Rencana Detail Tata Ruang Menjadi Acuan Pemberian Izin Usaha
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadikan tata ruang sebagai dasar dalam semua proses pembangunan, di antaranya terkait perizinan lokasi untuk kegiatan usaha.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja akan menjadikan tata ruang sebagai dasar dalam semua proses pembangunan, di antaranya terkait perizinan lokasi untuk kegiatan usaha. Lokasi kegiatan pengusahaan ini nantinya akan dilihat kesesuaiannya dengan Rencana Detail Tata Ruang di setiap daerah masing-masing.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil mengatakan, semua sistem tata ruang nantinya akan diintegrasikan sehingga tidak ada lagi persoalan batas hutan hingga zona kelautan. Sebab, selama ini batas fungsi hutan antara peruntukan budidaya dan lindung dalam sejumlah dokumen kerap tumpang tindih dan mengganggu proses pembangunan.
”Selama ini kami dapatkan bahwa kualitas tata ruang kita masih banyak masalah. Satu hal yang terpenting lagi, kita harus siapkan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) yang jauh lebih baik sehingga RDTR benar-benar dapat dimasukkan dalam sistem GIS (sistem informasi geografis) Tata Ruang dan semua orang bisa lihat,” ujarnya di Jakarta, Kamis (5/11/2020).
RDTR merupakan dokumen rencana rinci tentang tata ruang wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi. RDTR juga menjadi penjabaran dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota ke dalam rencana distribusi pemanfaatan ruang dan bangunan serta bukan bangunan. RDTR mempunyai fungsi untuk mengatur dan menata kegiatan fungsional yang direncanakan oleh perencanaan ruang di atasnya.
Meski telah banyak kajian daerah terkait penyusunan RDTR, sampai saat ini jumlah dokumen RDTR yang telah disahkan menjadi peraturan daerah masih minim. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Tata Ruang Kementerian ATR/BPN, saat ini baru terdapat 55 RDTR yang telah disahkan menjadi perda.
Sofyan menegaskan, UU Cipta Kerja juga masih memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk melakukan diskresi terhadap daerahnya masing-masing. Pemda juga dapat membatalkan atau tidak memberikan izin kepada korporasi jika kegiatan usaha yang dilakukan memiliki dampak besar terhadap lingkungan, masyarakat, dan usaha-usaha kecil di sekitarnya.
Deputi Pengembangan Iklim Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Yuliot mengatakan, masalah perizinan menjadi faktor penghambat utama dalam kegiatan investasi. Oleh karena itu, BKPM melakukan sejumlah upaya memudahkan kegiatan investasi ini melalui sistem pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau online single submission (OSS).
Menurut Yuliot, dalam pengembangan ke depan, sistem OSS akan diintegrasikan dengan sistem GIS Tata Ruang. Setelah itu, nantinya akan ada verifikasi yang dilakukan sesuai dengan klasifikasi risiko dari kegiatan pengusahaan tersebut. Verifikasi juga akan melihat apakah lokasi tempat kegiatan pengusahaan itu sesuai peruntukannya dengan RDTR di wilayah masing-masing.
”Kalau RDTR belum ada, nantinya akan diverifikasi dengan RTRW kabupaten atau kota yang bersangkutan. Dengan adanya proses yang sederhana ini, tidak diperlukan lagi izin lokasi. Izin lokasi sudah selesai jika sudah sesuai dengan RDTR dan dapat dilanjutkan ke proses berikutnya,” tuturnya.
Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan, Ilham Azikin mengatakan, proses kajian hingga pengesahan RDTR membutuhkan waktu yang cukup lama. Pemkab Bantaeng telah melakukan proses kajian RDTR sejak 2017 dan baru disahkan menjadi perda pada 2020.
Ilham berharap, dengan ditetapkannya UU Cipta Kerja ini, proses pengesahan RDTR di setiap daerah dapat dilakukan dengan cepat. Sebab, dalam UU Cipta Kerja telah memandatkan setiap daerah dapat segera menyusun RTRW hingga RDTR sebagai acuan penentuan zonasi sehingga pelaku usaha juga dapat menentukan kesesuaian lokasi untuk kegiatan usahanya.