Gugur untuk Negeri
Indonesia kehilangan putra-putri terbaik, yang gugur demi keselamatan dan kesehatan rakyat. Kepergian para tenaga kesehatan akibat Covid-19 meninggalkan duka mendalam bagi kerabat, rekan sejawat, dan mantan pasien.
Tenaga kesehatan yang gugur tidak hanya meninggalkan duka cita bagi keluarga, tetapi juga bagi sejawat dan para mantan pasien. Indonesia telah kehilangan putra-putri terbaik, yang gugur demi keselamatan dan kesehatan rakyat.
Leri Afbeki (28), warga Desa Belitang, Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan, merasa terpukul begitu mengetahui dokter spesialis olahraga, Edward Edarladdar Tambunan (54), dari Bandung, Jawa Barat, meninggal karena Covid-19 pada 29 September 2020. ”Almarhum adalah pahlawan. Dia penyelamat hidup dan sudah saya anggap ayah angkat,” kisah Leri, Minggu (8/11).
Saat berusia empat tahun, Leri didiagnosis menderita paru-paru basah. Kondisinya sudah kritis saat dibawa kedua orangtuanya berobat ke dokter Edward, yang kala itu bertugas di Puskemas Kayu Agung, sekitar sejam dari rumah Leri. ”Itu puskesmas terdekat dan beliau dokter satu-satunya. Beliau yang merawat saya sampai sembuh,” kata Leri.
Selama bertahun-tahun, Leri berobat kepada Edward atau yang mereka kenal sebagai dokter Edo. Namun, hubungan mereka kemudian terjalin lebih mendalam. ”Waktu itu beliau masih bujang tinggal di dekat puskemas. Setiap akhir pekan, beliau berkunjung dan tinggal di rumah saya. Dia sudah seperti anggota keluarga kami, saat beliau sakit kuning, ayah dan ibu saya gantian yang merawatnya,” katanya.
Baca juga: Perlindungan Tenaga Kesehatan
Tak hanya mengunjungi keluarga Leri, setiap berkunjung ke keluarga Leri di Belitang, dokter Edo juga kerap memberikan layanan dan membawa obat-obatan kepada penduduk desa. ”Dia banyak membantu warga dan dikenang sebagai pahlawan di desa kami,” kata Leri.
Suatu ketika, kisah Leri, salah satu marbot masjid di desanya sakit parah. Dokter Edo kemudian membawanya dengan mobil sekitar tujuh jam ke Palembang. Dia menanggung seluruh biaya, dan saat ditanya bagaimana bisa membayarnya. ”Dokter Edo hanya meminta imbalan seadanya, dan akhirnya dia dibayar pisang satu tandan,” katanya.
Namun, saat Leri umur 10 tahun, dokter Edo harus pindah tugas dan sejak itu pula, hubungan mereka terputus. ”Kenangan terakhir saat saya ulang tahun. Waktu itu, dokter Edo membelikan hadiah mobil-mobilan. Sejak itu kami tidak pernah ketemu,” katanya.
Bertahun-tahun keluarga Leri mencoba mencari dokter Edo. ”Ibu saya, Yuliana (56), masih terus menanyakan keberadaan dokter Edo. Keluarga kami tahunya hanya dokter Edo, tidak pernah mengenal nama lengkapnya. Waktu itu juga belum ada telepon genggam, kami tak tahu ke mana beliau pindah,” kenang Leri.
Hingga pada Jumat, 30 Oktober ini, Ibu Yuliana tiba-tiba teringat pada foto keluarga mereka bersama dokter Edo. Di balik foto yang dicetak dokter Edo, ada nama lengkapnya: Edward Edarladdar Tambunan. Segera dia meminta anak-anaknya mencari dokter Edward melalui mesin pencari Google.
Baca juga: Tenaga Kesehatan Terus Berguguran
”Dari Google ternyata kami justru menemukan berita dokter Edo meninggal,” kisah Leri, yang segera menyampaikan informasi itu kepada orangtuanya. ”Ayah dan Ibu saya sempat meminta kami melayat. Tetapi, situasi Covid-19 seperti ini, kami hanya bisa berdoa dari jauh,” kata Leri, yang kini tinggal dan bekerja di Bekasi.
Leri kemudian menuliskan testimoni tentang utang budi keluarganya di ”pusara digital”, laman yang didedikasikan Laporcovid19 untuk mendokumentasikan para nakes yang meninggal karena pandemi Covid-19. Selain merekam kisah mereka yang gugur, di laman nakes.laporcovid19.org ini, warga bisa memberi penghormatan dan testimoni terhadap para nakes.
Menurut pusara digital ini, sudah ada 323 nakes Indonesia yang gugur selama pandemi. Sebagian besar adalah dokter, yaitu 159 orang, dokter gigi 10 orang, perawat 113 orang, bidan 22 orang, dan para pekerja kesehatan lain, seperti laboran dan sopir ambulan. Menurut data Ikatan Dokter Indonesia (IDI), di antara para dokter yang meninggal, 10 di antaranya merupakan guru besar, dan 68 di antaranya dokter spesialis.
