Penelitian Anjing Liar Dataran Tinggi Papua Perlu Dilanjutkan
Penelitian lebih lanjut pada anjing dataran tinggi Papua masih diperlukan untuk memberikan dasar ilmiah pada status perlindungannya. Mamalia ini agar dijaga kelestariannya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Status konservasi anjing liar dataran tinggi Papua sampai saat ini masih belum masuk dalam daftar merah Badan Konservasi Dunia (IUCN) karena dianggap sebagai anjing peliharaan liar. Perlu identifikasi dan penelitian lebih lanjut guna mendorong ditetapkannya anjing liar dataran tinggi papua sebagai satwa yang dilindungi.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi Kompas Talks secara daring bertajuk ”Eksplorasi New Guinea Highland Wild Dog di Area Tambang Grasberg”, Kamis (5/11/2020). Diskusi tersebut bekerja sama dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) dan Universitas Cenderawasih, Papua.
General Superintendent of Highland Reclamation and Monitoring PTFI Pratita Puradyatmika mengatakan, keberadaan anjing liar dataran tinggi Papua atau juga dikenal anjing bernyanyi Papua dapat ditemui di setiap sudut area Grasberg. Anjing tersebut tidak menyerang manusia dan memiliki tingkat kewaspadaan yang tinggi.
Dari beberapa perjumpaan Pratita dengan anjing ini, mereka kerap menjelajah dengan jangkauan yang cukup luas dan secara berkelompok. Dalam sekali perjumpaan, ia dan sejumlah pekerja PT Freeport lainnya sering melihat kelompok anjing dua sampai tiga ekor. Setiap anjing sudah mengetahui teritorinya masing-masing dan jarang sekali dijumpai anjing yang saling bertikai.
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indra Exploitasia mengemukakan, pengelola Taman Nasional Lorentz, Papua, mencatat sejumlah perjumpaan dan dokumentasi anjing ini sejak 2013.
Anjing yang berusia dewasa dan remaja ini tercatat lima kali dijumpai di Danau Habema, yakni tiga kali pada 2013 serta masing-masing satu kali pada 2017 dan 2018. Selain di Danau Habema, pada 2018, anjing ini juga pernah dijumpai di Pegunungan Jayawijaya dan Yellow Valley. Anjing yang dijumpai tersebut berwarna hitam dan coklat.
Meski perjumpaan tercatat sangat minim, sampai saat ini status konservasi anjing liar dataran tinggi Papua belum masuk dalam daftar merah Badan Konservasi Dunia (IUCN). Hal itu karena anjing tersebut dianggap sebagai anjing peliharaan liar sesuai dengan kesimpulan dalam lokakarya tentang taksonomi Canis spp yang diselenggarakan oleh CIBIO-InBIO dan IUCN SSC Canid Specialist Group pada Mei 2019.
Sementara aturan terkait perlindungan tumbuhan dan satwa di Indonesia tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dalam Pasal 5 menjelaskan, penetapan suatu jenis tumbuhan dan satwa dilindungi berdasarkan kriteria populasi yang kecil, adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu, dan daerah penyebarannya yang terbatas.
Ciri khas
Indra menjelaskan, anjing liar memiliki sejumlah perbandingan dengan anjing domestikasi. Anjing liar memiliki ciri khas yang tidak dimiliki anjing domestikasi yakni keragaman. Setiap anjing liar memiliki sifat atau karakter hingga keturunan yang cenderung berbeda. Adapun anjing domestikasi pada umumnya mempunyai karakteristik, tingkah laku, dan menghasilkan keturunan yang sama.
Peneliti Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Anang Setiawan mengatakan, secara taksonomi, anjing liar dataran tinggi Papua masih menjadi sebuah perdebatan. Sebagian peneliti sepakat bahwa anjing liar dataran tinggi Papua masuk sebagai spesies sendiri. Akan tetapi, mayoritas peneliti memandang anjing ini masuk subspesies.
”Secara taksonomi ini masih kompleks dan belum stabil. Dari karakter-karakter yang sudah diidentifikasi, ada indikasi bahwa populasi ini berbeda dengan populasi yang dideskripsi pertama kali pada 2003. Kondisi ini menjadi menarik apakah anjing ini spesies baru atau hanya di level subspesies,” tuturnya.
Peneliti Universitas Cenderawasih, Hendra K Maury, mengatakan, laporan perjumpaan anjing liar dataran tinggi Papua sangat minim sebelum riset yang dilakukan pada 2016. Tercatat hanya ada dua informasi perjumpaan tentang anjing ini berupa foto pada 1989 dan 2012. Minimnya informasi ini membuat para ahli menduga anjing liar dataran tinggi Papua telah punah akibat kerusakan habitat dan kontaminasi anjing domestik.
Hingga pada 2016, Rapid Survey Highland Wild Dog Universitas Papua dan New Guinea Highland Wild Dog Foundation (NGHWDF) melakukan ekspedisi untuk mengidentifikasi satwa ini. Dari ekspedisi ini ditemukan 15 individu dan koleksi data berupa foto serta sampel tinja.
Menurut Hendra, masih adanya perdebatan membuat tim peneliti mengidentifikasi anjing ini ke dalam dua penamaan, yakni highland wild dog (HWD) dan new guinea singing dog (NGSD). HWD merupakan anjing liar yang hidup di dataran tinggi Papua, sedangkan NGSD adalah anjing yang dikembangbiakkan pertama kali pada 1897. NGSD yang telah dikembangbiakkan untuk tujuan konservasi saat ini sebanyak 200-300 ekor.
”Dari haplotipe antara HWD daan NGSD menunjukkan kemiripan yang signifikan hingga 72 persen. Mereka sangat berbeda dengan anjing ras yang dikembangbiakkan,” ungkapnya.
Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa HWD dan NGSD berasal dari keturunan anjing oseanik. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa NGSD yang dibawa untuk dikembangbiakkan berasal dari HWD dan bukan dari populasi anjing oseanik lainnya.
Indra Exploitasia mengatakan, penelitian dari Universitas Cenderawasih sangat penting untuk menyampaikan kepada IUCN bahwa anjing dataran tinggi Papua pantas disebut sebagai satwa liar. ”Ini membuat kita memiliki dasar kuat secara ilmiah untuk menjadikan anjing ini dilindungi dan mendapat status konservasi dari IUCN,” ujarnya.