Pesawat Nirawak untuk Deteksi Pelanggaran Jaga Jarak
Tim peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengembangkan pesawat nirawak untuk memantau kepatuhan jaga jarak di masyarakat. Hal itu bertujuan mencegah penularan Covid-19.
Sampai saat ini, masyarakat masih abai terhadap protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19, salah satunya aturan jaga jarak di kerumunan. Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia kemudian mengembangkan teknologi pesawat nirawak atau drone untuk mendeteksi pelanggaran jaga jarak ini.
Selain mengenakan masker dan mencuci tangan secara berkala, menjaga jarak juga menjadi imbauan yang terus disampaikan pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Namun, imbauan itu kerap diabaikan sebagian masyarakat. Saat ini masih banyak kerumunan melibatkan banyak orang.
Salah satu kasus pelanggaran jaga jarak di kerumunan terjadi saat Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tegal, Jawa Tengah, menggelar konser musik dangdut di tengah pandemi Covid-19 akhir September lalu.
Acara untuk memeriahkan pesta pernikahan dan khitanan itu mengundang kerumunan hingga ratusan orang yang hadir mengabaikan protokol kesehatan jaga jarak. Acara itu pun dikritik sejumlah pihak dan Wakil Ketua DPRD Kota Tegal ditetapkan sebagai tersangka (Kompas, 29 September 2020).
Acara yang mengundang kerumunan juga berpotensi masih terjadi beberapa pekan ke depan. Hal ini tidak terlepas dari adanya agenda pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada 9 Desember mendatang. Pada masa pilkada ini, sejumlah pasangan calon kepala daerah kerap mengadakan konser musik saat berkampanye meski kegiatan itu telah dilarang Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Baca juga: Gencarkan Sosialisasi Jaga Jarak
Berangkat dari kondisi ini, Pusat Penelitian Fisika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengembangkan teknologi berupa pesawat tanpa awak (nirawak) atau drone untuk mendeteksi pelanggaran jaga jarak selama pandemi. Melalui deteksi dengan menggunakan drone ini, petugas yang berwenang bisa segera membubarkan kerumunan atau menindak para pelanggar dan penyebaran Covid-19 dapat segera dicegah.
Peneliti Pusat Penelitian Fisika LIPI Edi Kurniawan, Jumat (30/10/2020), menjelaskan, pesawat nirawak ini mulai dikembangkan sejak tahun lalu. Namun, saat itu pengembangan drone bukan untuk mendeteksi pelanggaran jaga jarak, melainkan untuk keperluan pemantauan kebencanaan.
”Setelah adanya pandemi pada Maret lalu dan mulai disarankan untuk WFH (bekerja dari rumah), saya berpikir mengembangkan drone yang dipakai untuk memantau kerumunan atau social distancing (menjaga jarak) itu. Apakah nanti ada kerumunan, jumlah kerumunannya berapa, itu nanti bisa dilihat. Jarak antara satu orang dan orang lainnya juga bisa dihitung,” ujarnya.
Komponen pesawat nirawak
Pesawat tanpa awak dengan berat sekitar 1,72 kilogram ini dilengkapi dengan berbagai macam komponen, di antaranya kamera, sistem pemosisi global (GPS), baterai, sensor pendeteksi objek light distance and ranging (lidar), motor penggerak dan baling-baling, serta pengatur kecepatan (electronic speed controller/ESC).
Apakah nanti ada kerumunan, jumlah kerumunannya berapa, itu nanti bisa dilihat. Jarak antara satu orang dan orang lainnya juga bisa dihitung.
Adapun pesawat nirawak ini berjenis quadkopter atau empat baling-baling dan kontrol penerbangannya menggunakan jenis komputer mini (single board computer/SBC) Raspberry Pi 4 dan Navio 2. Adanya SBC memungkinkan pengguna untuk melakukan pemrograman sendiri ke kontrol penerbangan dari drone ini lokasi terbang, waktu penerbangan, dan obyek yang diamati.
