Deagrarianisasi Bakal Meningkat Seiring Penetapan UU Cipta Kerja
UU Cipta Kerja dikhawatirkan kian membawa Indonesia menjauh dari sektor pertanian terkait. Keberpihakan pada pelaku pertanian maupun perikanan serta masyarakat adat kian dipertanyakan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinilai kian membuat pemerintah menurunkan keberpihakannya terhadap kaum petani, peladang, dan nelayan tradisional. Pada akhirnya, hal ini semakin meningkatkan laju deagrarianisasi yang ditandai dengan hilangnya ketergantungan warga perdesaan terhadap pertanian dan beralih ke semua sektor di perkotaan.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyampaikan, kurangnya akomodasi terhadap pertanian membuat sektor ini semakin menurun. Hal ini juga ditegaskan melalui hasil sensus pertanian yang menyebutkan bahwa sejak 2003-2013, terdapat 5,1 juta rumah tangga petani yang terlempar ke sektor nonpertanian.
”Terlemparnya ini bukan karena kesediaan yang sukarela, melainkan karena keadaan saat ini yang seolah-olah masyarakat desa diorientasikan menjadi masyarakat industri,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk ”Masa Depan Petani dan Agenda Reforma Agraria Pasca-Omnibus Law”, Sabtu (7/11/2020).
Menurut Dewi, orientasi pembangunan kini semakin bertentangan dengan amanat dalam UU Pokok Agraria. Padahal, dalam UU Pokok Agraria, industrialisasi perdesaan akan bersifat adil dan memakmurkan masyarakat desa apabila diimbangi dengan penataan ulang struktur agraria.
Akan tetapi pada praktiknya, Dewi memandang bahwa upaya land reform (reforma agraria) tidak penah dijalankan. Pemerintah dinilai kurang melakukan program penunjang seperti transfer teknologi kepada para petani atau penyediaan modal, benih, dan pupuk sehingga pertanian rakyat menjadi lebih modern.
”Ini artinya, semakin ke sini, deagrarianisasi itu semakin terjadi. Apakah memang kita akan menuju negara industri di mana semua sumber daya manusia hendak dijadikan buruh upah murah. Bahkan, tanah sebagai alat produksi utama petani hendak diorientasikan untuk pemilik modal,” katanya.
Dewi menegaskan, laju deagrarianisasi akan meninggi seiring dengan disahkannya UU Cipta Kerja, yang di dalamnya juga memuat substansi pertanahan atau agraria. KPA mencatat, terdapat 58 inventarisasi masalah yang tertuang dalam sejumlah pasal di UU Cipta Kerja terkait agraria.
Penguasaan tanah
Permasalahan yang paling utama di antaranya tentang ketimpangan penguasaan, penggunaan, dan kepemilikan tanah antara masyarakat kecil dan badan usaha skala besar. Hal tersebut dinilai akan semakin memperbanyak konflik agraria, hilangnya tanah pertanian, dan memperparah kemiskinan, baik di perdesaan maupun perkotaan.
Selain itu, dalam UU Pokok Agraria, terdapat ketentuan yang menyebut bahwa hak atas tanah memiliki fungsi sosial. Ketentuan ini dijabarkan dalam UU Pokok Agraria karena Indonesia pernah mengalami penjajahan dan selama itu, tanah diakuisisi serta dirampas oleh pemerintah kolonial. Oleh sebab itu, hak atas tanah harus memiliki fungsi sosial untuk mencegah monopoli terhadap kekayaan alam.
Dewi juga memandang pembentukan lembaga bank tanah yang tertuang dalam UU Cipta Kerja memiliki sistem kerja yang memonopoli. Sebab, bank tanah tidak hanya mencatat, mengumpulkan, dan meregistrasi tanah-tanah negara dalam bentuk hak pengelolaan tanah, tetapi juga menerbitkan segala jenis hak pengusahaan.
”Kita masih ada puluhan ribu konflik agraria dan puluhan ribu desa yang berada di dalam konsensi-konsensi perkebunan. Ketika bank tanah diberlakukan, maka tanah tersebut akan dinyatakan secara sepihak sebagai bagian dari tanah negara dan ditransasikan. Inilah yang akan semakin memperkuat monopoli tanah oleh negara dan para pemilik modal,” ungkapnya.
Wisata komodo
Peneliti di Sunspirit For Justice and Peace—sebuah organisasi masyarakat sipil yang berbasis di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur—Gregorius Afioma berpendapat, upaya perampasan lahan oleh negara dan pemilik modal dengan dalih pembangunan telah terjadi di sejumlah daerah, termasuk di Labuan Bajo. Terbaru, beberapa rumah warga di Kampung Komodo juga akan direlokasi untuk pembangunan destinasi wisata premium.
Afioma memandang, penetapan destinasi wisata premium ini akan mempercepat penguasaan lahan dan memperbanyak konflik agraria. Ia pun mendesak agar izin privatisasi di dalam kawasan di Taman Nasional Komodo dapat ditinjau kembali dan dicabut.
”Pembangunan ini akhirnya membuat penguasan pulau kecil, wilayah pesisir, tanah, bahkan air semakin terkonsentrasi untuk kepentingan segelintir orang. Ini juga akan berdampak dalam kawasan konservasi karena banyaknya bangunan investasi yang tersebar di pulau-pulau,” ujarnya.
Sebaliknya, dalam konferensi pers pekan lalu, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil menegaskan, substansi dalam UU Cipta Kerja, khususnya tentang ketentuan bank tanah, ini justru dinilai akan mendukung percepatan reforma agraria. Sebab, bank tanah akan mengamankan tanah-tanah telantar yang kerap menjadi incaran sejumlah pihak. Setelah diamankan dan dikumpulkan, 30 persen tanah tersebut dapat digunakan untuk menjamin tercapainya reforma agraria.
Menurut Sofyan, aturan bank tanah tidak akan dapat terlihat hasil atau manfaatnya dalam waktu dekat. Namun, suatu saat bank tanah akan menjadi aturan yang kuat dan berguna karena menyimpan tanah-tanah yang telah diakuisisi, baik dari regulasi maupun pembelian secara langsung.