Sistem Agroekologi Mengoptimalkan Keragaman Pangan
Keragaman pangan yang dikembangkan melalui agroekologi bisa meningkatkan kemandirian pangan sekaligus menjawab permasalahan gizi dan kerusakan lingkungan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Permintaan pasar yang seragam terhadap jenis makanan membuat kualitas dan keragaman pangan di Indonesia masih rendah. Sistem pangan saat ini perlu diubah ke arah yang lebih lokal atau agroekologi sehingga dapat mengoptimalkan keragaman pangan dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat dan menjaga keberlanjutan lingkungan.
Ketua Human Nutrition Research Center IMERI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rina Agustina, menyampaikan, pemenuhan gizi di Indonesia masih menghadapi tantangan utama berupa malnutrisi dan degradasi lingkungan serta sumber daya alam. Kondisi ini juga menjadikan Indonesia sebagai salah satu dari 17 negara dengan triple ganda permasalahan gizi.
“Meski terdapat penurunan, angka stunting (tengkes) kita masih tinggi. Terdapat juga permasalahan obesitas penduduk usia 18 tahun dan kelebihan kalori per kapita. Ini menimbulkan gizi lebih tidak hanya pada orang dewasa tetapi juga balita. Harusnya negara yang sehat itu tidak ada balita yang obesitas,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk “Mengenal Ketahanan Pangan Melalui Prinsip Pangan Bijak Nusantara”, Sabtu (31/10/2020).
Tantangan pemenuhan gizi ini, menurut Rina, terjadi karena rendahnya kualitas dan keragaman pangan di Indonesia. Capaian pangan di Indonesia memenuhi target yang berlebih pada komoditas berbasis kalori seperti padi-padian, minyak, dan gula. Sedangkan capaian target komoditas yang berbasis protein seperti kacang-kacangan, sayur, dan buah masih sangat kurang.
“Ini menunjukkan keanekaragaman pangan kita masih sangat rendah sekali. Sementara potensi pangan di Indonesia itu luar biasa karena kita negara terbesar kedua yang memiliki keanekaragaman hayati dari mulai sumber karbohidrat, kacang-kacangan, hingga minuman,” tuturnya.
Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Indonesia memiliki 77 jenis karbohidrat, 389 buah-buahan, 75 jenis sumber protein, 228 jenis sayuran, 26 jenis kacang-kacangan, 110 jenis rempah dan bumbu, serta 40 jenis bahan minuman. Namun, Rina menilai, potensi dari keragaman pangan ini tidak tumbuh secara optimal karena kurangnya permintaan pasar.
Deputy Director Social Development WWF Indonesia Cristina Eghenter mengatakan, produk atau bahan makanan yang dibeli di toko dan supermarket mayoritas berasal dari sistem pangan industri yang tidak ramah lingkungan. Jika sistem pangan ini terus dilanjutkan, kajian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan kesuburan tanah hanya akan bertahan selama 60 tahun.
Sementara pada publikasi Komisi EAT-Lancet, 75 persen pangan yang masyarakat konsumsi hanya dari 12 persen tanaman dan 5 spesies hewan. Ini menunjukkan rendahnya keanekaragaman hayati sistem pangan karena mengikuti permintaan konsumen.
Oleh karena itu, sistem pangan yang ada saat ini perlu diubah ke arah yang lebih lokal, lestari, sehat, dan adil untuk masyarakat maupun alam. Sebab, sistem pangan tradisional atau agroekologi ini menerapkan siklus restorasi kesuburan tanah secara alami dan memerhatikan aspek keberlanjutan lingkungan.
Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan Kehati Puji Sumedi mengatakan, pandemi Covid-19 seharusnya menjadi momentum untuk kembali merevitalisasi sistem pangan di Indonesia. Yayasan Kehati pun mendorong setiap daerah mempunyai sistem adaptasi untuk memenuhi kedaulatan sumber pangannya sendiri.
“Jika bicara produksi pangan lokal, kami juga mendorong ini sesuai dengan potensi budaya lokal dan agroklimatologinya mereka masing-masing. Kami juga mendukung kampanye gerakan konsumsi pangan dan di satu sisi dibuat regulasi pendukung untuk semakin menguatkan,” katanya.