Pengembangan Wisata di Taman Nasional Komodo Tetap Dibatasi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengklaim pelaksanaan proyek pembangunan di Pulau Rinca di Kawasan Taman Nasional Komodo akan tetap mematuhi kaidah konservasi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proyek pembangunan di Pulau Rinca Taman Nasional Komodo menuai kontroversi dari masyarakat luas. Ini terutama karena ada kekhawatiran pembangunan tersebut dapat mengganggu habitat komodo. Meski begitu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengklaim pembangunan akan tetap mematuhi kaidah konservasi.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno, di Jakarta, Rabu (28/10/2020), mengatakan, pengembangan wisata alam di Taman Nasional Komodo (TNK) sangat dibatasi. Pengembangan hanya dilakukan di zona pemanfaatan dengan luas daratan 0,4 persen atau 824 hektar dari seluruh wilayah di taman nasional yang berada di Nusa Tenggara Timur tersebut.
”Pembangunan ini bukan oleh private sector, melainkan oleh pemerintah. Saat ini penataan sarana dan prasarana yang sedang dilakukan di Lembah Loh Buaya Pulau Rinca TNK oleh Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) mencapai 30 persen dari rencana yang akan selesai pada Juni 2021,” ujarnya.
Pengembangan wisata alam di Taman Nasional Komodo (TNK) sangat dibatasi. Pengembangan hanya dilakukan di zona pemanfaatan.
Wiratno menyampaikan, izin lingkungan hidup yang diterbitkan pada 4 September 2020 untuk pembangunan itu dinilai sudah memperhatikan dampak pembangunan terhadap habitat dan perilaku komodo. Izin itu disusun dan diterbitkan sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 16 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup.
Adapun sejumlah pembangunan serta penataan sarana dan prasarana yang dilakukan di Lembah Loh Buaya Pulau Rinca antara lain Dermaga Loh Buaya, lokasi pengamanan pantai, elevated deck untuk akses penghubung antardermaga, pondok ranger ataupun peneliti, serta pusat informasi. Seluruh pembangunan ini berada di lokasi sarana dan prasarana yang sudah ada sebelum penataan dilakukan.
Terkait dengan foto adanya truk proyek yang berhadapan dengan komodo, Wiratno mengatakan, upaya penjagaan akan ditingkatkan. Ia mengatakan, jalur pembangunan memang menjadi jalur lintasan komodo. Untuk itu, seluruh aktivitas pembangunan akan diawasi oleh 5-10 ranger setiap hari.
Mereka secara intensif meriksa keberadaan komodo, termasuk di kolong bangunan, bekas bangunan, ataupun di kolong truk pengangkut material. Ini dilakukan untuk memastikan keselamatan dan perlindungan terhadap komodo sekaligus bagi para pekerja.
”Dari pengamatan, jumlah komodo yang sering berkeliaran di sekitar area penataan sarana dan prasarana di Loh Buaya diperkirakan ada 15 ekor. Beberapa di antara komodo tersebut memiliki perilaku yang tidak menghindar manusia,” katanya.
Wiratno menambahkan, alat berat diperlukan untuk mengangkut material pembangunan yang tidak mungkin dilakukan dengan tenaga manusia. Penggunaan alat berat ini dipastikan tetap berdasarkan prinsip kehati-hatian.
Populasi komodo di kawasan Lembah Loh Buaya berada di lahan seluas 500 hektar atau sekitar 2,5 persen dari seluruh luas Pulau Rinca. Sementara luas sarana dan prasarana yang dimanfaatkan sekitar 1 hektar.
Izin wisata
Wiratno menuturkan, sejumlah pihak yang mengantongi izin wisata di kawasan Taman Nasional Komodo antara lain PT Segara Lestari, yang mendapatkan izin sejak Desember 2015 dengan luas kawasan 22,1 hektar. Selain itu, izin wisata juga diberikan kepada PT Komodo Wildlife Ecotourism di Pulau Komodo dengan luas 151,9 hektar dan di Pulau Padar seluas 274 hektar. Pihak lain yang juga mendapatkan izin adalah PT Synergindo Niagatama pada kawasan seluas 19,3 hektar di Pulau Tatawa.
”Semua izin ini belum aktif berlaku karena pada waktu itu di tahun 2019 ada banyak penolakan. Padahal, secara aturan, izin itu dibolehkan terutama terkait izin usaha sarana pariwisata alam. Komunikasi dan dialog juga sangat terbuka, termasuk pada pembahasan terkait zonasi di TNK,” ujarnya.
Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, dalam Kompas, Selasa (27/10/2020), mengatakan, dalam perundang-undangan telah mengamanatkan ekosistem komodo harus dijaga. Itu diatur dalam UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Menurut dia, kajian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan zonasi di suatu kawasan konservasi. Zonasi tersebut disesuaikan agar tujuan untuk menjaga kelestarian habitat, termasuk satwa yang dilindungi tetap tercapai.