Penguasaan teknologi satelit dan peluncuran roket sangat diperlukan Indonesia yang berada di khatulistiwa sekaligus memiliki banyak pulau. Ini juga demi memenuhi kebutuhan dalam negeri dan pasar luar negeri.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 memaksa sebagian besar orang terhubung melalui internet. Namun, keterbatasan jaringan membuat banyak masyarakat kesulitan mengikuti perpindahan aktivitas dari dunia nyata ke dunia maya, baik untuk bekerja, sekolah, maupun menjaga relasi sosial.
Revolusi Industri 4.0 yang sebelumnya sulit dibayangkan masyarakat awam, kini mulai tergambar. Pada saat bersamaan, situasi itu juga menyadarkan betapa pentingnya ketersediaan infrastruktur teknologi digital yang andal.
Terus tumbuhnya permintaan masyarakat membuat kebutuhan internet meningkat. Munculnya industri konten, penyedia konektivitas, hingga otomatisasi industri akan makin menggelembungkan kebutuhan data. Pasar internet juga terus naik seiring berkembangnya ekonomi. Terlebih, Indonesia diprediksi Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) menjadi kekuatan ekonomi dunia kelima pada 2024.
Situasi tersebut membuat kebutuhan akan satelit yang menjadi salah satu penopang industri digital Indonesia makin besar. Meski jaringan kabel serat optik lebih andal dalam menyediakan data daripada satelit, wilayah Indonesia yang luas dan berpulau membuat satelit tetap dibutuhkan.
Karena itu, penting bagi Indonesia untuk bisa menguasai teknologi satelit. Meski Indonesia adalah negara ketiga di dunia yang menggunakan satelit telekomunikasi sejak 44 tahun lalu dan memiliki beberapa satelit telekomunikasi di orbit geostasioner, semua satelit itu diproduksi dan diluncurkan oleh negara lain.
Padahal, kebutuhan satelit akan semakin meningkat di masa datang. Terlebih, masa hidup satelit sangat pendek, hanya 3-6 tahun untuk satelit mikro dan 15-20 tahun bagi satelit besar di orbit geostasioner. Belum lagi kendala peluncuran dan pengoperasian bisa membuat umur satelit makin pendek.
Sementara satelit telekomunikasi yang ada saat ini pun masih belum memenuhi kebutuhan dalam negeri hingga terpaksa harus menyewa jasa satelit negara lain. Situasi itu tak hanya membuat Indonesia bergantung pada negara lain, tetapi juga mengancam keamanan dan ketahanan bangsa.
Tak hanya pasar dalam negeri yang besar, pasar global satelit pun sangat menggiurkan jika Indonesia menguasai teknologi pembuatan dan peluncuran satelit.
Jumlah satelit yang diluncurkan akan terus naik. Terlebih, tren penggunaan konstelasi satelit mikro yang diletakkan di orbit rendah Bumi yang lebih murah juga makin meningkat meski keandalannya dibandingkan dengan satelit geostasioner masih diperdebatkan. Proses pembuatan satelit mikro yang lebih mudah juga membuat banyak negara, termasuk negara-negara ASEAN lain, berlomba membuatnya.
Konsultan teknologi antariksa yang berbasis di Paris, Perancis, Euroconsult, pada 2019 menyebut, 990 satelit akan diluncurkan setiap tahun pada 2019-2028. Jumlah itu naik lebih dari empat kali lipat dibandingkan dengan jumlah rata-rata satelit yang diluncurkan setiap tahun pada satu dekade sebelumnya.
Nilai ekonomi dari pembuatan dan peluncuran satelit dalam 10 tahun ke depan itu diperkirakan mencapai 292 miliar dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 4.300 triliun dengan kurs Rp 14.700 per dollar. Dari jumlah tersebut, 75 persennya adalah biaya pembuatan satelit.
Pasar satelit dalam negeri saja sebenarnya cukup menggiurkan. Nilai investasi satelit BRISat yang diluncurkan pada 2016 mencapai Rp 3,375 triliun, satelit Telkom 3S (2017) sebesar 215 juta dollar AS (sekitar Rp 3,16 triliun dengan kurs saat ini), dan satelit Telkom 4 (2018) 190 juta dollar AS (sekitar Rp 2,8 triliun).
Sementara satelit Satria milik Kementerian Komunikasi dan Informatika yang akan diluncurkan pada 2023 memiliki nilai investasi 550 juta dollar AS atau Rp 8 triliun.
Dampak ekonomi ikutan dari pengembangan satelit itu dipastikan akan jauh lebih besar. Sementara nilai politiknya bagi negara tentu akan jauh lebih besar lagi.
Indonesia sebenarnya sudah menginisiasi penguasaan teknologi satelit secara mandiri melalui pengembangan satelit mikro oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Kini, sudah ada tiga satelit Lapan yang mengangkasa, yaitu Lapan-TUBSat/A1 yang diluncurkan pada 2007, Lapan-Orari/A2 (2015), dan Lapan-IPB/A3 (2016).
Pandemi membuat peluncuran satelit Lapan-Maritime/A4 yang seharusnya dilakukan tahun ini ditunda hingga 2021. Namun, pembatasan anggaran yang berlangsung selama beberapa tahun terakhir turut memengaruhi pengembangan satelit tersebut.
Untuk mewujudkan mimpi Indonesia menguasai teknologi satelit, komitmen kuat pemerintah dibutuhkan. Jika Indonesia juga ingin meluncurkan satelit sendiri karena memiliki keuntungan posisi wilayah yang ada di khatulistiwa, penguasaan teknologi roket juga harus dilakukan secara bersamaan.
Keterlibatan swasta juga perlu didorong karena tidak mungkin hanya mengandalkan Lapan atau lembaga pemerintah lain untuk mengerjakannya. Selain itu, sumber daya manusia juga harus disiapkan bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi di Indonesia.
Impian Indonesia untuk membuat dan meluncurkan satelit secara mandiri, sama seperti kemampuan membuat dan menguji pesawat terbang yang sudah dikuasai, akan terwujud jika ada tekad kuat dan kerja bersama. Jika tidak, Indonesia hanya akan menjadi bangsa besar yang terus bergantung pada negara lain.