Pengembangan calon vaksin Covid-19 buatan Pfizer dan BioNTech menjadi terobosan menggembirakan bagi dunia. Meski demikian, Indonesia tetap mesti berhati-hati dalam memilih vaksin yang telah lolos uji klinis fase ketiga.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Vaksin buatan perusahaan Amerika Serikat, Pfizer dan BioNTech, diklaim memiliki efektivitas lebih dari 90 persen. Pada saat bersamaan, Brasil menghentikan uji klinis fase ketiga terhadap vaksin Sinovac buatan China. Indonesia diharapkan berhati-hati memilih dan menggunakan vaksin yang sudah lolos uji klinis fase ketiga.
”Jika klaim Pfizer dan BioNTech benar, ini tentu saja kabar baik. Tetapi, kita tetap harus kritis terhadap klaim-klaim seperti ini. Kita tunggu data publikasi ilmiahnya terkait dengan respons imun, efikasi, dan keamanannya,” kata ahli kesehatan global dan epidemiolog Indonesia di Griffith University, Australia, Dicky Budiman, Selasa (10/11/2020), di Jakarta.
Menurut Dicky, kebijakan pemberian vaksin harus didasarkan pada prinsip kehati-hatian karena implikasinya amat besar. Selain keamanan dan efikasi, faktor yang juga harus diperhitungkan adalah penyimpanan dan pengiriman.
Dalam keterangan tertulis di laman mereka, Pfizer dan BioNTech menyebut calon vaksin berbasis mRNA mereka, BNT162b2, menunjukkan bukti kemanjuran terhadap Covid-19. Data ini didasarkan analisis efikasi pertama dari studi klinis fase ketiga oleh Komite Pemantau Data (DMC) eksternal pada 8 November 2020.
”Analisis sementara pertama dari studi fase ketiga global kami memberikan bukti bahwa vaksin ini dapat secara efektif mencegah Covid-19. Ini adalah kemenangan untuk inovasi, sains, dan upaya kolaboratif global,” kata Ugur Sahin, salah satu pendiri dan CEO BioNTech. Pihaknya akan mengumpulkan data lebih lanjut sesuai dengan analisis akhir yang direncanakan, yaitu saat ada total 164 kasus Covid-19 yang dikonfirmasi.
Dalam keterangan pers ini juga disebutkan, individu yang menerima dua suntikan vaksin dalam tiga minggu atau tepatnya 28 hari mengalami 90 persen lebih sedikit kasus gejala Covid-19 dibandingkan dengan mereka yang menerima plasebo. Uji klinis fase ketiga dari BNT162b2 dimulai pada 27 Juli dengan 43.538 peserta, di mana 38.955 orang di antaranya telah menerima dosis kedua dari calon vaksin pada 8 November 2020. Sekitar 42 persen peserta global serta 30 persen peserta dari AS yang memiliki latar belakang ras dan etnis beragam.
Analisis sementara pertama dari studi fase ketiga global kami memberikan bukti bahwa vaksin ini dapat secara efektif mencegah Covid-19.
Dicky mengatakan, vaksin adalah produk kesehatan yang perlu keamanan superekstra. ”Jadi, ketika Pfizer mengklaim bahwa vaksinnya lebih dari 90 persen efektif, harus diketahui bahwa yang dimaksud baru penurunan 90 persen kasus simptomatik,” katanya.
Menurut Dicky, hasil ini menjadi perkembangan bagus terkait pengurangan gejala, tetapi tidak atau belum jelas apakah vaksin ini efektif mencegah infeksi Covid-19. ”Penurunan gejala 90 persen tentu juga sangat bermanfaat bagi kesehatan masyarakat, tetapi sangat berbeda dengan penurunan 90 persen pada kasus baru,” ujarnya.
Orang yang sama sekali tidak terinfeksi tentu tidak akan dapat menularkan virus ke orang lain. Demikian halnya, orang yang memiliki gejala penyakit yang ringan tentu tidak akan membebani rumah sakit dan menyebabkan kematian. Akan tetapi, jika seseorang tetap terinfeksi meski tidak bergejala, maka masih mungkin menularkan ke orang lain.
”Masih ada proses panjang yang harus dilalui riset ini di depan. Jadi, kita harus kelola ekspektasi kita, bersabar sambil tentu terus berupaya,” katanya.
Hati-hati
Dicky juga mengingatkan agar Pemerintah Indonesia tidak buru-buru mengimpor dan memberikan vaksin ke masyarakat, sebelum uji klinis fase ketiga di Indonesia selesai. Eviden dari luar negeri juga perlu jadi pertimbangan, termasuk penghentian uji klinis fase ketiga terhadap vaksin Sinovac di Brasil.
Seperti diberitakan Reuters pada Selasa, regulator kesehatan Brasil telah menangguhkan uji klinis untuk vaksin Covid-19 buatan Sinovac, China, dengan alasan adanya insiden yang parah.
Namun, Dimas Covas, Kepala Lembaga Penelitian Medis Sao Paulo Butantan yang melakukan uji coba klinis Sinovac, mengatakan, keputusan regulator Brasil terkait dengan kematian, tetapi menambahkan dia merasa aneh ”karena itu adalah kematian yang tidak terkait dengan vaksin”.
”Karena ada lebih dari 10.000 sukarelawan saat ini, kematian dapat terjadi. Ini adalah kematian yang tidak ada hubungannya dengan vaksin dan oleh karena itu bukan saatnya untuk menghentikan uji coba,” kata Covas.
Ketua Tim Mitigasi Ikatan Dokter Indonesia Adib Khumaidi mengatakan, para tenaga kesehatan cenderung menanti vaksin Covid-19 yang sudah selesai uji klinis di Indonesia dibandingkan dengan memakai otorisasi penggunaan darurat (emergency use autrhorization/EUA).
”Untuk saat ini kami lebih berharap pemerintah fokus pada pencegahan dan pengendalian kasus melalui tes, lacak, dan isolasi dengan baik. Vaksin bisa menunggu kalau sudah betul-betul ada yang aman dan efektivitasnya baik,” ujarnya.