Sebagian keluarga tenaga kesehatan yang gugur karena pandemi Covid-19 belum menerima santunan dari pemerintah. Ketiadaan hasil pemeriksaan tes usap menjadi alasan, sedangkan bukti-bukti lain diabaikan.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
Dipanggil ke Istana Negara dan menerima penghargaan Bintang Jasa Nararya dari Presiden Joko Widodo menjadi penglipur lara Nur Iskandar (23) atas kepergian istri tercinta karena Covid-19. Namun, janji pemberian santunan untuk keluarga yang ditinggalkan hanya pepesan kosong.
Iskandar, yang saat ini juga bekerja sebagai admin di salah satu rumah sakit Jakarta ini, harus berpisah selamanya dengan istri yang baru dinikahinya setahun lebih dua bulan, perawat Nur Putri Julianty (25). Pada 9 April 2020, Julianty yang sehari-hari bekerja sebagai perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Andhika Jakarta meninggal dengan status pasien dalam perawatan Covid-19 bersama janin 7 bulan yang dikandungnya.
Sebelum sakit dan akhirnya meninggal, saya sudah menyarankan istri agar mengambil cuti, khawatir dengan Covid-19 karena dia sedang hamil. Tetapi, dia selalu bilang sudah disumpah untuk tetap bekerja, dalam kondisi apa pun. (Nur Iskandar)
”Sebelum sakit dan akhirnya meninggal, saya sudah menyarankan istri agar mengambil cuti, khawatir dengan Covid-19 karena dia sedang hamil. Tetapi, dia selalu bilang sudah disumpah untuk tetap bekerja, dalam kondisi apa pun,” kisah Iskandar.
Hingga akhirnya istri mengeluhkan sakit, awalnya lemas, batuk-batuk, dan tensi darah tinggi. Tanggal 4 April, Iskandar membawa istrinya ke Rumah Sakit Fatmawati. Hasil tes cepat pertamanya non-reaktif, tetapi dokter mencurigai istrinya terkena Covid-19 sehingga harus menjalani isolasi dan harus mendapat bantuan pernafasan melalui ventilator karena mengalami sesak napas.
Pada 9 April, kondisi istri semakin lemah. Dokter memutuskan mengeluarkan janin tujuh bulan. ”Jagain anak kita kalau anak kita selamat. Maafkan aku,” menjadi pesan terakhir Yulianti kepada Iskandar.
Sepanjang operasi, Iskandar hanya bisa memantau dari balik kaca ruang isolasi. Sore menjelang Ashar, janinnya dikeluarkan, hanya bertahan 10 menit sebelum kemudian meninggal. Empat jam kemudian, Yulianti menyusulnya.
Awalnya Iskandar hendak membawa pulang jenazah istri, tetapi rumah sakit melarangnya. Dokter yang merawat kemudian menunjukkan hasil rontgen terakhir yang menunjukkan bercak putih memenuhi paru-paru almarhum. Yulianti pun dikubur dengan protokol Covid-19 di Tempat Pemakaman Umum Pondok Ranggon, Jakarta Timur.
Di tengah duka yang meliputi, Iskandar mendapat angin surga. Tanggal 13 Agustus 2020, dia dipanggil Presiden Joko Widodo ke Istana Negara untuk menerima Bintang Jasa Nararya buat istrinya. Penghargaan ini biasanya diberikan kepada mereka yang dianggap berjasa luar biasa terhadap nusa dan bangsa pada bidang atau peristiwa tertentu.
”Dia menjadi nakes ke-10 dari 22 tenaga kesehatan yang waktu itu dianggap meninggal karena bekerja melawan Covid-19,” kata Iskandar.
Namun, penghargaan ini ternyata tidak diikuti dengan pemberian insentif yang sebelumnya dijanjikan untuk seluruh keluarga nakes yang meninggal. ”Sampai saat ini tidak ada santunan sepeser pun dari pemerintah, baik dari Satgas maupun dari Kementerian Kesehatan. Saya sudah bertanya melalui Dinas Kesehatan Jakarta, alasannya istri saya tidak ada hasil tes swab,” katanya.
