harus memiliki sistem untuk melihat perkembangan revisi peraturan dan relevansi dengan teknis usaha yang dilakukan setiap perusahaan.
Selain itu, tantangan lain pelaksanaan sawit berkelanjutan adalah memastikan partisipasi aktif dari organisasi masyarakat sipil dalam pembentukan atau ulasan dari standar RSPO. Keterlibatan organisasi masyarakat sipil ini sangat penting agar mereka dapat memahami konten standar RSPO secara baik dan memberikan masukan yang dikumpulkan langsung dari kondisi lokal.
RSPO merupakan organisasi keanggotaan nirlaba internasional yang dibentuk pada 2004. RSPO bersama pemangku kepentingan bertujuan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan penggunaan produk kelapa sawit berkelanjutan yang memenuhi standar global.
Direktur Yayasan Pusaka Franky Samperante mengemukakan, mekanisme keluhan RSPO dan penanganannya harus mengambil langkah yang layak untuk memastikan dan mencegah pelanggaran hak asasi manusia maupun kerusakan lingkungan. Hal ini juga bertujuan untuk memastikan masyarakat terdampak memiliki akses atas pemulihan yang efektif.
Dari pengalaman Franky memberikan pendampingan terkait keluhan RSPO, ia memandang sistem yang diterapkan belum sepenuhnya efektif. Itu ditunjukkan dari lambatnya respons dan tidak adanya pemantauan langsung dari pihak penanggung jawab atau sekretariat RSPO.
”Menurut persepsi kami, idealnya RSPO dapat menyediakan kelembagaan atau badan yang lebih independen untuk bisa memantau atau menangani setiap keluhan. Jika ini tidak dilakukan, tidak akan pernah ada penyelesaian, bahkan pada kasus-kasus berat,” ujarnya.