Baca juga: Kebijakan Penanganan Pandemi Kontradiktif
”Dalam drone-drone komersial itu biasanya pengguna tidak bisa melakukan pemrograman sendiri dan lebih cenderung mengendalikan dari remote control (alat pengendali jarak jauh). Sementara dengan adanya sistem kontrol penerbangan di drone ini, kita bisa menanamkan semacam algoritma untuk otopilot atau misi tertentu,” kata Edi.
Kamera dalam pesawat tanpa awak dapat menggunakan kamera aksi (actioncam) dengan berbagai jenis yang bisa diganti sesuai dengan kebutuhan pengguna. Sementara catu daya pesawat menggunakan baterai 3cell berkapasitas 5.500 miliamper per jam (mAh) yang membuatnya mampu terbang tanpa berhenti selama 10-15 menit.
Setiap drone memiliki alat seperti komputer jinjing bernama ground control unit (GCU). GCU dengan operasi sistem Ubuntu ini memiliki sejumlah komponen perangkat keras dan lunak layaknya komputer jinjing pada umumnya. Secara sederhana, GPU berfungsi memberikan perintah terbang, misi, dan pilot otomatis bagi pesawat tanpa awak.
Selanjutnya pesawat nirawak yang telah mendapat perintah dari GCU akan terbang dan melaksanakan perekaman. Video yang telah direkam secara langsung dapat dipantau dan diproses di GCU berbasis deep learning atau kecerdasan buatan. Kecerdasan buatan dalam GCU di gunakan untuk mendeteksi banyak orang. Selanjutnya, jarak antarobyek dalam gambar akan dihitung apakah lebih kecil atau lebih besar dari batas yang ditetapkan.
”Radius drone dengan GCU maksimal hanya 100 meter karena komunikasi kedua alat ini memakai Wi-Fi. Intinya, perintah terbang dan streaming video itu bisa langsung sampai ke GCU. Drone juga dapat dikembangkan lagi agar bisa langsung online ke jaringan internet jika nantinya akan diarahkan pengembangannya ke konsep tersebut,” kata Edi.
Obyek lain
Pesawat tanpa awak ini tidak hanya bisa digunakan untuk mendeteksi orang, tetapi juga obyek lain di berbagai bidang seperti jumlah mobil di jalan atau area khusus lainnya. Nantinya kontrol penerbangan dari GCU dapat diubah sesuai kebutuhan pengguna. Drone ini juga bisa digunakan sejumlah lembaga, seperti Kementerian Perhubungan atau Satuan Lalu Lintas Kepolisian untuk penghitungan kemacetan di sejumlah ruas jalan.
Saat ini, pesawat nirawak tersebut dalam tahap pengembangan dan belum dikomersialisasi. Fokus tahap pengembangan salah satunya adalah uji terbang. Namun untuk algoritma kecerdasan buatan yang membantu mendeteksi obyek, pengembangannya dinilai sudah optimal.
Meski drone banyak digunakan masyarakat untuk berbagai keperluan, Sekretaris Bidang Sertifikasi dan Safety Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) Kolonel Penerbang Agung Sasongkojati menegaskan, tiap operator harus memahami aturan yang berlaku dalam pengoperasian drone. Beberapa ketentuan tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 37 Tahun 2020 tentang Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara yang Dilayani Indonesia.
Baca juga: Di Rumah Saja ketimbang Menantang Covid-19
Menurut Agung, penggunaan drone dilarang atau dibatasi di wilayah controlled airspace atau jenis ruang udara yang diberikan pelayanan lalu lintas penerbangan dan uncontrolled airspace atau wilayah dengan ketinggian lebih dari 400 feet atau 120 meter. Drone diperbolehkan beroperasi di kedua wilayah tersebut jika memiliki surat izin.
Dalam konteks kondisi luar biasa atau bencana, penerbangan drone dapat dilakukan di sekitar lokasi bencana setelah berkoordinasi dengan institusi yang berwenang. Koordinasi juga perlu dilakukan dengan dan unit pelayanan navigasi penerbangan untuk mendapatkan izin batas penerbangan horizontal dan vertikal.
Selain itu, permohonan pemberitahuan untuk penerbang (notice to airmen/notam) drone dalam kondisi bencana dapat diselesaikan dalam waktu dua jam. Setelah mendapat notam, drone diperbolehkan terbang di atas 150 meter untuk pengambilan gambar setelah bencana.