Situasi pandemi Covid-19 memacu pengembangan kecerdasan buatan dalam sejumlah sektor kehidupan. Meski hal ini menjadi peluang untuk memacu ekonomi, sebagian masyarakat masih mengkhawatirkan penggunaan teknologi ini.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 membuat penggunaan teknologi kecerdasan artifisial tumbuh lebih cepat dari perkiraan dan akan semakin masif ke depan. Ini menjadi potensi ekonomi besar yang bisa mendorong Indonesia menjadi negara maju pada 2045. Namun, tantangannya pun tak kalah besar akibat masih tingginya kesenjangan digital di masyarakat.
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza dalam konferensi pers virtual menyambut Inovasi Indonesia Artificial Intelligence Summit 2020 di Jakarta, Rabu (5/11/2020), mengatakan, inovasi dan ekonomi digital diharapkan jadi penghela pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2045. Saat itu Indonesia diperkirakan jadi kekuatan ekonomi terbesar kelima di dunia.
Generasi alfa yang lahir pada 2010-2024 akan jadi tulang punggungnya. Mereka adalah digital native yang sejak lahir sudah akrab dengan teknologi digital, termasuk kecerdasan artifisial. ”Mereka akan mendorong terjadinya transformasi digital hingga meningkatkan daya saing Indonesia dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain,” katanya.
McKinsey Global Institute menilai penggunaan kecerdasan artifisial di Indonesia dan ASEAN masih dalam tahap penetrasi. Situasi itu memunculkan banyaknya usaha rintisan (start up), baik berbasis teknologi maupun nonteknologi. Namun, sektor yang dianggap tumbuh cepat dalam pemanfaatan kecerdasan artifisial itu adalah kesehatan dan keuangan.
Meski demikian, kecerdasan artifisial yang menjadi bagian penting dalam pengembangan industri 4.0 masih jadi hal yang sulit dibayangkan dan menakutkan bagi sebagian masyarakat. Bagi banyak awam, kecerdasan artifisial akan menggantikan banyak kegiatan manusia seperti dalam gambaran sejumlah film fiksi ilmiah, termasuk mengurangi kebutuhan tenaga kerja.
Padahal, tanpa disadari, masyarakat sebenarnya sudah banyak memakai produk inovasi kecerdasan artifisial. Bertransaksi keuangan di anjungan tunai mandiri, menjawab pertanyaan berulang pembeli di market place, menaksir ongkos ojek daring sesuai jarak yang akan ditempuh, hingga memesan makanan dan kamar hotel, semuanya menggunakan kecerdasan artifisial.
”Kecerdasan artifisial itu akan membantu manusia menjalani hidup dengan lebih mudah. Namun, tidak semua segmen kehidupan akan hilang dan digantikan robot,” kata Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material BPPT Eniya Listiani Dewi.
Besarnya manfaat kecerdasan artifisial membuat BPPT menyusun Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia 2020-2045 dengan fokus pada bidang kesehatan, reformasi birokrasi, pendidikan dan riset, ketahanan pangan, dan mobilitas atau kota cerdas.
Harapannya, penggunaan teknologi digital dan kecerdasan artifisial akan makin masif pada 2045 hingga teknologi menjadi bagian dari budaya sehari-hari. Indonesia akan mampu membuat banyak inovasi kecerdasan artifisial, bukan sekadar membeli atau memakai inovasi dari negara lain. Sejumlah pekerjaan akan hilang digantikan mesin, tetapi akan muncul pula banyak pekerjaan baru.
Saat ini BPPT juga sedang mengembangkan berbagai sistem kecerdasan buatan untuk mengidentifikasi anomali dalam penyusunan anggaran keuangan pemerintah, deteksi dini tsunami, hingga telemedicine (kedokteran jarak jauh) untuk membantu diagnosis penyakit masyarakat di daerah terpencil.
Meski demikian, kesenjangan diprediksi akan tetap ada walau diyakini akan makin mengecil. Luasnya wilayah Indonesia dengan kondisi penduduk yang beragam membuat percepatan penguasaan dan penggunaan teknologi tidak akan sama.
Tenaga Ahli Kepala BPPT Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi Hary Budiarto mengatakan, survei yang dilakukannya pada Januari-Agustus 2020 melalui pantauan media sosial menunjukkan, 40 persen responden mengkhawatirkan penggunaan kecerdasan buatan akan menyaingi kegiatan manusia hingga bisa disalahgunakan.
Responden survei itu sebagian besar adalah generasi milenial, berpendidikan tinggi, dan melek teknologi. Mereka paham kecerdasan artifisial sangat membantu kehidupan manusia dan bisa digunakan dalam berbagai bidang. Namun, risiko yang dibawanya pun tak kalah besar. Kecerdasan artifisial bisa digunakan untuk menipu, bahkan membunuh orang. Namun, sistem untuk mengatasi tantangan itu masih jauh dari cukup.
Karena itu, dalam pengembangan talenta kecerdasan artifisial tidak cukup hanya membekali anak Indonesia dengan kemampuan teknis, tetapi juga etika, budaya dan berbagai kecakapan hidup menghadapi dunia yang semakin banyak bergantung pada mesin. Kecakapan itu bisa menghindarkan anak dari penyalahgunaan teknologi sekaligus melindungi mereka jadi korban kejahatan di dunia maya.
Jika kemampuan teknis kecerdasan artifisial itu bisa diajarkan di perguruan tinggi dan sekolah menengah kejuruan, kecakapan hidup di dunia digital itu harus dilakukan sejak mereka di pendidikan dasar.
Banyak organisasi dunia, termasuk Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) dan kelompok negara dengan ekonomi terbesar dunia (G-20) mengingatkan pentingnya kepercayaan dalam penggunaan kecerdasan artifisial sehingga kecerdasan artifisial tidak disalahgunakan atau dimanfaatkan untuk tujuan negatif.