Kebebasan akademik dan tanggung jawab sosial akademisi terhadap publik dalam ancaman. Padahal, jika kampus tidak mengambil peran kritis, gelombang demokrasi akan berbalik arah dan merugikan masyarakat.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tekanan terhadap kebebasan mimbar akademik semakin kuat sehingga sebagian akademisi pragmatis dan melupakan tanggung jawab sosial terhadap publik. Situasi ini tidak hanya memperburuk kualitas demokrasi, tetapi juga terhadap merosotnya mutu lingkungan dan sumber daya alam.
Situasi terkini kebebasan akademik ini menjadi topik bahasan dalam pertemuan tahunan ke-4 Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) yang diselenggarakan secara daring di Jakarta, pada Rabu (4/11/2020).
Koordinator KIKA, yang juga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Herlambang P Wiratraman, mengatakan, tekanan terhadap kebebasan akademik yang marak terjadi sepanjang tahun 2020 meliputi serangan siber terhadap aktivitas akademik, intervensi dunia kampus dan lembaga riset oleh otoritas negara, dan pembubaran aktivitas pers mahasiswa.
Bentuk tekanan lainnya, lanjut Herlambang, berupa kriminalisasi dengan dalih pencemaran nama baik, serangan terhadap mahasiswa dalam kasus melawan rasisme Papua, serta maraknya penangkapan dan penahanan dalam aksi penolakan Undang-Undang Cipta Kerja 2020.
”Serangan siber, antara lain, dilakukan terhadap epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, yang mengkritisi penanganan Covid-19. Teror juga dialami panitia dan narasumber diskusi CLS (Constitutional Law Society) UGM (Universitas Gadjah Mada), setelah sebelumnya dibubarkan aparat. Fenomena serupa terjadi di Unila (Universitas Lampung) dan mahasiswa di Malang,” tutur Herlambang.
Teror terhadap akademisi terus terjadi tanpa ada upaya maju perlindungannya di level negara dan institusi perguruan tinggi. ”Sementara kebijakan di level dikti justru melemahkan posisi pengembangan kritisisme tersebut melalui edaran atau imbauan untuk tidak turun ke jalan dalam kasus penolakan UU Cipta Kerja,” ujarnya.
Demikian halnya kampus kerap kali menekan dosen dan mahasiswa yang kritis, seperti dialami dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Syah Kuala, Aceh Saiful Mahdi. Saiful saat ini menghadapi ancaman vonis penjara tiga bulan karena mengkritik hasil tes calon dosen di kampusnya.
Peran akademisi
Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas IPB Hariadi Kartodiharjo menyoroti kriminalisasi terhadap akademisi yang bersikap kritis, termasuk yang menjadi saksi ahli melawan perusahaan perusak lingkungan hidup. Hal ini, misalnya, dialami Guru Besar IPB Bambang Hero, yang menjadi saksi ahli melawan perusahaan dalam kasus pembakaran hutan.
Di sisi lain, menurut Hariadi, ada akademisi yang reduksionis dan menutup mata terhadap kerusakan lingkungan. Bahkan, mereka turut berada di balik kerusakan dan korupsi di sektor lingkungan hidup dan sumber daya alam.
”Ada kontribusi kampus di balik banyaknya pembangunan sawit di kawasan hutan. Misalnya dengan sertifikat amdal terbang, akademisi menyewakan setifikat amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) dengan biaya Rp 6 juta- Rp 18 juta dan itu menjadi stempel pembangunan di daerah, khususnya Indonesia bagian timur,” ujarnya.
Ada kontribusi kampus di balik banyaknya pembangunan sawit di kawasan hutan.
Persoalan ini juga dikemukakan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati. Di balik konflik sumber daya alam, sering kali ada akademisi yang berpihak kepada korporasi. ”Ada akademisi yang melegitimasi perusahaan dan berhadapan dengan masyarakat, misalnya kasus penggusuran dalam pembangunan Bandara Kulon Progo dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Celukan Bawang, serta banyak contoh lain,” katanya.
Bahkan, peran akademisi yang berhadapan dengan masyarakat ini tak hanya di tingkat individu. ”Dalam kasus di Celukan Bawang, akademisinya pusat riset di kampus. Bahkan ada keterlibatan dekan atau rektor. Peran akademisi jadi legitimator kebijakan pemerintah dan perusahaan,” kata Asfin.
Dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Abdil Mughis Muddofir, mengatakan, fenomena akademisi dan kampus yang melayani kekuasaan dan pasar merupakan warisan otorianisme Orde Baru. Ini karena otonomi perguruan tinggi telah gagal. Kampus yang seharusnya melayani kepentingan publik tidak berjalan, justru yang terjadi sebaliknya.
Haris Retno, pengajar hukum dari Universitas Mulawarman, mengatakan, munculnya sejumlah revisi perundang-undangan yang dinilai bermasalah juga menandai otorianisme itu. Beberapa produk UU itu di antaranya UU Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja. ”Semuanya mengarah pada sentralistik,” katanya.
Menurut Retno, jika kampus tidak mengambil peran kritis, gelombang demokrasi akan berbalik arah. ”Jika tidak ada upaya pengawalan, kekuasaan akan semakin menguat dan merugikan masyarakat,” ujarnya.