Padahal saat itu memang tidak mudah mendapat tes swab, bahkan juga terhadap nakes sehingga banyak yang meninggal dengan status pasien dalam pemantauan (PDP). ”Kami juga waktu itu tidak tahu kalau harus ada syarat tes swab untuk dapat santunan, padahal jelas ada hasil pemeriksaan medis dan keterangan dari rumah sakit,” kata Iskandar.
Satu keluarga, beda nasib
Kisah serupa dialami Toto Yulianto (42), suami dari dokter Elianna Widiastuti, Ketua Tim Gugus Covid-19 di Puskemas Halmahera, Semarang, yang meninggal dunia pada 28 Juni 2020. ”Sampai sekarang keluarga kami belum mendapatkan santunan, tetapi untuk keluarga adik istri, dokter Sang Aji Widi Aneswara, sudah dapat. Padahal, kami mengajukannya bareng,” kata Toto.
Elianna dan Sang Aji adalah kakak-adik yang sama-sama meninggal karena Covid-19. Sebelumnya, ayah mereka juga meninggal karena Covid-19 pada hari yang sama dengan kematian Elianna.
Elianna mulai mengeluh sakit sejak awal Mei 2020 dan sempat menjalani isolasi mandiri di Puskesmas Halmahera dengan status reaktif dari hasil tes cepat. Namun, setelah membaik, dia kemudian kembali pulang ke rumah keluarga.
”Saat itu dia sebenarnya sudah sering mengeluh sakit, tapi tidak dirasakan. Sampai akhirnya ayahnya, H Soewardi, juga sakit. Setelah dirawat, ayah meninggal pada 28 Juni pagi. Sampai meninggalnya, hasil swab ayah mertua belum keluar, baru sehari setelahnya hasil tes ternyata positif,” kata Toto.
Elianna sempat mengikuti proses pemakaman ayahnya. Namun, siang harinya, dia mengeluh sesak napas, bahkan pingsan, dan dilarikan ke RS Roemani. Dia sempat mendapatkan tes cepat dengan hasil reaktif dan menjalani perawatan intensif di ruang isolasi. Namun, nyawanya tak tertolong. Hari itu juga dia meninggal menyusul ayahnya, meninggalkan tiga anak dan suami.
Setelah kepergian Soewardi dan Elianna, keluarga besar menjalani tes usap. Dari 12 anggota keluarga di rumah itu 8 di antaranya positif Covid-19, termasuk dr Sang Aji, dokter yang sehari-hari merawat pasien Covid-19 di Rumah Sakit Roemani Semarang. Pada 6 Juli 2020, Sang Aji akhirnya meninggal, menyusul kakak dan ayah mereka.
Dari Pemerintah Kota Semarang, Toto mendapatkan penghargaan atas pengabdian istrinya yang dianggap berdedikasi selama Covid-19. ”Tiga hari lalu ada staf datang untuk mewawancarai keluarga di Semarang, mendokumentasikan istri dan adik yang dianggap sebagai pahlawan kemanusiaan, katanya akan diluncurkan pada Hari Pahlawan nanti,” kisah Toto.
Namun, Toto diliputi keraguan. ”Apa benar istri saya dianggap pahlawan? Karena status kematiannya karena Covid-19 tidak diakui Kemenkes. Saya sudah mengirim kronologi ke mereka, tapi diabaikan. Istri saya tidak dianggap meninggal karena Covid-19, hanya karena tidak ada tes swab,” keluh Toto.
Padahal, menurut Toto, saat itu, untuk mendapatkan tes usap tidaklah mudah, termasuk juga bagi nakes. Apalagi, kondisi istrinya memburuk tiba-tiba sebelum kemudian meninggal dan akhirnya dimakamkan dengan protokol Covid-19.
Sengkarut prosedur pemberian santunan ini menambah luka bagi keluarga. Sekalipun demikian, bagi Toto dan Iskandar, istri-istri mereka adalah pahlawan dan tak tergantikan. Mereka telah bekerja dengan berani dan mengabdi hingga ajal menjemput....