Kehilangan besar
Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar IDI Adib Khumaidi mengatakan, dalam perang melawan pandemi seperti saat ini, nakes ibarat pasukan khusus. ”Untuk di Indonesia, satu dokter melayani sekitar 30.000 orang. Jadi, kalau satu orang meninggal, sebanyak itulah yang kehilangan layanan kesehatan,” kata Adib.
Selain Leri, seribuan orang lain telah memberikan testimoni kepada para nakes yang gugur di ”pusara digital” Laporcovid. Banyak di antaranya bersaksi tentang kebaikan, dedikasi, dan utang budi atas bantuan para nakes yang gugur dalam pandemi ini. Ini menunjukkan betapa banyak orang yang kehilangan.
Yoan Maukar (32), misalnya, warga Surabaya, mengisahkan utang budinya kepada dokter Boediwarsono, ahli penyakit dalam yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. ”Beliau adalah dokter keluarga kami. Almarhum ayah, tante, dan keluarga besar kami selalu berobat kepada beliau. Saat saya sakit demam berdarah dan paru-paru basah, beliau juga yang menyembuhkan,” kata Yoan.
Yoan mengenang dokter Boediwarsono sebagai sosok yang ramah dan selalu memberi optimisme kepada para pasien. ”Saat saya kena paru-paru basah, sudah parah sekali. Takut tidak bisa selamat, tetapi dokter Boedi meyakinkan saya pasti sembuh,” katanya.
Setiap kali datang berkunjung, dokter Boediwarsono menampilkan wajah menghibur, terkadang sambil bersiul dan menyanyi, hingga membuat lelucon dengan suster. ”Rambut beliau juga khas, mirip gaya Elvis Presley. Dia baik sekali, selalu enjoy, dan memanusiakan pasien. Aduh, kalau bukan karena Covid-19 mungkin beliau akan berumur panjang,” kata Yoan.
Tak tergantikan
Lain lagi kisah Pantja Wibowo (48), dokter ansestesi di Rumah Sakit (RS) Premier Bintaro, yang harus kehilangan rekan-rekan sejawatnya. Salah satu rekan kerja, yang juga adik kelasnya yang meninggal adalah Hadio Ali Khazatsin, dokter di RS Premier Bintaro yang meninggal karena Covid-19 pada 21 Maret 2020. ”Dia dokter muda yang pintar dan berdedikasi. Dia juga dokter istri saya,” kata Pantja.
Selain Hadio, Pantja juga merasa sangat kehilangan atas meninggalnya perawat Setyo Ari Wibowo. ”Secara pribadi saya kenal baik dia. Dulu dia perawat 118. Orangnya sangat rajin dan lucu. Tidak pernah perhitungan kalau bekerja, hatinya ke emergensi. Kalau ada yang butuh bantuan darurat, dia selalu siap,” katanya.
Menurut Pantja, menghadapi pasien dalam situasi emergensi selalu tidak mudah, termasuk juga harus menghadapi keluarga mereka. ”Perawat Setyo orang yang paling bisa membuat keluarga pasien tenang. Dia andalan kami karena sifatnya yang ngemong,” ungkapnya.
Ketika ada salah satu perawat di RS Premiere Bintaro, Hanafi, positif Covid-19, Setyo yang kebetulan rekan seangkatan mengorganisasi dukungan. ”Dia bilang, kita semua harus bantu Hanafi, kita juga harus tetap kuat dan sehat. Tetapi, ternyata dia tertular dan kemudian meninggal,” kata Pantja.
Bagi Pantja, Covid-19 tak hanya merenggut sahabat, tetapi juga guru dan suri tauladan. ”Abah Lukman masih menyisakan implan di tangan saya. Beliau dokter bedah tulang yang tidak hanya cerdas dan terampil, tetapi juga berhati mulia,” kenangnya, terhadap Lukman Shebubakar, dokter spesialis ortopedi dari RSUP Fatmawati, yang meninggal karena Covid-19 pada 4 April 2020.
Pantja juga kehilangan gurunya, Prof Bambang Sutrisna, dokter dan pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia. ”Sebagai murid Prof Bambang, saya menikmati didikan dari guru yang ramah dan memiliki integritas. Dedikasinya untuk menolong dibuktikan dengan tetap praktek meski sudah sepuh," katanya.
Bagi Pantja, dokter Bambang juga sumber inspirasi. ”Almarhum yang mendorong kami membentuk kelompok cendekia di rumah sakit yang melakukan kajian komprehensif terhadap penerapan ilmu medis lintas spesialisasi. Selamat jalan, Prof....” sebut Pantja.
Mereka yang telah gugur memang tak bisa kembali. Namun, mereka gugur untuk menjaga asa kehidupan. ”Indonesia kehilangan besar dengan meninggalnya para nakes. Saya kehilangan lima guru,” kata Tri Maharani, dokter spesialis emergensi dari Kediri, salah satu relawan pusara digital Laporcovid.
Menurut Tri, untuk menjadi dokter yang terlatih minimal 10 tahun, dokter spesialis paling tidak butuh 20 tahun, dan guru besar baru bisa diraih hingga 30 sampai 40 tahun. ”Ilmu, pengalaman dan pengabdian mereka tak tergantikan. Tugas kami sekarang melanjutkan semangat dan perjuangan sejawat dan guru-guru untuk melayani negeri, sampai akhir...,” ungkapnya.