Peluang bisnis dari kegiatan restorasi ekosistem kini kian bervariasi dan memiliki nilai ekonomi. Apabila ini digarap masif, bisa membantu perbaikan lingkungan sekaligus meningkatkan pendapatan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Restorasi ekosistem tak hanya bermanfaat langsung bagi perbaikan kualitas lingkungan, tetapi juga membawa manfaat ekonomi bagi pengelola atau pemegang konsesinya. Potensi ini masih terus berkembang dan diharapkan bisa terus mendorong banyak pihak untuk memanfaatkannya sebagai bisnis menjanjikan kini dan masa depan.
Peneliti senior Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ika Heriansyah, di Jakarta, Selasa (3/11/2020), menyampaikan, restorasi ekosistem mulai banyak dilirik dan dilakukan perusahaan swasta. Investasi restorasi ekosistem, antara lain, bertujuan sebagai peluang bisnis, proyek hijau, konservasi dan pemanfaatan kawasan, serta perlindungan bisnis.
Tujuan restorasi ekosistem untuk konservasi dan pemanfaatan kawasan kerap dijalankan organisasi masyarakat sipil yang bekerja sama dengan korporasi. Sejumlah kegiatannya, antara lain, penyelamatan hutan dataran rendah Sumatera, pengembalian ekosistem hutan lanskap alam Bukit Tiga Puluh di Riau, dan pelepasliaran orangutan ke habitatnya.
Sementara restorasi ekosistem sebagai peluang bisnis dapat diwujudkan melalui jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu. Ini dilakukan PT Rimba Makmur Utama dan PT Rimba Raya Conservation. Selain sebagai upaya konservasi dan sosial masyarakat, peluang usaha perdagangan karbon turut dilirik perusahaan.
Menurut kajian pakar lingkungan asal Belanda, Rudolf De Groot (2013), biaya restorasi untuk hutan tropis seluas 100 hektar dapat mencapai 12 juta dollar AS atau sekitar Rp 173 miliar per tahun. Sementara biaya restorasi pada lahan gambut terdegradasi bisa mencapai tiga hingga empat kali lebih besar.
Namun, melalui restorasi, kondisi lingkungan tersebut dapat dijadikan peluang bisnis. Setiap kegiatan restorasi ekosistem memiliki jenis yang berbeda tergantung dari kondisi dan tingkat kerusakan lahan yang akan direstorasi.
”Beberapa pengusaha mulai berpikir apa yang bisa dihasilkan dari kondisi ini agar tidak hanya memberikan manfaat natural, sosial, dan human capital, tetapi juga finansial atau pendapatan. Inilah yang sedang didorong oleh pemerintah, organisasi nonpemerintah, maupun lembaga-lembaga pendanaan, bagaimana meyakinkan sektor privat untuk berinvestasi di restorasi ekosistem,” ujarnya.
Potensi usaha
Taryono mengakui, pada masa-masa awal, pembiayaan restorasi ekosistem dari sektor swasta hanya bersifat sukarela. ”Pada awal 2008, yang kami bidik adalah pasar karbon untuk restorasi ekosistem meskipun pada saat itu skema ini belum terlihat di Indonesia,” katanya.
Namun ternyata, kegiatan restorasi ekosistem memiliki beragam jenis peluang untuk mendapatkan penghasilan. Selain pasar karbon, terdapat potensi air, ekowisata, agroforestri, dan pangan. Potensinya tergantung dari lokasi dan area yang akan direstorasi.
PT Rimba Makmur Utama dalam menjalankan bisnis restorasi ekosistem tidak hanya bertumpu pada satu jenis usaha. Perusahaan itu menerapkan multiusaha seperti pasar karbon dan ekowisata, ekowisata dan agroforestri, dan jenis lainnya.
”Industri restorasi ekosistem saat ini sudah banyak dikampanyekan oleh berbagai pihak, termasuk berbagai lembaga pendanaan yang fokus di bidang lingkungan. Sudah banyak studi kasus yang menunjukkan bahwa restorasi ekosistem, baik di kawasan hutan maupun dalam skala lanskap yang lebih besar, itu sangat menjanjikan dari sisi finansial,” ungkapnya.
Potensi industri restorasi ekosistem, khususnya pasar karbon, juga dipandang Taryono cukup menjanjikan di masa depan. Hal ini ditunjukkan dari langkah Indonesia yang dalam fase akhir pembuatan kebijakan instrumen nilai ekonomi karbon.
Selain itu, maskapai penerbangan dan perusahaan minyak dan gas juga akan mulai menjalankan carbon offset atau upaya untuk menetralisasi emisi karbon yang telah dihasilkan dari aktivitas usahanya. Hal ini akan peningkatan permintaan 180 metrik ton setara karbon dioksida per tahun mulai 2021-2035.
Peneliti senior Wetland International, Iwan Tri Cahyo Wibisono, menambahkan, perencanaan teknis menjadi bagian penting sebelum melakukan kegiatan restorasi ekosistem khususnya di lahan gambut. Mengabaikan perencanaan akan menimbulkan kesalahan penentuan revegetasi, jenis tanaman, dan jenis infrastruktur pembahasan.
Pengabaian ini berpotensi membuat kegiatan restorasi ekosistem tak berhasil sehingga malah menimbulkan kerugian.